Sejak 2011, Indonesia menerapkan kebijakan moratorium perizinan hutan dan lahan gambut. Sayangnya, kebijakan ini hanya ‘hidup’ selama dua tahun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah memperpanjang, hingga 2015. Diapun berharap, pemimpin Indonesia yang baru bisa melanjutkan kebijakan ini.
“Saya menandatangani moratorium izin baru guna melindungi sekitar 63 juta hektar hutan dan gambut. Luas area ini lebih dari gabungan luas Malaysia dan Filipina. Saya berharap pengganti saya bisa melanjutkan kebijakan ini,” katanya saat berbicara dalam Forest Asia Summit 2014 di Jakarta, Senin (5/5/14).
Hasilnya, SBY mengklaim, tingkat deforestasi Indonesia turun drastis, dari 1,2 juta hektar antara 2003 dan 2006, menjadi 450-600 ribu hektar per tahun, dalam masa moratorium 2011 hingga 2013.
Dia menyebutkan, dalam empat tahun ini, pemerintah telah menanam lebih dari empat miliar pohon. Tak hanya itu. SBY menambahkan, salah satu kisah sukses mengadopsi kebijakan pro lingkungan juga bisa dilihat pada Desa Lonca di Sulawesi Tengah.
Penduduk desa itu, katanya, turun temurun melakukan tebang dan bakar untuk membuka lahan. Inilah metode yang mereka ketahui sejak lama.
“Kini praktik ini berhenti setelah warga dikenalkan program mengelola kawasan hutan. Kini warga menyadari bahaya teknik menebang dan membakar. Selain melepas karbon, itu juga menghancurkan habitat serta mengancam ekosistem.”
Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mendukung perpanjangan moratorium ini. Menurut dia, moratorium penting sampai tata kelola hutan diperbaiki. Setidaknya, ditargetkan akhir 2015, hasil tata kelola hutan bisa terukur. “Jadi, berharap Presiden baru melanjutkan moratorium agar tata kelola hutan terukur berdasarkan capaian.”
Kata Heru, jika pemimpin baru tak melanjutkan kebijakan ini akan mengancam upaya-upaya perbaikan tata kelola hutan yang sudah dilakukan.
Tanggapan senada dari Bustar Maitar, kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace International. Dia mengatakan, warisan Presiden SBY berisiko lenyap kecuali memperkuat legislasi melindungi semua gambut dan hutan.
Greenpeace meminta, Presiden mengamandemen regulasi gambut, meskipun bermaksud baik, namun gagal membangun pendekatan koheren melindungi dan mengelola gambut.
“Kebakaran gambut tak akan terjadi di hutan Sumatera, jika gambut kaya karbon tidak dibuka dan dikeringkan untuk industri perkebunan skala besar. Melindungi gambut dan hutan Sumatera itu pertahanan pertama bagi kawasan krisis kebakaran hutan.”
Yuyun Indradi, pengkampanye hutan Greenpeace mengungkapkan, sebelum lengser, seharusnya SBY membuat kebijakan sementara itu menjadi permanen dengan melindungi hutan dan gambut tersisa menjadi wilayah lindung. “Daripada berharap Presiden berikutnya. SBY justru bisa memberi contoh from commitment into best practices baik dalam tata kelola hutan, perlindungan hutan dan penegakan hukum.”
Petrus Gunarso, Director Sustainability APRIL setuju perpanjangan moratorium lahan dan gambut oleh pemimpin baru Indonesia. “Harusnya malah lebih dari itu. Moratorium dan dijaga agar tak terbakar. Kalau terbakar kan rugi ke kita juga,” ujar dia.
Dalam Forest Asia Summit 2014 yang berlangsung dua hari, 5-6 Mei ini berisi berbagai sesi diskusi. Pada hari kedua ini, salah satu pembicara H.E. Minister Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru.