,

Kala Penguasa-Pengusaha Abaikan Putusan MA Soal Pencabutan Izin Tambang di Bangka

Pengusaha, bupati dan oknum polisi, ‘mesra,’ seiya sekata.  Mereka akur menjaga izin tambang Pulau Bangka di Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), tetap langgeng. Dalih demi kesejahteraan warga. Izin digugat, muncul izin ‘baru’.  Bahkan, sang polisi tega menyiksa warga penolak demi keberlangsungan bisnis ini. Warga merintih dan meratap, melihat pemimpin dan aparat negara hanya jadi kaki tangan pengusaha.

Begitu aksi teatrikal oleh Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan Gedung OUB, Jakarta, Selasa (6/5/14). Di gedung itu, PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT Mikrgo Metal Perdana (MMP), berkantor.

Spanduk-spanduk pun dibentang. “Kami ingin damai tanpa tambang.” “Menolak PT Mikgro Metal Perdana di Pulau Bangka, Minahasa Utara.” “Selamatkan Pulau-pulau Kecil. Tolak tambang di Pulau Bangka Minahasa Utara.”

Sebelum itu, perwakilan koalisi sempat bertemu Ayusta, General Affair MMP. Kala itu, sang bos, Mr Yang tak berada di kantor.  Ayusta mengklaim, perusahaan beroperasi menggunakan izin ‘baru’ yang dikeluarkan bupati.

Dalam pertemuan itu, Ariefsyah, dari Greenpeace mengatakan, koalisi mendesak MMP menghentikan aktivitas apapun, termasuk bongkar muat alat berat di Pulau Bangka. Dia mengatakan, warga mempunyai landasan hukum kuat meminta penghentian tambang karena sudah ada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan kekalahan MMP dan Bupati Minut. Izin harus dicabut alias tak ada tambang di Pulau Bangka.

Nongolnya izin ‘baru’ kala izin lama dalam gugatan—berakhir kemenangan warga—menunjukkan ketidakjelasan hukum di negeri ini.  Untuk itu, kata Arief, perusahaan, harus peka kondisi di lapangan, di mana banyak warga menolak tambang. “Warga punya pegangan hukum, perusahaan juga menyatakan begitu, jadi kami minta MMP segera menghentikan aktivitas sampai ada kepastian hukum.”

Ayusta berjanji menyampaikan permintaan koalisi ke pimpinan perusahaan.

Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Bangka, di dalam kantor MMP. Kala keluar gedung membawa spanduk, petugas keamanan gedung merasa kecolongan. Mereka langsung menghalau aktivis pembawa spanduk dan meminta segera keluar.  Aksi dilanjutkan di depan gedung UOB.

“Tambang ini ancaman bagi lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat yang tinggal di sana. MMP harus keluar dari Bangka,” begitu orasi Edo Rachman, dari Walhi Nasional.

Koalisi ini antara lain, terdiri dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Walhi, Greenpeace, YLBHI,  Jatam dan Change.org.

Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Pulau Bangka, di depan kantor PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT MMP. Foto: Sapariah Saturi
Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Pulau Bangka, di depan kantor PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT MMP. Foto: Sapariah Saturi

Di Manado, Sulut, pada Rabu (29/4/14), perwakilan warga didampingi LBH-Manado, Walhi, LMND dan KMPA Tunas Hijau mendatangi Mapolda Sulut guna menindaklanjuti pertemuan dengan Wakapolri, Badrodin Haiti di Jakarta. Sayangnya, , jawaban tegas Jimmy Sinaga, Kapolda Sulut, tak diperoleh. Dalam pertemuan itu, mereka menilai Kapolda lebih memihak perusahaan tambang daripada mematuhi putusan MA.

Maria Taramen, ketua Tunas Hijau Sulut, mengatakan, sejak semula melihat kesan tak simpatik dari Kapolda Sulut ini. Perwakilan yang datangpun, dari 10 orang, hanya empat diizinkan berdialog.

“Setelah itu, bukan memperkenalkan jajaran, dia (Jimmy Sinaga) justru membuka dengan sosialisasi tambang,” kata Maria, Kamis (30/4/14)

Menurut Maria, Kapolda masih menerima tambang. Sektor tambang dinilai sumber pendapatan asli daerah (PAD), membuka lapangan pekerjaan hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keyakinan ini, menyebabkan Polda Sulut terus mengawal aktivitas pertambangan di Bangka. Mereka membacakan sejumlah surat keputusan dan berbagai data, serta meminta aparat bertindak.  Sayangnya, polisi memihak investor. Polisi menilai MMP legal.

Kondisi di ruang pertemuan sempat memanas dipicu sejumlah klaim diucapkan Allan Mingkid, Kadis Pertambangan Minut. “Setelah Kapolda merasa ada yang salah dia lebih banyak diam dan menyerahkan ke Kadis Pertambangan menanggapi penyampaian kami.”

Kadis Pertambangan mengklaim, putusan MA tidak berlaku, karena IUP eksplorasi MMP No 162/2012  yang digugurkan adalah SK Bupati kadaluarsa. Mingkid tak mau tahu dan mencoba mencari pembenaran.

Maria mengatakan, SK Bupati Minut  terbaru No 183, merupakan perpanjangan dari surat lama.  Hingga, putusan MA itu berdampak hukum sama kepada izin-izin yang ada setelah itu.

“Bupati salah kalo beralasan SK yang digunakan sekarang baru. Itu bukan baru, tapi ubahan dari SK perpanjangan. SK awal KP 171, diperpanjang dengan SK IUP No. 162, digugat warga dan menang di MA. Diperpanjang lagi menjadi SK IUP no. 151, diperpanjang lagi menjadi SK 152. Ini SK yang digugat Walhi dan kalah sampai di MA. Diperpanjang lagi dan diubah menjadi SK 183 perubahan.”

Dia menjelaskan, kekalahan gugatan Walhi bukan karena materi gugatan, tetapi legal standing organisasi Walhi. “Jadi, bukan materi gugatan yang ditolak.”

Aksi teatrikal yang mempertunjukkan aparat kepolisian tega meneror dan menyakiti warga demi kelanggengan dan kenyamanan operasi tambang PT MMP. Foto: Sapariah Saturi
Aksi teatrikal yang mempertunjukkan aparat kepolisian tega meneror dan menyakiti warga demi kelanggengan dan kenyamanan operasi tambang PT MMP. Foto: Sapariah Saturi
Atraksi tIga sekawan yang saling menguatkan. Foto: Sapariah Saturi
Atraksi tiga sekawan yang saling menguatkan. Foto: Sapariah Saturi
Spanduk yang dibawa Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan gedung UOB Jakarta, Selasa (6/5/14). Foto: Sapariah Saturi
Spanduk yang dibawa Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan gedung UOB Jakarta, Selasa (6/5/14). Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,