Krisis Air, Picu Konflik Ekologi dan Sosial Masyarakat

Persoalan krisis mata air menjadi permasalahan serius bagi masyarakat di Jawa Timur, karena dapat berdampak terhadap keberlangsungan hidup sebuah ekosistem, akibat semakin berkurangnya sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Eksploitasi air yang dilakukan secara tidak terkendali, selain merugikan rakyat secara umum juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Konflik sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur menjadi salah satu konflik ekologi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan pada sebuah ekosistem. Dengan lepasnya sumber mata air di suatu tempat akan dapat menjadi preseden buruk hilangnya sumber mata air di tempat lain.

“Kasus yang mengemuka di konflik ekologi Jatim terbaru ya perjuangan masyarakat pada kasus mata air Umbul Gemulo, antara warga dengan pemilik hotel The Rayja di Batu,” kata Ahmad Rossul, anggota Divisi Advokasi dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.

Rencana pembangunan hotel di atas sumber mata air itu menjadi penyebab aksi penolakan warga, yang berujung pada gugatan hukum di pengadilan antara warga dengan pemilik hotel. Dikatakan oleh Zainal, salah satu warga Bumiaji, Kota Batu, penolakan pembangunan hotel di atas sumber mata air itu dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan serta pencemaran lingkungan secara luas.

“Kalau terjadi keretakan mungkin akan mencemari, karena hotel itu posisinya diatasnya sumber mata air, jelas kalau ada keretakan pasti mencemari. Padahal sumber ini digunakan untuk air minum puluhan ribu warga,” ujar Zainal, warga sekitar mata air Umbul Gemulo, Kota Batu kepada Mongabay-Indonesia.

Hotel The Rayja akan dibangun menjadi hotek tingkat 4, yang berjarak sekitar 150 meter dari sumber mata air Umbul Gemulo.  Pembangunan itu dipastikan akan memerlukan tiang pacing, yang itu dikhawatirkan warga dapat mengganggu kelestarian mata air.

Krisis air, mengancam ekologi dan jaringan sosial masyarakat. Foto: Petrus Riski
Krisis air, mengancam ekologi dan jaringan sosial masyarakat. Foto: Petrus Riski

“Kami khawatir terjadi kerusakan di area setempat, terutama pecahnya palung air atau retak sehingga dapat berpengaruh terhadap masalah lingkungan. Konflik terjadi karena warga protes kepada pemerintah setempat karena keluarkan kebiiajakan yang kurang tepat, ijin yang keliru,” terang Zainal yang sudah memprotes usaha eksploitasi ini sejak 3 tahun terkahir.

Zainal mengeluhkan semakin berkurangnya debit air di sumber mata air Umbul Gemulo, yang selain dimanfaatkan untuk air minum, juga digunakan untuk pengairan lahan pertanian serta peternakan warga.

“Untuk akhir-akhir ini sering sekali berkurang, didalam konteks tersendiri misalnya di irigasi, bahkan ada yang sampai bertengkar karena masalah air. Debit (air) tentu saja berkurang, karena kebutuhan memang bertambah, karena digunakan oleh warga,” lanjut Zainal yang bersama warga di 5 desa yakni Sidomulyo, Bulukerto, Bumiaji, Binangun, dan Pandanrejo bertekad terus mempertahankan mata air Umbul Gemulo.

Pemanfaatan air kata Ahmad Rossul telah dilakukan oleh banyak industri, yang bertujuan untuk mengelola serta membuang limbah secara mudah. Dari 100 persen air di bumi hanya 1 persen air bersih yang dapat dipergunaan, yang itu banyak dimanfaatkan oleh industri besar dibandingkan oleh masyarakat umum.

“Pihak yang mengeksploitasi adalah industri, itu mereka butuh sebuah lahan yang lebih luas dengan begitu membutuhkan butuh debit air yang semakin banyak. Seperti di Petrokimia mengambil dari DAS (daerah aliran sungai) Bengawan Solo, itu sekitar 600 liter per detik setiap hari. Jadi ada kebutuhan yang mendesak pada satu sisi di skala Industri, pada sisi lain adalah kepentingan masyarakat yang semakin lama semakin menjadi disparitas atau ketidakadilan dengan kodisi yang ada,” Ahmad Rossul menjabarkan.

Diungkapkan oleh Ahmad Rossul, berkurangnya sumber mata air di Jawa Timur secara drastis dalam sepuluh tahun terakhir, harus menjadi perhatian serius pemerintah dan seluruh masyarakat, agar tidak sampai terjadi kerusakan lingkungan beserta makhluk hidup didalamnya.

“Dari 461 mata air, sekarang tinggal 46 mata air yang ada di seluruh di Jawa Timur, itu bagi kami adalah persoalan yang krusial. Kedepan kalau tidak dijaga maka akan dapat menjadi sebuah ancaman yang serius bagi keberlangsungan sebuah ekosistem,” tutur Ahmad Rossul.

Pemerintah bersama masyarakat imbuh Ahmad Rossul, harus segera menyikapi persoalan krisis mata air ini, agar tidak terjadi kerusakan ekologi secara luar akibat hilangnya sumber mata air.

Harus ada upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan lingkungan dengan segenap kemampuan yang ada, Peraturan yang dibuat harus mampu melindungi serta menjaga lingkungan dari upaya eksploitasi yang merusak,” pungkas Ahmad Rossul.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,