Saat Orangutan Berjumpa Kukang, Ternyata Tidak Memangsa…

Tahun 2004 dan 2012, sejumlah pakar merekam perjumpaan yang sangat jarang terjadi antara dua primata yang sangat berbeda, yaitu orangutan Kalimantan dari sub-spesies wurmbii (Pongo pygmaeus wurmbii) dan kukang Filipina (Nycticebus menagensis). Namun alih-alih memangsa kukang tersebut, dimana hal ini sangat mungkin dilakukan oleh orangutan Sumatera, meski jarang terjadi.

“Sangat penting untuk mendokumentasikan terkait hal ini, karena hal ini memperlihatkan kebiasaan membudaya yang berbeda antara populasi orangutan, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan satwa lainnya yang berbagi tempat tinggal dengan mereka,” ungkap peneliti Helen Morrogh-Bernard dari University of Exeter kepada Mongabay.com, yang juga direktur proyek Orangutan Tropical Peatland Project, yang sekaligus salah satu penulis penelitian yang dimuat dalam jurnal ilmiah Primates ini.

Dalam perjumpaan pertama orangutan betina muda berlari menuju si kukang saat bermain dengan yang jantan. Si kukang pun sontak melarikan diri, dan si orangutan betina tidak mengejarnya. Dalam perjumpaan kedua, yang diteliti 8 tahun kemudian, pertemuan ini menjadi lebih dinamis. Saat induk kukang merawat bayinya, salah satu anak orangutan betina mendatanginya dan berupaya untuk terlibat.

“Orangutan dengan gembira menggoyangkan ranting-ranting pohon kendati si kukang berhasil tetap bertahan disitu,” tulis para peneliti. “Orangutan mencoba untuk pindah ke cabang lain, menjangkau untuk meraih kukang, tapi kukang mundur, ia kemudian menghadap orangutan dan mencoba untuk menggigit atau mencakar orangutan saat ia mundur. Si orangutan kemudian mulai menggoyangkan cabang lagi. Pola ini berlanjut, dengan kukang bergerak dari cabang ke cabang dalam pohon kecil saat orangutan mencoba mendekati.”

Setelah 10 menit, orangutan itu mulai kehilangan gairah dan si kukang melarikan diri. Kedua observasi ini dilakukan di Kalimantan, tepatnya di hutan Sebangau.

Para peneliti menulis bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh orangutan dalam kedua kasus ini memperlihatkan bahwa mereka nampaknya tidak memiliki upaya untuk mengejar dan memakan kukang, namun lebih ke arah “mengganggu dan bermain”.

“Kukang hadir sebagai bahan godaan dan menarik minat, lebih sebagai teman bermain dibandingkan makanan untuk disantap,” tambah para peneliti. Hal ini menunjukkan perbedaan signifikan antara orangutan Sumatera dan Kalimantan.

“Observasi terhadap primata nokturnal dan diurnal yang saling bertemu relatif jarang. Yang menyedihkan biasanya primata yang lebih kecil yang menjadi pemberitaan karena menjadi bahan santapan bagi yang lebih besar,” ungkap Anna Nekaris, dari Oxford Brookes University dan sekaligus kepala LSM yang mengurusi kukang, Little Firefce Project, kepada Mongabay.com.

“Dalam banyak kasus, primata-primata ini hanya saling curiga dan memeprhatikan satu sama lain! misalnya saya sudah melihat monyet ekor panjang merawat kukang, yang kelihatannya sangat mengganggu..tapi tak ada yang menjadi korban dalam interkasi itu,” tambah Nekaris. “Kami masih banyak yang harus dipelajari dan seperti layaknya manusia, primata ain juga bisa menjadi sangat ingin tahu, bermain dan berdamai dengan tetangga mereka sesama primata.”

Namun bermain atau memakan kukang bisa sangat berbahaya, atau beracun. Kukang memproduksi racun dari kelenjar di bagian lengan atas mereka, yang kemudian dicampur dengan air liur mereka dan membuat gigitannya menjadi beracun. Dalam kedua kasus yang diamati tersebut, para pakar tidak melihat kekhawatiran orangutan terhadap potensi racun tersebut.

“Faktanya, induk orangutan tidak meminta anaknya berhenti bermain dengan primata beracun ini, dan ini menarik,mungkin karena orangutan di Sebangau jarang bertemu dengan kukang dan mereka tidak tahu bahayanya racun tersebut,” tulis penelitian ini.

Secara umum, kedua spesies orangutan ini bukan karnivora, bukan seperti sejumlah kelompok simpanse atau manusia. Kera besar di Asia sebagian besar memakan buah, madu, serangga dan telur. Kendati para peneliti telah mendokumentasikan orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) membunuh dan memakan kukang jenis Sunda slow loris (Nycticebus coucang), namun laporan seperti sangat jarang dan hanya bersifat oportunistik, menurut para peneliti. Data menunjukkan, kebiasaan ini hanya terlihat sembilan kali dan dilakukan oleh enam orangutan di Sumatera.

“Pertemuan yang tidak teratur antara kukang dan orangutan, menunjukkan ini bukan kejadian yang umum terjadi,” tulis peneliti lebih lanjut. “Alasan terjadinya hal ini mungkin bisa dijelaskan karena sifat nokturnal kukang atau kemampuan mereka untuk mencegah sifat predator orangutan dengan pertahanan racun mereka.”

Orangutan Kalimantan termasuk satwa yang terancam punah, sementara di sumatera termasuk dalam kelas kritis. Keduanya terancam akibat deforestasi, terutama akibat meluasnya perkebunan kelapa sawit dan perkebunan HTI untuk pulp and paper. Baik Malaysia maupun Indonesia memiliki angka kehilangan hutan yang sangat tinggi dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, Sunda slow loris dan kukang Filipina berstatus rentan, Kendati satwa ini juga terancam oleh hilangnya hutan, ancaman utama mereka adalah perburuan liar dan perdagangan satwa. Para pemburu mengambil kukang dari alamnya, memotong gigi taring mereka dan menjualnya kepada para pecinta satwa. Para ahli meyakini banyak kukang mati akibat perlakuan yang buruk dan makanan yang tidak semestinya saat mereka menunggu pembeli.

CITATION: Morrogh-Bernard, H. C., Stitt, J. M., Yeen, Z., Nekaris, K. A. I., & Cheyne, S. M. (2014). Interactions between a wild Bornean orang-utan and a Philippine slow loris in a peat-swamp forest. Primates, 1-4.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,