,

Berharap Air Anak-anak Musi Bersih Cemaran

Palembang itu kota air. Sayangnya, kondisi anak Sungai Musi, menyedihkan. Sebagian besar air sungai-sungai itu berwarna hitam atau coklat pekat. Berbau tidak sedap, penuh lumpur dan sampah. Jangankan sebagai sumber air bersih, buat sarana transportasi pun tak bisa lagi. Masih mungkinkah berharap anak-anak Sungai Musi kembali bersih?

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Selasa (6/5/14) mengatakan, pencemaran anak sungai itu karena limbah rumah tangga, limbah pasar, hotel, industri rumah tangga, sampai limbah rumah sakit.

Kondisi tambah parah, karena anak sungai sudah menyempit, dangkal dan panjang berkurang. Bahkan, ada anak sungai hanya tinggal 200 meter,  sebagai dampak penimbunan.

Jika dibandingkan masa kolonial Belanda, jauh beda. Masa itu, tercatat 316 anak Sungai Musi mengalir di Palembang. Air jernih hingga bisa menjadi sumber air bersih. Bahkan menjadi sarana transportasi. Hingga 1970-an, air anak Sungai Musi ini masih sebagai sumber air bersih.

Selain limbah, air anak Sungai Musi buruk didorong penimbunan rawa dan drainase tidak bagus. Rawa sebagai daerah resapan di Palembang, kian habis. Sebagai lokasi perumahan, perkantoran, dan rumah toko. Di bawah 2005, luas rawa di Palembang sekitar 200 kilometer persegi. Kini tersisa 58,34 kilometer persegi. Dari luasan rawa ini, semua bukan lagi alami. Melainkan rawa konservasi, budidaya dan reklamasi. Rawa konservasi 2.106 hektar, budidaya 2.811 hektar dan reklamasi 917 hektar.

Sedang drainase, tempat penyaluran limbah cair juga buruk. Selain sempit, dinding rusak, dan tidak sesuai kapasitas pembuangan limbah cair. Ia juga dipenuhi limbah padat seperti plastik.

Kerusakan drainase ini dibenarkan pemerintah Palembang. Pada 2011, 40 persen dari 2.000 kilometer panjang drainase di Palembang memprihatinkan. Penyebabnya, endapan lumpur maupun dinding rusak.

Air buruk mengalir ke induk, hingga kualitas air Sungai Musi sekitar 622 kilometer, terus menurun.

Namun, kata Hadi, kualitas air Sungai Musi ini bukan hanya kualitas air dari anak sungai. Berbagai aktivitas industri, pertambangan batubara, perkebunan sawit, HTI, di hulu Sungai Musi, juga pemicu.

Dari luas Sumatera Selatan 8,7 juta hektar, luasan konsensi pertambangan, 2,7 juta hektar, HTI 1,3 juta hektar, perkebunan sawit 1 juta hektar.

Heni Kurniawati, Kepala Bidang Pengendalian, Pencemaran Lingkungan (P2L) BLH Palembang, menyebutkan, ada 11 titik mengalami penurunan kualitas air. Ke-11 titik ini antara lain di Jembatan Ampera, Pulokerto, Gandus, dan Sei Selayur.

Akibatnya, air Sungai Musi sebagai sumber bahan baku untuk PDAM Tirta Musi, harus bekerja dua kali dari sebelumnya. “Untuk menghasilkan kualitas air normal,  harus pengelolaan lagi.”

Pantauan terhadap kualitas air baku di Sungai Musi oleh BLH setiap tahun pada Maret, Juni, September dan November.  Juga pemantauan sembilan anak sungai di Palembang, seperti Sungai Bendung, Lambidaro dan lain-lain.

Pada 2013, BLH memantau 14 titik di Sungai Musi serta di sembilan anak sungai. Berdasarkan uji laboratorium, PH dari contoh air dari Sungai Musi, masih normal berkisar 6-9. Namun, kualitas baku mutu agak berkurang, karena zat seperti BOD, COD, dan fosfat. “Ini akibat limbah domestik, seperti limbah cair dan diterjen.”

Sebelumnya, para penduduk di wilayah yang terjadi penurunan, seperti Gandus, ternyata banyak penderita diare saat musim penghujan atau kemarau. Setiap tahun ribuan warga Gandus diare.

Gema Asiani, kala menjabat Kepala Dinas Kesehatan Palembang pada 2011, menyatakan, wilayah pemukiman di Palembang yang rentan diare yakni Gandus dan Makrayu.

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Palembang pada awal 2013, tercatat puluhan warga terserang penyakit demam berdarah (DBD) dan puluhan ribu terserang penyakit saluran pernapasan. Jika diperhatikan para penderitanya sebagian besar di wilayah dengan kualitas air buruk.

Sungai Musi, sebagai pusat dari anak-anak sungai mengalami beragam masalah. Dari pencemaran dampak sampah, pendangkalan sampai polusi zat kimia seperti amoniak. Foto: Taufik Wijaya

Guna memperbaiki kualitas air Sungai Musi, Walhi Sumsel menyarakan beberapa langkah. Langkah ini sebaiknya serempak seperti rehabilitasi hutan, penghentian berbagai penambangan batubara. Lalu, menghentikan alih fungsi hutan, pengolahan limbah industri yang baik, penataan anak Sungai Musi, drainase, pengolahan limbah domestik yang baik. Kemudian, menjaga keberadaan rawa, gambut, penanaman pohon atau penghijauan di sekitar anak sungai dan rawa tersisa.

“Dengan beberapa langkah ini, impian kita mengembalikan kejernihan air anak Sungai Musi mungkin akan terwujud,” kata Hadi.

Perda Produsen Harus Pungut Sampah

Khusus sampah domestik, Hadi tidak setuju jika sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat. Berdasarkan UU Sampah No.18 tahun 2008, para produsen harus bertanggungjawab terhadap sampah produknya.

“Karena itu, industri banyak menghasilkan sampah seperti mi instan atau minuman kaleng dan plastik, harus memungut kembali sampah itu. Misal, perusahaan membuat petugas yang memungut kembali sampah di lingkungan.”

Mengenai pengaturan, pemerintah Palembang dapat melahirkan peraturan daerah mengenai pengelolaan sampah perusahaan.

Volume sampah Palembang terus meningkat. Saat ini volume sampah diperkirakan lebih 600 ton per hari. Pada akhir 2013, menurut Mahbuk, sekretaris Dinas Kebersihan Palembang, sampah mencapai 600 ton per hari. Warga Palembang yang berjumlah 1,6 juta, berpotensi menyumbangkan 0,5 kilogram sampah per hari.

Sri Lestari Kadaria, ketua Himpunan Masyarakat Peduli Sungai, Rawa dan Gambut (Man-Peduli), mengatakan, pemerintah harus memperhatikan pengolahan limbah di rumah sakit, hotel dan pasar. “Pemerintah harus memastikan pengolahan limbah rumah sakit, hotel dan pasar tertata baik.”

Khusus limbah padat, dari pasar dan hotel, pemerintah harus mendorong tempat pengelolaan mandiri. Terbaik jika memberikan dampak positif bagi masyarakat, seperti mengolah sampah menjadi pupuk.

Mengenai sampah, pemerintah Palembang menjawab dengan program pengolahan sampah menjadi listrik. Bekerjasama dengan PT Gikoko Kogyo, sejak Maret 2014, sebanyak 120 keluarga bermukim di TPA Sukawinatan, Palembang, menikmati aliran listrik dari sampah menjadi gas metan. Energi listrik kekuatan 120 kilo watt, bakal ditingkatkan menjadi 500 kilo watt.

Romi Herton, Walikota Palembang mengatakan, program ini selain mengatasi sampah, juga upaya penangkapan gas metan untuk mengurangi dampak pemanasan global.

Guna mengantisipasi banjir dan genangan air, hingga 2014 pemerintah Palembang membangun 26 kolam retensi. Keberadaan kolam retensi diklaim menurunkan titik genangan atau banjir, seperti pada 2013 dari 32 titik turun menjadi 12 titik.

Pemerintah Palembang juga  menormalisasi anak sungai, misal Sungai Sekanak dan Bendung, dan perbaikan drainase pada titik yang sering menjadi genangan air.

Dibantu AusAID

Pemerintah Palembang mendapat bantuan AusAID untuk membangun instalasi penglolaan air limbah) dan jaringan perpipaan air limbah, melalui proses kriteria seleksi Metropolitan Sanitation Management and Investment Program.

Tujuan bantuan ini,  menjaga kualitas dan kuantitas anak Sungai Musi yang melintasi Palembang yang tercemar, salah satu dari air limbah domestik, dan meningkatkan kesehatan lingkungan masyarakat.

Pemerintah Indonesia memperoleh hibah pemerintah Australia US$190 juta, untuk IPAL dan jaringan perpipaan US$30 juta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,