,

Beragam Ancaman Mengintai, Habitat Kedua Badak Jawa Mendesak

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten. Kawasan itu rawan bencana alam. Taman nasional seluas 122.956 hektar ini dekat anak Krakatau. Kala bencana alam dan menimbulkan tsunami khawatir menyebabkan badak Jawa punah. Habitat kedua bagi satwa langka inipun mutlak dilakukan.

“Kalau populasi hanya di satu kantong akan membuat spesies rawan kepunahan. Terlebih sekitar daerah penyangga TNUK rawan wabah penyakit,” kata Elisabet Purastuti, Project Leader WWF Ujung Kulon, awal Mei 2014.

Elis mengatakan, jika kondisi dibiarkan, ketika TNUK terkena wabah penyakit, badak Jawa bisa mati dalam jumlah banyak hingga cepat punah.

Masyarakat sekitar TNUK yang memelihara kerbau memiliki kebiasaan mengembalakan binatang itu tanpa di kandang. Seringkali kerbau masuk ke TNUK. Kerbau bisa membawa penyakit ke satwa liar di TNUK, termasuk badak Jawa.

“Kami kerjasama dengan Cornell University meneliti penyakit yang ada di kerbau. Dari 19 desa berbatasan dengan TNUK, kita ambil sampel darah kerbau. Hasilnya menunjukan ada potensi penyebaran penyakit dari kerbau ke satwa liar di TNUK,” kata Nia, dokter hewan WWF project Ujung Kulon.

Nia mengatakan, beberapa penyakit yang ditemukan pada kerbau endemik buffer zone TNUK. Juga penyakit trypanosoma dan antraks. Trypanosoma pernah ditemukan pada darah tujuh badak Sumatera yang mati di Malaysia.

Tantangan lain yang TNUK adalah invasi langkap (Arenga obtusifolia) yang makin merebak. Vegetsi jenis palma ini mengandung zat alelopati hingga membuat pakan badak Jawa sulit tumbuh. Badak Jawa memakan 253 jenis tumbuhan.

“Dari TNUK, hanya 40 persen bebas langkap. Jika dibiarkan, pakan badak makin berkurang,” timpal Elisabet.

WWF project Ujung Kulon telah meneliti dengan makin merebak langkap di TNUK. WWF ujicoba pada lima hektar dibagi dalam lima plot, masing-masing plot satu hektar. Ada beberapa plot langkap dibabat habis, ada juga dibiarkan tumbuh, atau sebagian tumbuh. Hasil pengamatan WWF, di daerah langkap dibabat habis, beberapa bulan badak Jawa datang dan terekam kamera trap.

Jejak-jejak badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Indra Nugraha
Jejak-jejak badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Indra Nugraha

“Langkap makin meluas. Tak hanya di pesisir, juga di pegunungan. Biji langkap disebarkan musang. Kita sedang meneliti apakah di TNUK ada rantai makanan hilang atau tidak. Bisa jadi pemangsa musang mungkin hilang. Hingga langkap makin merebak.”

Untuk memperdalam penelitian, WWF Project Ujung Kulon akan memasang kamera trap di areal yang banyak langkap.

“Saat ini menangani langkap dengan roundup (nama sejenis herbisida, red), atau diracun. Cara lain dipotong habis. Kita tak bisa menghilangkan langkap sepenuhnya,” ujar Elis.

Pertumbuhan langkap di TNUK sulit terlacak. Meskipun menggunakan citra satelit, persebaran makin merebak. Balai TNUK bersama WWF project Ujung Kulon, IPB, dan Yayasan Badak Indonesia (YABI) bekerjasama membuat manajemen habitat guna mengontrol penyebaran langkap.

Persaingan ruang dan pakan dengan banteng juga menjadi ancaman badak Jawa. Sebab, penelitian beberapa pihak menunjukkan banteng TNUK tak hanya memakan rumput, juga pucuk daun. Sama seperti badak Jawa. Populasi banteng di TNUk  lebih dari 800.

Tanpa habitat baru, juga bisa memperbesar risiko perkawinan sedarah pada badak Jawa. Jika habitat baru dibuat, upaya perkembangbiakan bisa disiasati dengan memindahkan individu yang genetik berlainan.

“Saat ini, populasi badak Kawa TNUK statis. Jantan lebih banyak dari betina. Idealnya satu jantan berbanding empat betina. Di TNUK statis mungkin jantan berantem terus hingga menghambat proses perkawinan,”  kata Elis.

WWF project Ujung Kulon sudah meneliti beberapa lokasi untuk dijadikan second habitat. Lokasi itu antara lain, Cagar Alam Leweung Sancang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Hutan Produksi KPH Banten, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Cagar Alam Rawa Danau dan Hutan tutupan Baduy.

“Dari sekian banyak, Suaka Margasatwa Cikepuh mendekati ideal. Masih perlu diteliti lagi. Juni nanti kami akan workshop membahas masalah ini.”

Pemerintah telah membuat strategi rencana aksi konservasi badak Jawa 2007-2017. Dalam rencana itu, target pertumbuhan populasi dipatok 20 persen hingga 2017. Dalam pertemuan negara-negara yang memiliki badak di Bandar Lampung, disepakati membuat pertumbuhan populasi badak di seluruh dunia 3% per tahun.

Untuk mencapai pertumbuhan ini, wacana membuat habitat kedua badak Jawa menguat. Namun, menuju ke sana memerlukan waktu panjang. Perlu kesiapan matang.

“Saya tidak bisa memastikan berapa badak akan ditranslokasi ke habitat baru. Apakah sepasang, dewasa atau remaja, masih diteliti,” kata Elis.

Dia mengatakan, Kementerian Kehutanan dan stakeholder lain harus menyepakati wilayah mana yang tepat bagi habitat baru badak. Kapasitas sumber daya manusia TNUK dan mitra ikut berperan. “Harus ditingkatkan. “Jalan masih sangat panjang. Harapan saya 2017 bisa dilakukan.”

Tantangan lain, membuat habitat baru badak Jawa adalah soal budaya setempat. Selama ini, masyarakat Banten terlanjur berbangga hati dengan badak Jawa hanya di Ujung Kulon. Ketika dibuatkan habitat baru, membuat kebanggaan berkurang.

Lahan yang ditumbuhi langkap. Foto: Indra Nugraha
Lahan yang ditumbuhi langkap. Foto: Indra Nugraha

Indra Kristiawan, koordinator Javan Rhino Study Conservation Area (JRSCA) mengatakan, ada tantangan dari masyarakat untuk membuat habitat baru dengan anggapan badak Jawa hanya milik Banten. “Habitat baru mutlak.”

Untuk mengintensifkan penelitian mengenai badak Jawa, sejak 21 Juni 2010, TNUK membangun JRSCA. Pembangunan di lahan 500 hektar itu sudah memasuki tahap akhir. Diperkirakan Juni tahun ini selesai.

“Kita sudah menyelesaikan pagar sepanjang 5,3 km dengan lebar jalan lima meter. Kita sedang membangun di utara. Panjang 2,350 km.”

Saat ini, belum selesai pemasangan listrik di JRSCA. Tempat ini akan menjadi tempat memperluas habitat badak Jawa. JRSCA juga dibuat mencegah ancaman penyakit zoonosis, tempat reproduksi badak lebih intensif, dan untuk riset.

JRSCA juga sebagai ecotourism. Pengunjung TNUK bisa mendapatkan banyak pengetahuan mengenai badak Jawa di sana.

“Kita akan memasang menara dan canopy track. Ini sedang dibicarakan para peneliti.”

Badak Mati

Maret 2014, badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) bernama Sultan ditemukan mati di pantai Cikembang. Tepat di muara sungai TNUK, seberang Pulau Peucang. Sebelum itu, Balai TNUK melansir peningkatan populasi badak Jawa. Waktu itu populasi 58 ekor. Terdiri dari 35 jantan, dan 23 betina.

Saat ditemukan, badak jantan ini masih utuh, namun organ sudah membusuk. Bangkai badak ditemukan tim pemasang video trap Rhino Monitoring Unit (RMU). Perkiraan umur badak sekitar 23-26 tahun.

“Ketika ditemukan, masih utuh. Berbeda dengan badak Jawa mati tahun lalu. Organ badak sudah dibawa ke IPB untuk diteliti. Termasuk air hingga serangga di dekat bangkai juga ikut dievakuasi,” kata Muhiban, penanggungjawab Rhino Health Unit Balai TNUK.

Hingga kini, Balai TNUK menunggu hasil investigasi.“Investigasi memakan waktu sangat lama.”

Tahun 2012 dan 2013 pernah ditemukan badak Jawa mati tetapi tinggal tulang belulang.

Balai TNUK membentuk tim investigasi untuk memastikan penyebab kematian badak Jawa ini. Tim terdiri dari beberapa peneliti dan mitra TNUK.

Ridwan Setiawan, Rhino Monitoring Officer WWF Ujung Kulon mengatakan, investigasi penyebab kematian badak Jawa  ini akan lama karena jejak sudah terinjak.  Hingga sulit melacak pakan terakhir yang dimakan badak sebelum mati.

Warga mulai mengandangkan ternak yang biasa dibiarkan lepas hingga khawatir menularkan penyakit ke satwa liar. Foto: Indra Nugraha
Warga mulai mengandangkan ternak yang biasa dibiarkan lepas hingga khawatir menularkan penyakit ke satwa liar. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,