,

Potensi Peluang Blue Carbon dari Ekosistem Pesisir dan Laut

Konsep perdagangan karbon melalui blue carbon – penyerapan karbon dari ekosistem pesisir dan laut- semakin menjadi perhatian global. Berbagai negara pemilik ekosistem pesisir dan laut mulai berminat untuk mengeksplorasi potensi blue carbon sebagai cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dengan insentif pendanaan melalui perdagangan karbon.

Sebagai negara kepulauan tropis terbesar, Indonesia merupakan mega biodiversity hidupan laut dan ekosistem pesisir, seperti  kawasan coral triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia, ekosistem mangrove sekitar 3,1 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia dan 30 juta hektar padang lamun (seagrass) yang terluas di dunia.

Pada acara International Blue Carbon Symposium (IBCS) di Manado Convention Center,  Manado, Sulawesi Utara, pada Kamis (15/5), ahli kelautan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Supangat mengatakan pemerintah melalui DNPI telah mengembangkan konsep perdagangan karbon di Indonesia bernama Skema Karbon Nusantara (SKN), yang dapat digunakan untuk perdagangan blue carbon. Melalui SKN, upaya penyerapan karbon, bisa didaftarkan, diverifikasi dan akhirnya mendapat sertifikasi untuk diperdagangkan yang nantinya bisa mendapatkan kompensasi pendanaan.

Meski blue carbon tidak disebutkan sebagai tujuh prioritas Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK), ada delapan aktivitas pendukung yang dimasukkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), antara lain manajemen area konservasi, rehabilitasi area konservasi laut dan rehabilitasi ekosistem pesisir.

Agus Supangat mengatakan ekosistem pesisir dan laut masih belum menjadi perhatian utama dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia, meski berkontribusi dalam emisi GRK. Blue carbon juga belum masuk dalam laporan kedua status perubahan iklim Indonesia (Second National Communication) kepada Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).

Padahal tercatat terdapat kerusakan ekosistem hutan bakau dari 3,7 juta hektar pada 1997 menjadi 1,5 juta hektar pada 2005, termasuk kerusakan 25 persen ekosistem padang lamun (sea grass).

Blue Carbon juga berpeluang masuk dalam Perpres No.71/2011 tentang Inventarisasi GRK, karena berdasarkan panduan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sumber emisi karbon yang signifikan bisa diinventarisasi.

Perahu sape dan rumah masyarakat Suku Bajo. Potensi pengelolaan pesisir harus melibatkan keberadaan masyarakat lokal dan tradisinya. Foto: Christopel Paino

Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan pihak terkait perlu melakukan berbagai hal agar blue carbon bisa masuk sebagai penanganan perubahan iklim sekaligus alternatif sumber dana, antara lain riset untuk mengukur emisi dan perkiraan proyek blue carbon dari ekosistem laut dan pesisir yang terdegradasi, sistem MRV (monitoring, reporting and verification) dengan metodologi yang relevan, sampai dengan strategi pengembangan dan kebijakan mempromosikan blue carbon.

Dari berbagai sumber menyebutkan pasar karbon tumbuh mencapai 140 miliar USD per tahun. Sedangkan pasar karbon di Uni Eropa mencapai 107 miliar Euro pada 2011.

Agus Supangat menyebutkan sudah ada proyek Blue Carbon yang masuk pasar karbon internasional, tetapi jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan sektor lain.

Sedangkan pada pasar perdagangan karbon sukarela (voluntary), nilai tukar satu ton karbon bisa bervariasi antara 5 – 15 USD, meski saat ini di pasar karbon Eropa nilai tukar satu ton karbon berkisar dibawah 1 USD.

Apabila potensi blue carbon sebesar 138 juta ton setara karbon bisa diperdagangkan pada pasar karbon, misalnya masuk pada pasar karbon voluntary dengan kisaran harga 10 USD per ton, maka Indonesia bisa mendapatkan 1,38 miliar USD per tahun. Suatu jumlah yang signifikan untuk masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya lautnya.

Pemandangan hutan mangrove yang masih lestari di Balikpapan. Foto: Hendar

Ekosistem Pesisir dan Mangrove Penting bagi Serapan Karbon

Sementara itu, Grevo S. Gerung dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado mengatakan 55 persen karbon di atmosper ditangkap oleh hidupan laut dan ekosistem pesisir secara terus  menerus untuk jangka waktu yang lama.

Oleh karena itu, pembukaan hutan mangrove bisa meningkatkan emisi karbon secara signifikan, yaitu 150 ton karbon per hektar per tahun, bahkan mencapai 750 ton karbon per hektar per tahun bila sedimen hutan bakau dibuka.

Sebagai perbandingan, proyek restorasi mangrove di negara Senegal, Afrika dengan estimasi emisi yang bisa direduksi sebesar 2.700 ton setara karbon per tahun menjadi salah satu contoh proyek yang masuk pasar karbon melalui Clean Development Mechanism (CDM).

Sementara itu untuk di Indonesia, telah terdapat proyek restorasi mangrove dan perlindungan pesisir di pantai timur Aceh dan Sumatera Utara dengan estimasi 56.662 ton setara serapan karbon per tahun yang telah teregistrasi masuk CDM.

Menurut Supangat, bila hal tersebut terwujud, masyarakat pesisir menjadi sejahtera, eksploitasi sumber daya laut menjadi sustainable dan Indonesia bisa berkontribusi dalam penanganan dampak perubahan iklim serta memenuhi targetnya untuk mereduksi 26 sampai 41 persen emisi karbon pada 2020.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,