,

Pesan buat Pemimpin Baru: Selamatkan Hutan, Gambut dan Jamin Hak Kelola Masyarakat

Moratorium hutan dan lahan gambut sudah memasuki tahun ketiga, tepat 20 Mei 2014. Kebijakan ini bertujuan memberi jeda waktu buat perbaikan tata kelola hutan. Tujuannya, memastikan keberlangsungan alam sekaligus pengakuan hak kelola masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Sayangnya, dalam kurun tiga tahun, carut marut tetap terjadi.  Izin-izin buat perusahaan sawit, HTI, tambang dan lain-lain terlebih dengan dalih master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) terus berjalan di kawasan yang masuk moratorium. Alam dan kehidupan masyarakat terus terancam. Moratorium hutan dan lahan seakan dikangkangi.

Indonesia, tak lama lagi memsuki era pergantian pemimpin baru. Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, mendesak,  pemimpin baru harus memiliki komitmen lebih kuat dalam penyelamatan hutan, gambut dan menjamin hak kelola masyarakat.

Demikian benang merah diskusi bertajuk “3 Tahun Moratorium Izin Kehutanan, Seperti Apakah Perlindungan Lahan Gambut, Pencegahan Kebakaran Hutan dan Penyelesaian Konflik di era Moratorium serta Harus Seperti Apakah Pemerintah Ke Depan?” di Jakarta, 21 Mei 2014.

Mereka mengajukan beberapa rekomendasi kepada Presiden SBY ataupun pemimpin baru nanti. Rekomendasi itu antara lain. Presiden harus memastikan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca nasional seperti dicanangkan. “Salah satu lewat menghapus pengecualian dalam Inpres Moratorium,” kata Teguh Surya, pengkampanye Politik Hutan Greenpeace.

Adapun pengecualian Inpres Moratorium yang harus dihapus itu terkait permohonan yang mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan, pelaksanaan pembangunan nasional bersifat vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi,ketenagalistrikan, dan lahan untuk padi dan tebu. Lalu, perpanjangan izin pemanfaatan hutan atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usaha masih berlaku.

Perusahaan tambang Arthaindo tengah membabat hutan di kawasan hutan lindung Tojo Una-una. Meskipun perusahaan ini sudah di-police line karena diduga beroperasi sebelum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kemenhut, tetapi tetap beroperasi. Lucunya lagi, kawasan ini masuk moratorium. Foto: Jatam Sulteng

Bagian restorasi ekosistem, katanya, masih berlaku dengan mengganti istilah RE dengan pemulihan ekosistem.

Koalisi mendesak, Presiden segera menerbitkan landasan hukum peninjauan kembali izin‐izin konsesi perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan di atas hutan dan lahan gambut serta hutan adat. Juga memastikan pemerintah membangun mekanisme pemantauan atau pengawasan moratorium yang mudah dimengerti dan diakses masyarakat, khusus kaum perempuan.

Presiden juga didesak revisi RPP Gambut dengan melibatkan partisipasi aktif pemangku kepentingan, khusus masyarakat di sekitar lahan gambut.

Lalu, menghentikan dan mencegah dampak bencana kebakaran hutan dan gambut meluas. Caranya, tidak membenarkan pembangunan kebun baru dan HTI pada lahan gambut dan hutan yang tersisa, mengkaji ulang konsesi di lahan gambut, termasuk yang masih tahap pengajuan. Lantas, penegakan hukum perusahaan yang areal konsesi terbakar, dan fokus kejahatan korporasi.

Pemerintah juga didesak segera mengesahkan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Contoh-contoh di lapangan yang menunjukkan moratorium belum berjalan efektif dijabarkan. “Melihat perkembangan peta indikatif penundaan izin baru, justru terjadi kompromi dengan izin-izin lokasi yang baru diusulkan,” kata Frangki, Yayasan Pusaka.

Dia mencontohkan, di Papua dan Papua Barat, setidaknya ada tiga permasalahan besar. Pertama, ketentuan pengecualian dalam kebijakan moratorium masih memungkinkan perkebunan besar masuk wilayah moratorium dengan mengusung kepentingan pangan dan energi. Salah satu contoh, mega proyek MIFEE di Merauke, izin dan rekomendasi keluar meskipun di wilayah moratorium.

Kedua, pemberian izin baru oleh pemerintah daerah meningkat, hingga terjadi alih fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan. Lebih dari 1,5 juta hektar kawasan hutan di Papua dan Papua Barat untuk pencadangan hutan tanaman industri (HTI) dan 2,6 juta hektar hutan alam dialokasi buat ditebang.

Ketiga, alih fungsi kawasan hutan massif. Pemerintah Papua Barat mengesahkan usulan revisi RTRW dengan perubahan kawasan hutan seluas 1.836.327 hektar. Ini terdiri dari perubahan peruntukan 952.683 hektar dan fungsi 874.914 hektar. Kawasan APL menjadi kawasan hutan hanya 8.730 hektar. “Sebagian besar untuk investasi perkebunan.”

Azmi Sirajuddin, Yayasan Merah Puti Palu, Sulawesi Tengah, angkat bicara. Di Sulteng, dari 443 IUP memakan kawasan hutan sleuas 1,3 juta hektar. “Ini sudah dua pertiga dari kawasan hutan Sulteng yang tinggal 3,1 juta hektar. Besar sekali, ini buat kepentingan pertambagan,” ujar dia.

Dia mengatakan, kawasan-kawasan parah perusakan kawasan hutan, termasuk di kawasan moratorium, seperti di Kabupaten Banggai, Morowali dan Tojo Una-una. “Desa Podi, itu masuk Inpres Moratorium, tetapi pada 2012 bupati kasih izin nikel dan biji besi. Ini daerah bencana tapi tetap dikasih izin. Moratorium sama sekali tak ditaati.”

Hutan di Kepualauan Aru ini baru saja terlepas dari ancaman buat kebun tebu. Kini, muncul ancaman baru dari sawit. Padahal ini pulau kecil yang ditegaskan dalam UU tak boleh ada eksploitasi besar-besaran. Foto:

Kebijakan MP3EI menambah parah kerusakan, terlebih Sulteng masuk koridor biji besi dan nikel. Kepala daerah, katanya, lebih senang mengeluarkan izin atas nama MP3EI ketimbang taat pada Inpres Moratorium. “Ini sikap pembangkangan di Sulteng. Lebih suka uang tunai. Satu izin di Sulteng sekitar Rp1 miliar dengan dalih dana reklamasi. Ini jadi bisnis bupati di  Sulteng.”

Abu Meredian, Forest Watch Indonesia juga mengungkapkan kekhawatiran sama. Aturan di negeri ini, katanya, seakan tak bergigi. Sesuai UU Pesisir, pulau-pulau kecil di bawah 2.000 meter persegi dilindungi tetapi kenyataan berbeda, seperti terjadi di Kepulauan Aru. Izin-izin penguasaan lahan untuk perkebunan tebu dikeluarkan pemerintah daerah. Meskipun, belakangan disebutkan Menteri Kehutanan, kebun tebu tak layak di Kepulauan Aru. Bukan berarti aman, muncul kabar, sudah menanti persetujuan izin buat kebun sawit.

Di Kepulauan Aru, katanya, memiliki potensi kayu merbau cukup besar. “Di sana kayu merbau banyak diameter lebih satu meter.”

Dia meminta, pulau-pulau kecil jangan dianaktirikan, karena hutan-hutan di wilayah ini sangat rentan. “Kalau sampai dibabat akan munculkan dampak buruk bagi pulau dan orang di sana.”

Begitu pula terjadi di Kalimantan Tengah. Edo Rahman dari Walhi, mengatakan, Inpres Moratorium tak maksimal di daerah pilot project REDD+ ini. “Terbukti di Kalteng, muncul izin-izin memanfaatkan kawasan hutan yang masuk Inpres Moratorium.”

Miris. Meskipun Presiden sudah mengeluarkan inpres tetapi seakan tak wajib laksanakan daerah. “Karena para pemimpin daerah tak anggap wajib jalankan inpres itu. Terbukti banyak izin keluar.”

Muslim Rasyid, koordinator Jikalahari  mengatakan, moratorium seharusnya menjadi momentum koreksi izin-izin bermasalah di Riau, yang sampai saat ini penanganan tak jelas. Dia memperlihatkan bagaimana peta kawasan yang dilindungi moratorium, setiap revisi enam bulan berkurang dan akhirnya bersih dari perlindungan.

Tolak Capres Mafia Migas dan Tambang

Sebelum itu, Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam mendesak kandidat yang maju dalam pilpres tidak melibatkan mafia tambang dan migas dalam tim sukses pemenangan. Koalisi menganggap keterlibatan mafia tambang dan migas punya andil besar dalam carut marut tata kelola hutan selama ini.

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi itu antara lain, KontraS, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Fitra, Indonesia Corruption Watch, Jatam dan Solidaritas Perempuan.

Tepian pantai di Pulau Bangka, yang mulai direklamasi. Mangrove ditebang. Batu-batu ditumpahkan ke laut. Foto: Save Bangka Island

“Sektor tambang dan migas rumah nyaman bagi para koruptor. Di pilkada maupun pilpres banyak mafia tambang ikut sokong dana kampanye. Tambang dan migas jadi primadona kumpulkan modal politik,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam, Selasa (20/5/14).

Jika mafia tambang dan migas berperan, akan terjadi politik balas jasa. Banyak peraturan dan kebijakan menguntungkan mereka sebagai bagian balas jasa dukungan politik. “Tahun 2009, pasangan SBY-Boediono mendapatkan dana kampanye Rp24,5 miliar dari pengusaha tambang. Begitupun capres lain.”

Data Jatam, 68 persen Indonesia sudah terkavling untuk konsensi tambang, migas dan perkebunan. “Faktanya, pertambangan tidak membuat masyarakat sejahtera. Justru memakan lahan luas dan menimbulkan konflik dengan masyarakat. Akses mereka menjadi terbatas. Juga mengancam ketersediaan air,” kata Bagus.

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia, mengatakan, sebaiknya capres menutup celah mafia tambang dan migas masuk dalam tim sukses. “Jangan sampai ada penumpang gelap.”

Dia berharap,  capres yang maju transparan mengungkap sumber dana kampanye mereka. “Kami ingin capres dan cawapres tegas, mereka tidak melibatkan mafia migas dan tambang.”

Chalid mendesak, capres berkomitmen memperbaiki kebijakan tata kelola energi pertambangan yang lebih memihak rakyat. Juga membersihkan kabinet pemerintahan dari intervensi mafia tambang dan migas.

Senada dengan Hadi Prayitno dari Knowledge Management Manager Fitra.  Dia mengatakan, eksploitasi sumber SDA besar-besaran karena belanja negara dibebankan pada sumber lain, yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Padahal, 97 persen PNBP dari eksploitasi tambang dan migas. Di APBN 2014, mencapai Rp198 triliun. Tak heran eksploitasi SDA besar-besaran dengan dalih penyeimbang APBN.”

Dengan skema ini, bisa menyelamatkan APBN. Namun sisi lain mengorbankan alam, lingkungan dan keselamatan warga sekitar tambang. “Capres harus berpikir soal ini. Mereka harus berani menerapkan rasio pajak lebih tinggi. Beranikah yang maju sekarang berpikir ke arah sana? Sebab, mereka berhadapan dengan mafia,” kata Hadi.

Tak jauh beda dengan Syamdul Munir, divisi advokasi ekonomi dan sosial KontraS. Menurut dia, pertambangan seringkali merenggut hak masyarakat sekitar. Sebab, memakan lahan sangat luas. “Capres harus berani berkomitmen sejak awal menerapkan kebijakan reforma agraria. Kita kawal dari sekarang.”

Hingga 2013, KontraS mencatat ada 12 orang tewas, 211 luka dan 89 ditahan akibat konflik pengelolaan SDA, terutama tambang dan energi.

Emerson Yuntho aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, isu mafia migas dan tambang harus menjadi konsen utama capres. Ada banyak temuan KPK membuktikan negara dirugikan karena keluar izin tambang dan migas.

“Mereka harus berkomitmen sejak awal tidak menempatkan menteri dari kalangan politisi. Sebab jika kementerian penting seperti ESDM dan Kehutanan ditempati politisi akan tersandera. Sama seperti sekarang di Kemenhut. Kepentingan partai kental.”

Aliza Yuliana, dari divisi perempuan dan konflik SDA Solidaritas Perempuan menyorori dampak buruk pertambangan bagi perempuan. Setiap kali perusahaan tambang beroperasi, tidak pernah mempertimbangkan aspirasi perempuan.

“Padahal, perempuan pihak paling dirugikan. Dampak berlapis. Terutama soal kesehatan reproduksi. Capres harus berkomitmen mengubah ini. Jangan lagi ada politik balas jasa menguntungkan mafia tambang dan migas.”

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Eksploitasi SDA yang menjadi andalan pendapatan negara mengancam alam dan warga. Foto: Sapariah Saturi

Evaluasi Tiga Tahun Moratorium

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,