Peran komunitas bisnis multinasional sangat penting untuk mengedepankan etika berbisnis yang memiliki visi berkelanjutan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara
Asap hasil kebakaran hutan dan lahan dari pesisir timur Sumatera yang terjadi di tahun 2013 yang lalu merupakan bencana asap (transboundary haze) terburuk yang pernah terjadi di negeri Singa sejak 16 tahun yang lalu. Perekonomian dan kegiatan warga pun terganggu, bahkan pemerintah sempat melarang warga untuk beraktivitas di luar rumah karena kualitas udara yang amat buruk.
Cara-cara konvensional ternyata tidak dapat lagi diandalkan, terobosan terakhir yang ditempuh oleh pemerintah Singapura adalah dengan memberlakukan Undang-Undang yang akan mampu menjangkau kejahatan lintas negara. Sebagai contoh perusahaan-perusahan Singapura yang terbukti melakukan kejahatan korporasi di negara-negara tetangga, semisal perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri yang melakukan pembakaran lahan gambut, dapat dijerat hukum dan diadili di Singapura. Termasuk didalamnya memberikan hukuman bagi perusahaan-perusahaan dalam bidang perkebunan, HTI dan pulp and paper yang terbukti membakar lahan di Indonesia.
Berbicara di depan Forum Singapore Dialogue on Sustainable World Resource di Singapura (20/05/2014) Menteri Lingkungan dan Sumberdaya Air Singapura Dr. Vivian Balakrishnan tanpa basa basi menunjuk akar penyebab kebakaran lahan dan hutan yang menimbulkan asap di Sumatera adalah faktor dorongan ekonomi yaitu motif mencari keuntungan. Ia mendesak agar perusahaan-perusahaan bertindak dengan cara yang cermat, menjaga kelangsungan ekosistem dan masyarakat dan tidak hanya berorientasi kepada keuntungan.
Di satu sisi menurutnya ketergantungan kehidupan manusia terhadap sawit dan olahannya tidak bisa lagi dilepaskan, satu-satunya dengan cara adalah memastikan bahwa line product yang dihasilkan harus berpedoman kepada kepastian sumber pasokan yang transparan dan dapat dilacak (traceable).
Dengan semangat regulasi ini, tidak ada kata lain bagi pemerintah Singapura kecuali dengan cara mendorong kerjasama regional di antara para pemerintah di ASEAN untuk mencegah timbulnya aktivitas perusahaan-perusahaan nakal tersebut.
Ia menyadari bahwa persoalan kebakaran lahan dan asap merupakan hal yang kompleks di Indonesia. “Saya telah bertemu dengan pemerintah Indonesia di Jakarta, mereka memahami niat kami, dan membuka pintu untuk kerjasama yang lebih erat kedepannya.” Ia pun membantah inisiatif ini akan terhambat oleh kebijakan tradisional yang dianut negara-negara ASEAN yaitu kebijakan non intervensi masing-masing negara. Balakrishnan mengklaim bahwa ajakan Singapura memiliki korelasi dengan visi Green Economic Development yang digagas oleh Presiden SBY.
Menurutnya, ia telah mengajak pihak Indonesia untuk bekerjasama menyediakan data-data yang tidak dapat dibantahkan untuk digunakan di peradilan Singapura. Ia berharap data seperti peta dan data satelit mampu untuk menunjukkan bukti tentang adanya kejahatan korporasi yang menimbulkan dampak kebakaran asap.
Ketika ditanya tentang motif di balik pernyataan yang disampaikannya, Balakrishnan menolak bahwa Singapura bertindak hanya dalam konteks untuk melindungi kepentingan nasionalnya sendiri. “Kami melakukan ini bukan untuk kepentingan Singapura sendiri. Kami memikirkan keberlanjutan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara. Tidak ada artinya membandingkan kerugian yang dialami oleh Singapura dengan derita yang dirasakan oleh masyarakat lokal yang setiap tahunnya dilanda bencana asap seperti terjadi di propinsi Riau, Indonesia,” ujarnya.
Sebagai hub finansial di Asia Tenggara, Singapura memainkan peran yang vital dalam lalulintas transaksi keuangan sekaligus menjadi kantor pusat maupun perwakilan regional dari perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang bergerak dalam sektor kehutanan dan perkebunan seperti APRIL dan Wilmar.
Salutary Effect, Bisnis Harus Berani Keluar dari Zona Nyaman
Harish Manwani, Chief Operating Officer Unilever, menyatakan kehadiran perusahaan seharusnya memiliki visi lintas generasi dan visi lingkungan berkelanjutan. Adalah salah besar, jika keberadaan perusahaan adalah untuk mencari keuntungan saja.
“Sesuatu yang berguna untuk masyarakat, pasti baik untuk perusahaan. Nanti masyarakat sendiri yang akan menilai suatu perusahaan apakah ia baik atau tidak. Dengan cara-cara demikian perusahaan akan memperoleh apa yang kami sebut dengan “salutary effect” dari publik. Dengan demikian bisnis dapat berkembang dan berkelanjutan,” ujar Manwani kepada Mongabay Indonesia.
Sebagai perusahaan yang menghasilkan produk yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat, ia mencontohkan apa yang dilakukan oleh Unilever, “Coba anda bayangkan berapa kali orang mencuci baju setiap tahunnya di seluruh dunia, untuk itu kami berinovasi dengan mengurangi kandungan CO2 dari produk detergen kami. Cukup simpel, tetapi hasilnya dirasakan oleh planet,” ujarnya.
Ketika Mongabay Indonesia bertanya bagaimana kebijakan Unilever yang terkait pasokan bahan baku yang berasal dari sawit, Manwani menyebutkan Unilever telah memiliki standard yang dapat melacak ke sumbernya. Menurutnya, Unilever hanya menerima pasokan bahan baku melalui rantai produksi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal sama dilakukan oleh Cargill Tropical Palm (CTP) Holding, salah satu anak perusahan Cargill. Chief Executive Officer CTP, John Hartman menyatakan perusahaannya telah sejak awal menginisiasi dan menyetujui syarat-syarat yang dirumuskan di dalam Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam rangka menentukan kriteria dan indikator pengelolaan sawit yang berkelanjutan.
Menurutnya, saat ini Cargill memiliki 40.000 hektar lahan sawit di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, dan mempekerjakan sekitar 10.000 tenaga kerja setempat dan sekitar 14.000 orang petani setempat. Di sisi lain, Cargill juga sempat menolak untuk membuka lahan gambut di Sumatera untuk perluasan perkebunan sawit mereka.
Jeremy Goon, Head of Corporate Social Responsibility dari Wilmar International, sebuah kelompok perusahan pemasok sawit terbesar di dunia, menyatakan banyak versi kelestarian beserta indikatornya yang dapat digunakan oleh perusahaan.
Goon tidak memungkiri masih banyak hal yang belum diatur di dalam RSPO. Salah satunya adalah prinsip High Carbon Stock (HCS), yaitu melindungi wilayah-wilayah di area konsesi sawit yang berpotensi sebagai penyimpan cadangan karbon. Menurutnya apa yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk melindungi kawasan HCS adalah murni keswadayaan (voluntary), tanpa satupun regulasi pemerintah yang bersifat mandatori untuk melakukan itu semua hingga sekarang. Menurutnya Wilmar terus berkomitmen untuk mengidentifikasikan lokasi-lokasi HCS di area konsesi mereka.
Ketika ditanya oleh Mongabay Indonesia tentang komplain sejumlah LSM lingkungan di Indonesia, ia pun membantah kabar bahwa anak perusahaan Wilmar telah mengkonversi lahan konservasi yang merupakan habitat bekantan yang berada di konsesi Wilmar di Kalimantan. Menurutnya lahan tersebut tidak lagi dapat disebut sebagai High Conservation Value Forest (HCVF) karena sebelumnya telah mengalami pembukaan dan perambahan untuk pertanian.
Hal serupa juga dilontarkan oleh Chairman group APRIL Bey Soo Khiang, yang menepis jika perusahaannya, yang merupakan salah satu perusahaan penghasil pulp and paper terbesar di dunia, merupakan sumber pelaku kebakaran di propinsi Riau. Menurutnya titik-titik api yang terjadi di Riau lebih banyak terjadi di luar konsesi daripada di dalam konsesi perusahaan.
Menurutnya pembakaran lahan banyak dilakukan oleh para penyerobot lahan dan oleh masyarakat sekitar kawasan konsesi. Bahkan ia menyatakan perambahan di TN Tesso Nillo yang merupakan habitat gajah lebih parah dibandingkan yang terjadi di area konsesinya.
Soo Khiang menambahkan upaya APRIL untuk melindungi daerah Semenanjung Kampar di Riau yang merupakan area gambut dalam dan habitat harimau sumatera. Menurutnya, APRIL akan bekerjasama dengan LSM Flora Fauna International (FFI) untuk mewujudkan “Kampar Ring”, area di dalam konsesi APRIL yang akan dibentuk menjadi kawasan Hutan Restorasi Ekosistem.
Di sisi lain, perwakilan dari Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar menyoroti tentang adanya perilaku perusahaan yang sekedar mencari untung dan tidak memperhatikan efek jangka panjang dari pengelolaan lingkungan berkelanjutan. “Kami dari Greenpeace tidak anti dengan perusahaan, tetapi kami melakukan kampanye anti deforestasi. Kami menuntut tidak ada lagi deforestasi dan proteksi sepenuhnya terhadap lahan-lahan gambut yang ada,” tuturnya tegas.
Bustar pun menyebutkan bahwa membakar lahan merupakan tradisi berladang asli para petani di Asia Tenggara. Ia menyoroti bahwa sebelum masuknya perusahaan multi nasional dengan konsesi raksasanya, di pesisir timur Sumatera tidak pernah persoalan dengan kabut asap. Baru setelah terjadi pemberian konsesi bagi perusahaan sawit dan HTI isu kebakaran dan asap menjadi topik tahunan yang selalu dibicarakan para pejabat tinggi lintas negara.
“Perusahaan bermain dengan oknum aparat di pemerintahan yang korup dalam memperoleh ijin konsesi. Perusahaan mengkonversi lahan gambut yang pada prakteknya adalah memunculkan titik-titik api lahan yang rawan terbakar seperti di area gambut dalam,” demikian papar Bustar.
Terkait dengan moratorium penebangan hutan yang berlaku di Indonesia, Bustar menyebutkan moratorium tidaklah berlaku mundur terhadap ijin yang sebelumnya telah diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha. Moratorium hutan, yang saat ini telah masuk tahun ketiga, hanya berlaku untuk ijin yang belum ditetapkan oleh pemerintah.
Menjawab klaim pengelolaan hutan yang dilakukan oleh APRIL, Ia pun menggarisbawahi bahwa Greenpeace belum melihat adanya cerita sukses yang dapat dipertunjukkan terhadap pengelolaan gambut di Riau yang dilakukan oleh perusahaan besar tersebut.
Persoalannya ada di Implementasi Tata Kelola Lahan di Indonesia
Agus Purnomo dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Staf Khusus Presiden untuk Perubahan iklim mengakui bahwa persoalan birokrasi di Indonesia merupakan penghalang utama pelaksanaan pengelolaan tata kelola lahan yang berkelanjutan.
“Tugas dan wewenang terbagi menjadi departemen sektoral, misalnya kehutanan, pertanian dan perkebunan, pembangunan infrastruktur dan keuangan” ujarnya. Menurutnya, masing-masing sektor ini cenderung untuk bekerja sesuai dengan bidang spesifikasinya masing-masing, saling tidak berkoordinasi dan tidak melihat solusi jangka panjang. Masing-masing sektor baru akan bereaksi jika sudah terdapat masalah yang terjadi.
“Koordinasi antar sektor juga masih lemah, termasuk dikarenakan meningkatnya otoritas yang dimiliki oleh daerah lewat kebijakan otonomi daerah,” tambah Agus.
Dalam penjelasannya, Agus Purnomo menyebutkan isu tata kelola lahan dan pencegahan asap dan kebakaran lahan tidak saja melulu berhubungan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan, tetapi juga dengan area yang dimiliki oleh masyarakat dan usaha kecil.
“Jika kita bicara tentang lahan perkebunan sawit, faktanya dari sekitar 9,2 juta hektar lahan perkebunan sawit yang ada di Indonesia, 4 juta hektarnya dimiliki oleh masyarakat dan usaha kecil.” Menurutnya jalan panjang masih diperlukan untuk membangun suatu kekuatan politis yang mampu untuk mengelola, mengawasi dan memberikan kepastian penegakan hukum bagi seluruh para pihak.
Meskipun telah memulai program One Map Policy, yaitu upaya untuk mensinergismekan seluruh peta-peta yang ada di berbagai kementerian, namun kenyataannya proses ini belum sampai tahap implementasi maksimal. Masalah ini kemudian menimbulkan perbedaan persepsi dan cara pandang terhadap batas-batas kawasan konsesi dengan kawasan-kawasan yang diperuntukan untuk pemukiman, konservasi dan aktivitas kehidupan lain.
Sesuai dengan aturan Indonesia, pembukaan lahan dengan cara membakar sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah hingga saat ini masih kesulitan untuk menuntaskan kasus-kasus pembakaran lahan baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun oleh masyarakat yang membuka ladang dengan cara membakar. Kebakaran di lahan gambut masih terjadi dan selalu berulang setiap tahunnya. Kebakaran lahan gambut di tahun 2014 dinyatakan lebih buruk daripada tahun sebelumnya.