Korupsi Tambang di Bukit Suharto, Potensi Kerugian Negara 18,2 Triliun

Akibat pemberian izin 42 KP/IUP batubara oleh pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara di kawasan Tahura Bukit Soeharto, Negara  diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp 18,2 triliun. Jumlah tersebut dihitung dari hilangnya pendapatan negara akibat tak terbayarnya biaya pinjam pakai kawasan hutan di kawasan konservasi.

Hal itu dikemukakan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Merah Johansyah di Samarinda, beberapa waktu lalu.”Sepertinya ini jadi modus. Pastinya, pemberian izin KP/IUP itu telah menguntungkan korporasi. Karena mereka tidak bisa dikenai kewajiban membayar biaya izin pinjam pakai oleh tambang di atas kawasan hutan. PP No 2/2008  soal PNPB itu tidak mengatur di kawasan konservasi,” ungkapnya.

Merah menegaskan, potensi kerugian negara akan menjadi lebih besar lagi karena puluhan izin tambang batubara itu masih beroperasi dan belum dicabut.  Pihaknya bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melaporkan masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak lama setelah menginvestigasi di kawasan Tahura. Yang dilaporkan ke KPK adalah Menteri Kehutanan, Dirjen PHKA hingga empat Bupati Kukar (periode 2008-sekarang).

Sebelumnya,  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melalui LHP BPK RI No10/LHP/XVII/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 menemukan kejanggalan dalam pemberian izin KP/IUP di kawasan Tahura Bukit Soeharto. BPK lalu melakukan penyelidikan dan overlay atas peta penetapan kawasan Bukit Soeharto dengan surat keputusan izin KP/ IUP. Hasilnya, 42 KP/IUP ternyata beroperasi di Tahura Bukit Soeharto. Luasnya mencapai 1.558,07 hektare.

Mengacu pada pasal 29 ayat (1) UU No 5 Tahun 1990, taman hutan raya (tahura) termasuk dalam kawasan konservasi. Begitu pula Tahura Bukit Soeharto. Pasal 38 UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 menegaskan, tidak boleh ada pemberian izin dan kegiatan pertambangan di kawasan konservasi. Izin dan kegiatan tersebut hanya boleh dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Caranya, melalui izin pinjam pakai kawasan. Dimana ada biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas izin pinjam pakai yang diberikan.

Pada SK Menhut No 270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991 yang menetapkan  Bukit Soeharto seluas 61.850 ha, ditemukan 31 KP/IUP dengan luas 1.204,94 ha di area tersebut. Izin itu diberikan para pejabat Bupati Kukar pada periode 2008 dan 2009.

Begitu pula ketika Bukit Soeharto diperluas menjadi 67.766 ha berdasarSK No 557/Menhut‑II/2009, hasil overlay menunjukkan 11 KP/IUP seluas 383.133 ha berada di area konservasi. Izin diberikan pada tahun 2009-2010. BPK RI juga menemukan 16 nota kesepahaman penggunaan jalan angkut  (hauling) batubara yang diteken bersama Dinas Kehutanan Kaltim dan Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unmul.

Foto: Hendar
Foto: Hendar

Menurut Merah, dengan mengacu pada besaran biaya pinjam pakai kawasan untuk tambang sesuai PP Nomor 2/2008 tentang PNPB — Rp 3 juta/ha/tahun di hutan lindung dan Rp 2,4 juta/ha/tahun di hutan produksi — maka potensi kerugian negara untuk 31 KP/IUP seluas 1.204,94 ha adalah Rp 2,89 triliun per tahun. Izin sudah diterbitkan sejak tahun 2008-2009 dan dilakukan pembiaran selama lima tahun, sehingga kerugiannya menjadi Rp 14,459 triliun.

Pada kasus kedua, terhadap 11 KP/IUP, dengan luasan 386,133 ha yang diterbitkan izinnya tahun 2009-2010, potensi kerugian negara Rp 926 miliar/tahun. Dengan pembiaran empat tahun terakhir, maka totalnya Rp 3,706 triliun. Total keseluruhan mencapai Rp 18,2 triliun.

“Potensi kerugian lainnya berdasarkan LHP BPK RI tersebut adalah bahwa PT Gunung Harang Sejahtera ditemukan kekurangan membayar royalti pada 2008 dan 2009 dan per November 2010 sebesar 67,496,54 USD,” sebut Merah.

Sementara itu, merasa tidak ada penyelesaian yang jelas oleh para penegak hukum di Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur dan Indonesian Corruption Watch (ICW) akhirnya melaporkan Bupati Kutai Kartanegara hingga Menteri Kehutanan ke KPK terkait pemberian izin KP/IUP kepada 42 perusahaan pertambangan batubara di kawasan konservasi Tahura Bukit Soeharto.

“Kami berharap KPK bisa segera mengusut kasus ini. Pemberian izin terhadap 42 KP/IUP berikut  kolaborasi jalan hauling tambang batubara di kawasan konservasi itu melanggar aturan hukum yang berlaku. Potensi kerugian negara pun amat besar, mencapai Rp 18,2 triliun,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Merah Johansyah kepada Tribun, beberapa waktu lalu

Laporan kepada KPK disampaikan setelah kedua lembaga itu melakukan investigasi di lapangan dua bulan lalu, atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. BPK RI dalam LHP Dengan Tujuan Tertentu, No10/LHP/XVII/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 menemukan sebanyak 42 KP/IUP batubara beroperasi di Tahura Bukit Soeharto. Total luasan izin yang diberikan oleh Bupati Kukar itu mencapai 1.558.073 hektare.

Menurut Merah, mengacu pada pasal 29 ayat (1) UU No 5/1990, taman hutan raya termasuk dalam kawasan konservasi. Begitu pula Tahura Bukit Soeharto. Pasal 38 UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 menegaskan, tidak boleh ada pemberian izin dan kegiatan pertambangan di kawasan konservasi. Izin dan kegiatan tersebut hanya boleh dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Caranya, melalui izin pinjam pakai kawasan.

Anehnya, sambung Merah, dalam SK Menhut No 557 tahun 2009, bukannya mencabut/melarang  atau menghentikan izin-izin KP/IUP yang sudah terlanjut diberikan. Pada bagian keempat butir (b) malah memasukkan pasal kontroversial yang berbunyi: “Izin yang telah diterbitkan oleh Pemerintah dan atau Pemda yang sah yang berada pada area bukan kawasan hutan berdasar lampiran Keputusan Menhut Nomor 270/Kpts‑II/1991 tanggal 29 Mei 1991 dan menurut keputusan ini ditunjuk menjadi kawasan hutan, masih tetap berlaku sampai dengan izinnya berakhir.”

“Hal itu tentu saja membuka ruang untuk diterjemahkan memperbolehkan perizinan dan kegiatan pertambangan di dalam kawasan konservasi. Padahal pemberian izin dan kegiatan pertambangan jelas-jelas melanggar pasal 38 UU Kehutanan No 41/1999,” Tandas Merah.

Selain Menteri Kehutanan dan Dirjen PHKA, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Jatam-ICW juga melaporkan empat Bupati Kukar. Mereka adalah Syamsuri Aspar (Pjs Bupati Kukar 2006‑2008), Sjahruddin (Pjs Bupati 2008‑2009), Sulaiman Gafur (2009‑2010), dan Rita Widyasari (Bupati Kukar 2010‑sekarang).

Akibat pemberian izin di kawasan konservasi itu, potensi kerugian yang dialami negara mencapai Rp 18,2 triliun. Potensi kerugian dihitung dari hilangnya potensi pendapatan negara atas biaya izin pinjam pakai kawasan hutan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak  (PNBP). “Angka itu masih akan lebih besar lagi, karena sampai sekarang izin belum dicabut dan masih beroperasi. Belum pula menghitung kerugian lainnya.” Ujar Merah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,