Logika Sesat Pemerintah Saat Tangani Lumpur Lapindo

Permasalahan Lapindo bukan hanya persoalan ganti rugi saja

Berlarut-larutnya luapan lumpur Lapindo menjadi sorotan kritis aktivis lingkungan hidup dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika menilai pemerintah telah sesat dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo, karena hanya mengedepankan aspek pembayaran ganti rugi semata. Padahal kasus tragedi lumpur Lapindo ini bukan sekedar persoalan pembayaran ganti rugi semata, melainkan peristiwa kerusakan lingkungan yang berdampak sistemik dan luas bagi manusia dan makhluk hidup yang tingal di dalamnya.

“Tragedi ini bukan hanya mengenai hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga mengenai hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Namun pemerintah dan Lapindo telah mereduksi kewajiban untuk pemulihan hak-hak korban lapindo secara utuh dengan mengeluarkan Perpres 14/2007 dan aturan-aturan perubahannya hanya untuk mengkotakkan isu pemulihan hak korban Lapindo menjadi sekedar jual beli tanah semata,” jabar Ony.

Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan  yakni Porong, Tanggulangin dan Jabon, serta menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa.

Pembayaran ganti rugi lanjut Ony, harus segera diselesaikan meski setelah semua terlunasi, tidak berarti tanggung jawab negara dan Lapindo berakhir. Pemulihan kehidupan korban lumpur Lapindo serta masyarakat yang terdampak harus juga diselesaikan, seperti masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya dari mencari ikan dan bertambak.

Boneka Aburizal Bakrie dengan latar belakang tangan korban lumpur yang menuntut keadilan.  Foto: Petrus Riski
Boneka Aburizal Bakrie dengan latar belakang tangan korban lumpur yang menuntut keadilan. Foto: Petrus Riski

Bukan persoalan Kerugian Ekonomi Semata

Berdasarkan data Greenomic pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyebutkan, pada sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166.000 orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena dampak lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas milik PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek serta sektor lainnya yang harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak.

Walhi mencatat data hilangnya hak masyarakat yang harus ditanggung sebagai bagian dari korban lumpur Lapindo, selain hilangnya tanah serta bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja terdapat sekitar 31.000 usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo yang mati seketika akibat kejadian luapan lumpur Lapindo.

Pada persoalan kesehatan, penelitian Walhi menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. PAH sendiri adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jawa Timur, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat 8.000-220.000 kali lipat di atas ambang batas.

“Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) melojak 150% dari kondisi normal atau dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus. Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20.000 kasus pada tahun 2006 menjadi 50.000 kasus pada tahun 2007,” tegas Ony.

Pada sektor pendidikan tercatat 63 sekolah yang tenggelam oleh lumpur dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak itu dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, yang itu tentu saja mengurangi kualitas belajar siswa.

“Hilangnya tanah berarti juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa itu. Pada masyarakat Jawa, penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan,” tukas Ony yang menyebut kerugian-kerugian itu tidak dapat dinilai dengan uang semata.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,