WWF : RAPP Harus Hentikan Penghancuran Gambut di Pulau Padang

Setelah mendapatkan tekanan dari LSM,  sejak 28 Januari 2014,  perusahaan bubur kertas Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) berkomitmen tidak lagi menebang kayu di hutan bernilai konservasi tinggi dan membangun kebun di lahan gambut, melalui yang disebut Sustainable Forest Management Policy (SFMP).

Namun banyak pihak meragukan komitmen tersebut menyusul dua laporan publik yang menguak pelanggaran atas janji keberlanjutan perusahaan, yaitu laporan dari Eyes on the Forest atas konsesi Triomas di Riau yang telah menebang hutan konservasi tinggi.

Baru-baru ini, sejumlah LSM di Kalimantan telah melaporkan PT Adindo Hutani Lestari (AHL) di Kalimantan Utara yang menebang hutan bernilai konservasi tinggi yang dinilai lembaga independen yang ditunjuk APRIL sendiri. PT AHL adalah pemasok kayu pulp kelompok APRIL.

Tidak berhenti disitu, perusahaan bubur kayu itu juga dianggap merusak hutan gambut di Pulau Padang, seperti yang dilaporkan Jaringan Masyarakat Gambut Riau kepada tim Stakeholder Advisory Committee (SAC) yang akan mengawasi pelaksanaan SFMP. Aditia Bayu Nanda dari WWF Indonesia mengatakan hal itu harus segera dihentikan. “Terlepas dari ada tidaknya kebijakan SFMP, WWF menilai pembukaan hutan alam dan pengeringan gambut merupakan sesuatu yang harus segera dihentikan,” ujar Aditia yang akrab dipanggil Dito, kepada Mongabay Indonesia.

Dan kekerasan terhadap masyarakat yang melakukan protes, juga tidak dibenarkan. “Penanganan konflik dan penerapan FPIC (free, prior, inform consent / bebas tanpa paksaan) merupakan bagian penting dari kebijakan SFMP APRIL dan segala konflik yang timbul terkait dengan aktifitas manajemen APRIL merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan,” lanjutnya.

WWF sendiri telah menghimbau kepada para pembeli APRIL bahwa berhubungan bisnis dengan APRIL perlu diwaspadai karena beresiko nyata terasosiasi dengan deforestasi Indonesia. Mereka merekomendasikan perusahaan pembeli untuk menunggu dan melihat implementasi SFMP di lapangan sebelum berbinis dengan perusahaan ini. “Kekurangan yang perlu segera diperbaiki SFMP,” lanjut Dito.

Menanggapi hal tersebut, APRIL mengatakan pihaknya akan membuat satuan khusus untuk melakukan verifikasi di lapangan yang akan mengundang keterlibatan seluruh pihak.

“Kami berharap hasil verifikasi gabungan di lapangan akan selesai pertengahan Juni 2014. APRIL mengapresiasi semua input dan keluhan yang telah disampaikan oleh pihak-pihak yang relevan kepada SAC,” demikian penjelasan APRIL di laman websitenya pada 24 Mei lalu.

Tumpukan kayu alam dari hutan gambut yang sudah dihancurkan di konsesi PT RAPP di Pulau Padang, Riau, Indonesia, Mei 2014. Foto : Zamzami
Tumpukan kayu alam dari hutan gambut yang sudah dihancurkan di konsesi PT RAPP di Pulau Padang, Riau, Indonesia, Mei 2014. Foto : Zamzami

Buka Hutan

Pada 19 Maret 2014 lalu, Mongabay Indonesia ditemani oleh Sumarjan, Joko dan sejumlah warga Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau menyaksikan langsung bagaimana anak perusahaan dari kelompok APRIL tengah menghancurkan hutan gambut kaya karbon di Pulau Padang, Riau.

Dua alat berat sejenis eskavator tengah mengumpulkan batang-batang kayu yang baru terpotong di hamparan gambut gundul. Kayu-kayu itu lalu ditumpuk di pinggir kanal untuk kemudian diangkut menggunakan tongkang ke pabrik pulp dan kertas milik PT Riau Andalan Pulp and Paper di Pangkalan Kerinci, Pelalawan Riau.

Selain dua alat berat yang sedang bekerja, terlihat ada dua lagi yang parkir di pinggir kanal. Sementara tumpukkan kayu menggunung siap untuk diangkut. Sejumlah kanal telah terbangun yang membelah gambut menjadi beberapa bagian. Dan kanal yang selebar 4 meter itu terhenti di batas dinding hutan. Pembangunan kanal di gambut disinyalir sejumlah LSM sebagai awal dari kehancuran fungsi hamparan gambut itu sendiri.

Sumarjan  mengatakan penghancuran hutan di desanya telah berjalan beberapa bulan terakhir dan pada pertengahan Maret lalu diketahui telah mencapai desanya. Padahal dalam izin yang diberikan kepada RAPP, desanya tidak termasuk wilayah operasi perusahaan.

Sedangkan Joko mengatakan konflik Pulau Padang seharusnya tidak muncul jika perusahaan menjalankan apa yang tercantum dalam izin yang diberikan Kementerian Kehutanan yakni mengeluarkan Desa Bagan Melibur, Desa Mengkirau dan sebagian Desa Lukit dari wilayah operasi mereka.

“Bagian ini sudah masuk wilayah Bagan Melibur. Di sana ada hutan, tapi sedikit saja itu. Di belakangnya dah terbuka  macam ini juga,” ujar Joko.

Seorang warga di ujung kanal yang dibangun PT RAPP setelah menebang seluruh hutan di atasnya di Pulau Padang, Riau, Indonesia Mei 2014. Foto: Zamzami
Seorang warga di ujung kanal yang dibangun PT RAPP setelah menebang seluruh hutan di atasnya di Pulau Padang, Riau, Indonesia Mei 2014. Foto: Zamzami

Masyarakat protes dan meminta operasi RAPP tersebut dihentikan. Protes ini pun sempat dimediasi oleh pemerintah dan melibatkan berbagai pihak termasuk perwakilan perusahaan. Namun hingga saat ini tidak pernah ada upaya serius dari perusahaan. Bahkan dua hari sebelum Mongabay ke lokasi konflik, seorang warga sempat menjadi korban tindakan kekerasan aparat Kepolisian dari Brimob yang menjaga operasi perusahaan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,