“Raise your voice, not the sea level.” Itu merupakan tema Hari Lingkungan Hidup Dunia tahun ini. Atau di Indonesia seruan itu menjadi,” Satukan langkah, lindungi ekosistem pesisir dari dampak perubahan iklim.” Ini sejalan dengan Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki kerentanan tinggi menerima dampak perubahan iklim.
Bagaimana kondisi ekosistem pesisir di Indonesia? Parah. Kritis. Menurut Achmad Poernomo, staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan ekosistem pesisir negeri ini mengalami banyak kerusakan, seperti mangrove, dan terumbu karang, salah satu penyebab pengelolaan sumber daya tak lestari. Padahal, Indonesia memiliki keragaman laut begitu kaya.
“Kekayaan mangrove, terumbu karang, jenis ikan sampai ratusan jenis rumput laut ada di pesisir Indonesia.”
Ekosistem pesisir ini harus terjaga, demi keberlanjutan kekayaan alam yang beragam itu. Sayangnya, kata Achmad, peran penting ekosistem pesisir ini seakan terabaikan.
Kerusakan ekosistem pesisir Indonesia, kini makin parah dampak eksploitasi sumber daya alam tak lestari berkedok pembangunan ekonomi, seperti tambang maupun aktivitas lain.
Dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup, pada Kamis (5/6/14), inipun berbagai elemen masyarakat mengingatkan, betapa kehancuran ekosistem pesisir negeri ini sangat memprihatinkan.
Di Manado, Sulawesi Utara, misal, para aktivis lingkungan menyuarakan penolakan pada perusahaan tambang di Pulau Bangka, Minahasa Utara. Pulau dengan luas 4.000-an hektar itu kini merana. Mangrove di sebagian tepian pantai pulau itu sudah dibabat, dan lautpun ditimbun demi kepentingan fasilitas perusahaan tambang. Aktivitas ini otomatis berdampak pada ekosistem mangrove dan terumbu karang sekitar yang sudah dikenal para turis dengan keindahan alam bawah lautnya.
Warga tak terima dengan perusakan ini, terlebih bakal berdampak langsung bagi mereka yang kehidupan sehari-hari dari laut. Mereka mengajukan gugatan ke pengadilan dan menang sampai Mahkamah Agung. Namun, semua upaya mereka seakan tak digubris pemerintah.
Para pegiat lingkungan menilai, aparat pemerintah daerah cenderung berpihak PT Mikgro Metal Perdana (MMP), padahal putusan MA menyatakan Pulau Bangka tak layak menjadi lokasi pertambangan. Kini, MMP berupaya menguasai daratan dan perairan pulau itu. Pekan lalu, para turis yang tengah menyelam dilarang dan diteror. Kamera mereka diambil dan diminta menghapus dokumentasi kerusakan bawah laut diduga dampak aktivitas tambang.
Tunas Hijau bersama pecinta alam menggelar orasi dan membentang spanduk mengecam pertambangan di Bangka. Mereka menyatakan lima tuntutan. Pertama, usir MMP dari Bangka. Kedua, ganti Kapolda Sulut yang mengabaikan UU dan putusan MA.
Ketiga, turunkan Bupati Minut karena penjahat lingkungan dan penjarah sumber daya alam. Keempat, rakyat Pulau Bangka berdaulat dan berkuasa atas pulau dan laut. Kelima, bebaskan tanah Minahasa dari perusahaan tambang asing dan perusakan lingkungan.
Maria Taramen, ketua Tunas Hijau, mengatakan, para aktivis melihat poin-poin itu berdasarkan dari fakta di lapangan. Pengusaha tambang seakan kebal hukum. Putusan MA yang menyatakan Pulau Bangka, tak layak jadi pertambangan tidak digubris pemerintah daerah. “Bupati tidak menjalankan putusan hukum.”
Dia tambah kecewa kala bupati malah menyatakan putusan MA kadaluarsa. “Makin terlihat keberpihakan Bupati Minut pada perusahaan tambang.”
Maria mengatakan, pemerintah kabupaten mengaku memiliki izin baru. Padahal, SK Bupati yang dikatakan baru itu merupakan perpanjangan dari izin-izin sebelumnya. “Putusan MA telah membatalkan SK IUP No 162, turut membatalkan izin-izin setelah itu,” ujar dia.
Bagaimana posisi kepolisian? “Mereka tidak mengambil posisi sebagai pengayom, malah memihak dan membela pengusaha.”
Menurut Maria, jika warga berbuat kesalahan, polisi cepat bertindak. Berbeda kala pengusaha tambang. “Ini, kan, lucu. Bisa-bisanya mereka melarang orang menyelam. Mereka pikir telah membeli laut.”
Pulau Bangka, hanya salah satu potret keterancaman ekosistem perisir. Di Sulawesi Selatan atau di Sumatera Utara, sebagian besar mangrove rusak karena alih fungsi menjadi tambak, bahkan kebun sawit.
Juga di Kepulauan Aru, terancam menjadi perkebunan. Baru saja lepas dari cengkraman perusahaan yang bakal membuka kebun tebu, kini muncul kabar kebun sawit akan bercokol.
“Ini bahaya sekali, bisa mengancam perairan sekitar yang sudah dikenal memiliki produksi perikanan tinggi,” kata Cherry Yunia, kepala sub Direktorat Lahan Basah, Kementerian Kehutanan.
Di Palembang, Sulawesi Selatan, kekhawatiran Sungai Musi yang tercemar diusung para pegiat lingkungan dalam memperingati HLH tahun ini. Sebuah spanduk besar terbentang di Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. “Stop!!! Cemari Sungai Musi”
Spanduk itu ditarik menggunakan dua perahu ketek mengelilingi Sungai Musi yang mengalir di Palembang, sebelum dibentangkan di tepi Jembatan Ampera.
Pesan cukup jelas itu disampaikan para pengiat lingkungan hidup dari Walhi Sumsel, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel dalam memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2014.
Para aktivis membagikan selebaran yang menuntut pemerintah melakukan empat langkah penyelamatan Sungai Musi. Pertama, selamatkan Sungai Musi dan ekosistem dengan menghentikan semua aktivitas industri di sepanjang aliran sungai. Hentikan segera pembuangan limbah industri ke sungai.
Kedua, setop alih fungsi lahan gambut untuk pembangunan pelabuhan pertambangan. Ketiga, berikan sanksi bagi pemerintah dan perusahaan yang merusak lingkungan hidup di Sumsel tanpa terkecuali. Keempat, segera masukkan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum sekolah dari SD hingga SMA.
“Sungai Musi kian memprihatinkan. Apalagi air sudah tercemar merkuri,” kata Norman Cegame, koordinator aksi.
Sungai Musi merupakan jantung kehidupan warga Sumsel sejak dulu, tetapi belum ada upaya perlindungan dari berbagai ancaman pencemaran dan perusakan ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Tidak heran, katanya, kini Sungai Musi kehilangan sekitar 221 anak sungai.
Bahkan, sejumlah ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti baung, juaro, lais, dan patin, kini diduga mengandung merkuri.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi damai di Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak, Kamis (5/6/14). Mereka menuntut penyelamatan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan kehidupan rakyat.
“Hari ini kita kembali turun ke jalan untuk satu tujuan sama, selamatkan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan hidup manusia,” kata Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, juga koordinator aksi.
Mereka juga mengusung sejumlah pamflet bertuliskan berbagai seruan. “Hentikan Izin pertambangan dan perkebunan.” “Stop ekspansi sawit.” “Jangan rampas tanah adat.” “Selesaikan konflik agraria, implementasikan putusan MK 35.” “Hutan adat bukan hutan negara.” “Tanah untuk rakyat.” “Cintai lingkunganmu cintai hidupmu.”
Beragam seruan itu akumulasi dari sejumlah persoalan di Kalbar belakangan ini. Fakta menunjukkan, krisis lingkungan hidup bersumber dari persoalan struktural. Industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, hutan tanaman skala luas, memicu kerusakan ruang hidup masyarakat dan habitat satwa.
Adam mencontohkan, kriminalisasi warga Batu Daya Ketapang. Mereka hingga kini masih mendekam dalam tanahan Polda Kalbar. Kasus ini dipicu kehaidran PT Swadaya Mukti Prakarsa (First Resources).
“Krisis air dan krisis lahan pangan, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap terus berulang, pengabaian hak-hak komunitas atas hadirnya korporasi melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan.”
Catatan koalisi, izin korporasi ekstraktif di Kalbar, perkebunan sawit mencapai 378 izin dengan luas 4.962,022 hektar. Ada 721 izin pertambangan luas 5.074,338 hektar, dan 76 HTI seluas 3.611,721 hektar. Luas keseluruhan mencapai 13,648,081 hektar. Angka ini memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. “Kebijakan ini berpotensi melahirkan pelanggaran dan perampasan tanah masyarakat.”
Dari Gorontalo, Hari Lingkungan Hidup, terasa spesial bagi RRI Gorontalo. Tepat hari itu, salah satu program unggulan “Kabar dari Alam” berusia tiga tahun. Program ini memberikan ruang publik menyuarakan kondisi lingkungan di Gorontalo.
“Di Gorontalo, media besar tidak memberikan ruang kepada isu-isu lingkungan. Semua bicara soal politik praktis. Media akan menayangkan berita lingkungan ketika sudah ada bencana seperti banjir. Sifanya reaktif, tanpa mencari akar penyebab bencana. Beruntung RRI memberikan ruang,” kata Syamsul Huda Suhari, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, kepada Mongabay, Kamis (5/6/14).
Budi Akantu, penyiar RRI Gorontalo, mengatakan, dampak Kabar dari Alam ini sangat terasa. Selain menjembatani komunikasi antara penggiat lingkungan dan pengambil kebijakan, masyarakat menjadi tahu mengenai informasi lingkungan di wilayah mereka. “Ini harus terus disuarakan. Sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah menindaklanjuti kondisi lingkungan di Gorontalo,” kata Budi.
Pemimpin baru peduli lingkungan
Jakarta juga tak ketinggalan dalam memperingati Hari Lingkungan ini. Berbagai elemen masyarakat juga menyuarakan penyelamatan lingkungan, terlebih menjelang pemilihan pemimpin baru.
Walhi Nasional menggelar aksi menyuarakan lingkungan negeri, yang tengah kritis. Aktivitas perusahaan merusak hutan dan pertambangan di pulau-pulau kecil makin marak. Reklamasi pantai juga menggila seperti di Bali, Manado, Palu dan banyak lagi.
Mereka juga aksi ke KPU, sekaligus merespon debat capres agar mengedepankan topik lingkungan hidup demi pemulihan negeri.
Greenpeace kembali tampil dengan capres dan cawapres lingkungan, Raung dan Umba, yang mendatangi KPK buat mendaftarkan harta kekayaan alam Indonesia. Ia sebagai simbol seruan dan mengajak pemerintahan mendatang melindungi, menjaga, dan menyelamatkan kekayaan alam Indonesia.
Aksi Raung dan Umba ini simbol guna memastikan proses pembangunan lima tahun ke depan tidak membuat kekayaan alam hilang, rusak, atau berkurang.
Hindun Mulaika, jurukampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, praktik korupsi berakibat karena pengelolaan sumber daya alam buruk lantaran ekspolitasi tidak bertanggung jawab. “Kami mendesak penegakan hukum dengan pendekatan terpadu antara KPK, kementerian, dan lembaga pemerintahan lain benar-benar dilaksanakan.”
Kekayaan alam Indonesia mencakup 8.157 spesies fauna atau mencakup 10% dari keberagaman spesies dunia, serta 15,5% dari total tumbuh-tumbuhan di dunia. Potensi sumber daya ikan Indonesia mencapai 6,52 juta ton pertahun dengan luas terumbu karang mencapai 50.875 km2 atau 18% dari total luas dunia. Padang lamun hingga 30.000 km2.
Indonesia termasuk 10 negara dengan potensi ketersediaan air tertinggi di dunia mencapai 694 miliar m3 per tahun dan ketersediaan air rata-rata per kapita lebih besar dari rata-rata di dunia yakni 16.800 m3 per kapita per tahun. Di antaranya, mengaliri lebih dari 5.590 sungai di seluruh Indonesia.
Indonesia terletak di khatulistiwa juga memanen sinar matahari sepanjang tahun hingga menghasilkan 4,80 kWh per meter persegi per hari, dan potensi energi angin 3-6 m/ det. Energi dari mikrohidro berpotensi menghasilkan 450 MW.
Kekayaan ini belum memasukkan potensi energi panas bumi yang terbesar di dunia dengan perkiraan 296 titik potensi dan bisa menghasilkan energi 29.038 GW.
Di sektor kehutanan tercatat luas hutan Indonesia mencapai 132,54 juta hektar, tersisa 94,34 juta hektar pada 2012. Luas lahan gambut dari 21,53 juta hektar tersisa 10,82 juta hektar pada 2011.
Sedang Pemerintah Indonesia juga punya agenda di hari ini. Puncak peringatan HLH 2014 diselenggarakan di Istana Wakil Presiden Boediono.
Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup, memberikan penghargaan lingkungan hidup, yaitu Adipura, Kalpataru, Adiwiyata Mandiri serta Penyusun Status Lingkungan Hidup Daerah Terbaik.
KLH bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan kepada sekolah berbudaya lingkungan melalui Program Adiwiyata, hingga 2014 diikuti 6.357 sekolah. Tahun ini, Dewan Pertimbangan Adiwiyata menetapkan peraih penghargaan Adiwiyata Mandiri kepada 44 sekolah dari 10 provinsi.
Evaluasi terhadap Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dilakukan guna mendorong pemerintah daerah melaporkan kondisi lingkungan hidup. Tahun ini, penyusun SLHD 2013 terbaik untuk kategori provinsi adalah Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Timur. Untuk kategori kabupaten/kota diraih Dharmasraya, Padang dan Sungai Penuh.
Wapres memberikan penghargaan lingkungan dan menandatangani sampul hari pertama perangko seri peduli lingkungan: Hari Lingkungan Hidup 2014.