,

Perkebunan Sawit di Riau, Menyejahterakan Siapa?

Riau merupakan  provinsi dengan  lahan sawit terluas di Indonesia, sekitar 2,1 juta hektar. Tak pelak, lahan mineral habis (up land), gambut pun jadi sasaran perkebunan produk ini.  Namun, pengeringan lahan gambut, terlebih gambut dalam menimbulkan masalah besar. Ia membuat gambut mudah terbakar. Kondisi ini memicu kebakaran hutan dan lahan.

“Kebakaran di Riau karena kondisi gambut kering.  Dahulu tidak pernah terjadi kebakaran karena masyarakat lewat kearifan lokal dapat mengelola gambut basah meskipun mereka melalui pembakaran lahan,” kata Arifudin, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru, kepada Mongabay Indonesia di sela diskusi Industri Sawit Riau: Evaluasi dan Tantangannya ke Depan (4/614) yang diadakan Majalah Kontan.

Lahan gambut merupakan ekosistem basah, dengan pengeringan lewat drainase kanal menjadikan gambut kering dan mudah terbakar.  Akibatnya,  tujuan pengelolaan sawit lestari lewat panduan prinsip dan kriteria Roundatable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dirasa sulit. Hal ini pun tidak terlepas fakta, dari sekitar 9 juta hektar lahan sawit di Indonesia, 40 persen perkebunan rakyat skala kecil.

Dalam kasus di Riau, banyak perkebunan skala kecil dibuka masyarakat dari luar provinsi. Para pemukim pendatang ini membuka lahan di pesisir timur Riau yang merupakan lahan gambut.  Mereka memanfaatkan infrastruktur seperti kanal yang dibangun perusahaan, bahkan tak jarang menduduki lahan-lahan konsesi HTI dan sawit perusahaan.

Sudirman Yahya, Guru Besar Pertanian dari IPB menyebutkan, perkebunan sawit rakyat swadaya di Riau cenderung bermasalah karena selama ini pemerintah abai dan cenderung melakukan pembiaran.

“Beda jauh dengan model FELDA di Malaysia, dimana pemerintah mendukung para petani kecil, mereka dibangunkan kebun berstandar setara di perusahaan.”

“Kalau produktivitas kebun rakyat tinggi, tidak perlu kita buka hutan lagi. Sudah jadi rahasia umum, aparat pun memihak perusahaan ketimbang kebun rakyat. Seharusnya, pemerintah bertindak membina petani skala kecil ini.”

Sudirman menyatakan, pengelolaan model minim infrastruktur dan modal inilah yang sangat rentan menyulut risiko kebakaran di lahan gambut.

Bagaimana sawit mengeringkan lahan gambut. Ini gambarannya. Grafis: RAN

Menurut Arifudin terdapat dua akar permasalahan sawit di Riau. Pertama, persoalan lahan gambut kering dan kedua, rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) yang tak kunjung selesai.   Tarik-menarik RTRWP Riau adalah pengusulan “pemutihan” kawasan hutan yang akan mengkonversi jutaan hektar kawasan hutan yang sebelumnya dalam status hutan produksi konversi (HPK) menjadi area penggunaan lain (APL) yang merupakan kawasan non budidaya kehutanan.

Hudoyo, staf ahli Menteri Kehutanan mengatakan, secara keseluruhan Kemenhut mengalokasikan 17 juta hektar hutan produksi, sekitar 8,3 juta sudah pelepasan kawasan. Sekitar 80 persen dari angka itu pelepasan buat sawit, di Riau sekitar 2,1 juta hektar.

“Saya ganti nanya, sebenarnya Indonesia perlu sawit itu berapa? Sudah 8,3 juta hektar, rakyat belum sejahtera juga,” katanya.

Dia juga mempertanyakan bagaimana pengaturan petani inti dan plasma hingga tak memberikan dampak signifikan antara luar wilayah perkebunan dengan kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, di Sumatera, hutan produksi sekitar 5,2 juta hektar, untuk Riau 2,8 juta hektar. “Cukup luas. Dari 2,8 juta hektar di Riau itu sudah dimanfaatkan sekitar 1,5 juta hektar.”

Dia mengatakan, hasil citra satelit, kawasan HPK menjadi sawit, dengan tidak menyisakan lagi tutupan hutan.

Mengapa kawasan HPK menjadi sawit? “Yang memberi izin pembukaan sawit itu bupati, kepala daerah, kalau dari Kemenhut kami tidak pernah mengeluarkan izin sawit di kawasan hutan,” jawab Hudoyo.

Menurut dia, idealnya, RTRWP itu rencana tata ruang, bukan melegalkan keterlanjuran yang terjadi. “Tapi faktanya seperti itu.”

Hudoyo menjelaskan, pada 2012, pemerintah mengeluarkan kebijakan kebijakan atas ‘investasi keterlanjuran’ lewat PP 60.  PP ini dibuat setelah ada masalah perizinan. Perusahaan mendapat izin dari daerah berdasarkan tata ruang. Namun ketika di-overlay oleh Kemenhut, ternyata berada di kawasan hutan. “Nah, dengan PP itu, kalau terbukti perusahaan berizin benar secara tata ruang, maka ada pelepasan kawasan tanpa proses hukum. Itu jika di hutan produksi. Jika hutan produksi terbatas, pakai tukar kawasan.”

Secara nasional, kata Hudoyo, ada 229 perusahaan yang mengajukan pelepasan kawasan hutan karena ‘investasi keterlanjuran’ ini.  “Riau 20 perusaahan yang ajukan.”

Arief Juwono Deputi KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim mengatakan,  berbicara sawit tentu larinya ke kebakaran. Perusahaan sawit besar, menyatakan sudah dilengkapi sarana dan prasarana termasuk penanganan kebakaran.  “Ini perlu diaudit. Benar ga itu. Harus dikejar. Apakah caranya sudah benar?” Dia mengacu kasus yang tengah ditangani KLH,  beberapa perusahaan besar menjadi terduga kebakaran hutan dan lahan di Riau.

Menurut dia, guna melindungi lahan gambut, pemerintah sedang menggodok peraturan pengelolaan gambut yang belum disetujui Presiden.

“Belum ada kata sepakat dari PP ini adalah tentang pengaturan kriteria kerusakan lahan gambut. Misal, jika ditanami sawit, berapa muka air tanah lahan gambut yang akan turun. Apakah batasnya 25, 50 atau 100 cm, jika kita sepakat, PP ini sebenarnya sudah final.”

Arief mengatakan, makin banyak permukaan air tanah di lahan gambut turun akibat sistem kanal drainase akan menyebabkan risiko pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer makin tinggi, seperti metana.

Peta titik api di Riau, antara lain dari kebun sawit. Riau, salah satu daerah di Indonesia langganan kebakaran hutan dan lahan karena gambut sudah banyak dikeringkan oleh kanal-kanal perusahaan hingga mudah terbakar. Foto: Eyes On The Forest
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,