,

Aksi Hari Lingkungan Hidup, Dorong Pemerintah Berkomitmen Terhadap Lingkungan

Aksi di depan Balai Besar Wilayah Sungai (BPWS) Brantas di Surabaya, Kamis (6/6) menuntut penertiban bangunan di sempadan sungai Surabaya. Foto : Petrus Riski

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, menjadi ajang para aktivis pecinta lingkungan untuk mengingatkan pemerintah, agar lebih peduli terhadap lingkungan melalui kebijakan serta pembangunan yang dilakukan.

Dalam aksi unjuk rasa di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas di Surabaya, Kamis (6/6) yang dilakukan gabungan aktivis pecinta lingkungan antara lain Komunitas Anti Lupa Pencemaran Kali Surabaya (Kalaps), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Institut Pemulihan dan Perlindungan Sungai (Inspirasi), Tresno Bumi, Perkumpulan Telapak serta Ecoton, BPWS Brantas diminta untuk bersikap tegas terhadap pelaku pelanggaran undang-undang yang melarang pendirian bangunan di atas sempadan sungai.

Rully Mustika dari Komunitas Anti Lupa Pencemaran Sungai (Kalaps) menilai, ketegasan pemerintah dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas yang dibawah Kementerian Pekerjaan Umum harus ditunjukkan, agar tidak ada lagi pelaku pelanggaran peraturan yang merusak lingkungan. Hingga kini terdapat sekitar 7.000 bangunan yang melanggar peraturan mengenai sempadan sungai, diantaranya perumahan, pabrik dan pergudangan, hingga ruko yang berdiri di atas sempadan sungai Surabaya.

“Pembiaran ini dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan pencemaran sungai terus berlanjut, juga ancaman bahaya erosi maupun banjir akibat hilangnya kawasan resapan air,” seru Rully Mustika selaku koordinator aksi.

Sebelumnya peanganan sempadan sungai di Jawa Timur dikelola oleh Pemerintah provinsi Jawa Timur, namun kini beralih ditangani pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BPWS) Brantas. Rully menegaskan bahwa aksi yang dilakukan ini untuk mendukung eksekusi pembongkaran bangunan, terutama bangunan gudang dan ruko di atas sempadan kali Surabaya di kawasan jalan raya Cangkir, Driyorejo, Kabupaten Gresik, yang diduga bernilai lebih dari 2 milyar rupiah.

“Kalau diteruskan bangunan ini, lambat laun akan menyebabkan pencemaran karena saluran air langsung ke sungai. Padahal air sungai di situ menjadi bahan baku PDAM Gresik. Bahaya lain adalah erosi dan juga banjir di lingkungan sekitar,” kata Rully kepada Mongabay-Indonesia.

Petrus Riski
Penebangan hutan di Gunung Lemongan, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

Terkait masih maraknya pendirian bangunan di atas sempadan sungai, Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mengungkapkan, perlunya keseriusan pemerintah untuk bersama masyarakat mengatasi persoalan lingkungan khususnya pencemaran air sungai.

“Pemerintah harus mampu menumbuhkan partisipasi, bagaimana sungai bisa bersih ya semua orang terlibat, tidak hanya pemerintah yang mengerjakan. Banyak komponen masyarakat mau gotong royong untuk membersihkan dan menjernihkan Kali Surabaya, sehingga sudah saatnya pemerintah membuka pintu akses informasi dan partisipasi,” ujar Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia juga menjadi ajang bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, untuk mengkritisi krisis ekologi yang terjadi di Jawa Timur. Walhi Jawa Timur menyebutkan kasus penggundulan hutan di kawasan Lumajang dan Trenggalek hingga mencapai 2.000 hektar dapat berdampak pada pengurangan debit mata air yang menjadi sandaran hidup masyarakat.

“Harus ada ketegasan sikap pemerintah untuk memulihkan kembali kerusakan hutan dan lahan yang ada di Indonesia, serta bersikap adil dalam menindak pelaku kejahatan lingkungan,” kata Ahmad Rosul, Divisi Advokasi dan Kampanye, Walhi Jawa Timur.

Selain kerusakan hutan, pencemaran laut di sekitar Teluk Lamong, Gresik juga disoroti, akibat pembuangan limbah minyak sawit oleh PT Wilmar Nabati Indonesia, sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem di kawasan teluk Lamong.

“Meminta pemerintah secara tegas untuk menuntut perusahaan yang merusak hutan, serta mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Misalnya kalau itu merupakan lahan konservasi ya harus dipergunakan sebagai lahan konservasi, bukan berarti dapat disalahgunakan atau pengalihan kawasan konservasi menjadi hutan produksi,” demikian diutarakan Ahmad Rosul seraya mendesak pemerintah sebagai pengambil kebijakan mampu menelorkan model kebijakan tata ruang yang lebih ramah lingkungan dan berperspektif jangka panjang.

Gelaran Pemilihan Presiden 9 Juli juga menjadi kesempatan bagi aktivis pecinta lingkungan, untuk mengajak masyarakat memilih calon pemimpin bangsa yang peduli terhadap kelestarian hutan dan ekosistem di dalamnya. Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia mengungkapkan, pemimpin Indonesia kedepan yang terpilih nantinya tidak lagi memiliki dosa dan kesalahan akibat merusak hutan dan lingkungan.

“Calon presiden itu tidak punya bisnis eksploitasi hutan. Yang kedua, Presiden itu tidak punya track record yang pernah mengeluarkan sebuah kebijakan atau pun wacana kebijakannya untuk pengembangan ekonomi yang berbasis sektor hutan, artinya melakukan eksploitasi hutan, bukan pemanfaatan jasa hutan,” kata Rosek Nursahid, Pendiri proFauna Indonesia.

Selain kebijakan di bidang hutan, Rosek mengajak mayarakat melihat rekam jejak serta latar belakang Calon Presiden, yang minim menjadi pelaku perusakan hutan dan lingkungan.

“Perlu kita lihat dari track recordnya dia, kemudian dari bisnis dia apakah punya bisnis yang terkait eksploitasi hutan, kita harus melihat apakah dalam visi misi dan program kerja itu menunjukkan ada sebuah garis kebijakan yang mengarah kepada kepedulian kepada kelestarian hutan,” papar Rosek Nursahid menyebutkan kriteria Calon Presiden yang dapat dipilih masyarakat Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,