Inilah Enam Prioritas Penurunan Emisi Sektor Kehutanan Bagi Presiden Mendatang

Indonesia sedang menjalani proses pergantian Presiden. Diharapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya mempunyai visi misi terhadap permasalahan lingkungan dan perubahan iklim yang kuat, seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Diakui oleh dunia internasional, dibawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono, Indonesia berperan penting dalam penanganan perubahan iklim global. Agar Presiden mendatang bisa meneruskan visi misi lingkungan dan perubahan iklim saat ini,  Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo menyebutkan ada enam aksi prioritas yang bisa dilakukan untuk pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan.

“Ada enam aksi prioritas yang bisa dilakukan oleh Presiden mendatang,” kata Agus Purnomo dalam acara diskusi yang digelar Indonesi Climate Change Center (ICCC) di Kantor Dewan Nasional Perubahan Ikliim (DNPI) pada Kamis kemarin (06/06/2014).

Enam aksi prioritas tersebut yaitu pertama, perencanaan ruang dan optimalisasi penggunaan lahan, dengan melakukan konsolidasi institusi yang berwenang dalam perencanaan ruang dan pengelolaan lahan.  Mendefinisikan ulang tugas dan tanggung jawab kementerian dan pemerintah daerah. Ini menjadi prioritas 100 hari kerja pertama.

Kedua, moratorium hutan dan gambut, dengan memperpanjang moratorium hutan dan gambut  sesuai kewenangan presiden.

Ketiga, pengelolaan lahan gambut, dengan memberikan insentif atas usaha mengairi dan menanami lahan yang rusak dan mencegah kebakaran lahan. Kebijakan berbasis ilmiah dengan insentif dan penegakan hukum.

Keempat, praktek penebangan kayu yang berkelanjutan dengan mengurangi dampak penebangan dan praktek penanaman yang diperkaya menjadi isu yang menarik dari masyarakat lokal dan sektor swasta.

Kelima, Peningkatan dalam praktek masyarakat lokal, dengan penyediaan kepemilikan lahan, pelatihan mata pencaharian alternatif dan disinsentif untuk pembukaan hutan. Ini merupakan kepemimpinan politik presiden

“Dengan pengakuan masyarakat adat, penyelesaian masalah tenurial agar tetap menjadi hutan agar diprioritaskan. Peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, menjadi prioritas,” kata Agus Purnomo.

Dan saran keenam adalah Aforestasi dan reforestasi, dengan melanjutkan program penanaman satu miliar phon. Tapi ini membutuhkan kepemimpinan politik dengan seting target jangka panjang.

“Penanaman pohon, diperjelas dimana pohon ditanam dan dijaga agar pohon tetap ada. karena banyak sasaran tempat penanaman di lahan milik perusahaan seperti HTI dan perkebunan komersial,” katanya.

Sedangkan laju deforestasi mengalami penurunan yang signifikan yaitu dari 2,2 juta hektar per tahun pada 1992 – 1996, menjadi 4,1 juta hektar per tahun pada 1996 – 2000, kemudian turun pada 400 ribu hektar per tahun pada 2000-2003. Pada kurun 2003-2006 , laju deforestasi menjadi satu juta hektar per taun, turun menjadi 800 ribu hektar per tahun, dan 600 ribu hektar per tahun pada 2009 sampai 2013.

Agus menyebutkan berdasar data Kementerian Kehutanan, perubahan tutupan lahan pada kurun 2000-2009, sebesar 53 persen pembukaan hutan berubah menjadi kawasan alang-alang yang tidak mempunyai dampak signifikan terhadap perekonomian. Kawasan terdagradasi tersebut sudah seharusnya diubah menjadi lebih bermanfaat.

Diprediksikan ada 11,5 juta sampai 13,5 juta hektar hutan yang terancam mengalami deforestasi dan degradasi, terdiri dari 51 juta hektar pada lahan berkonsesi, dan 139 juta hektar pada lahan non konsesi. Dari 139 juga hektar non konsesi, terdiri dari 61 juta hektar berada di hutan yang mengalami moratoriumdan 78 juta hektar hutan diluar kawasan hutan yang dimoratorium.

Padahal hutan dan gambut Indonesia diprediksi mampu menyimpan sekitar 60 gigaton carbon, dimana 60 persennya berada di lahan gambut. Maka menjadi penting untuk tetap menjaga kawasan gambut dari pembukaan lahan agar emisi karbon tetap tersimpan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,