,

Usai Pelatihan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat, Lima Petani Muba Ditangkap

Lima petani ditangkap aparat Polri, TNI dan petugas BKSDA sesaat setelah  mengikuti pelatihan pemetaan wilayah adat yang  digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan. Mereka dituduh merambah hutan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.

Penangkapan ini dilakukan sekitar 150 petugas pada Rabu (11/6/14) sekitar pukul 14.30 di Posko Dewan Petani Sumsel (PDS), di Tungkal Jaya, Muba, yang tengah menggelar pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat. Mereka yang ditangkap Muhammad Nur Djakfar (73), Zulkipli (60) dan Wiwin (22). Sedang Heriyanto (33) dan Samingan (52) ditangkap saat di hutan Margasatwa Dangku.

Kelima petani berada  Mapolda Sumsel. “Kami masih mendampingi kelima petani yang dituduh merambah Suaka Margasatwa Dangku,” kata Rustandi Ardiansyah, ketua AMAN Sumsel, Rabu (11/6/14).

Anwar Sadat, ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS) mengatakan, penangkapan kelima petani itu bentuk intimidasi perjuangan para petani yang ingin memanfaatkan tanah adat yang sudah dijamin dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.35. “Kami jelas protes, dan meminta kepolisian segera membebaskan kelima petani itu.”

Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumsel. Kawasan ini berjarak sekitar 150 kilometer dari Palembang, kini memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut tahun 1986, menetapkan luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar.

Kini, kondisi Suaka Margasatwa Dangku, mulai kritis. Sulit ditemukan harimau Sumatera, gajah, tapir, dan sejumlah flora khas hutan tropis. Suaka Margasatwa dikelilingi perkebunan sawit dan HTI. Namun, tuduhan perusakan santer tertuju pada sekitar 2.000 keluarga yang berkebun di sana.

Warga membantah. “Tidak benar itu. Harimau, gajah, tapir, sudah lama tidak ditemukan di hutan Dangku. Mereka hilang sejak perusahaan perkebunan, batubara dan minyak hadir,” kata Yusril Arafat, warga Tungkalulu.

Suaka Margasatwa Dangku, sebelah utara berbatasan dengan perkebunan sawit PT Berkat Sawit Sejati, sebelah selatan perkebunan sawit PT Musi Banyuasin Indah dan HTI milik PT Pakerin serta kebun sawit PT Pinago. Lalu, sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan lindung, dan sebelah timur dengan areal penggunaan lain.

Sebelum ditetapkan pemerintah sebagai Register 37, Suaka Margasatwa Dangku, sekitar 20 ribu hektar lahan di lansekap Dangku merupakan hutan adat marga Tungkalulu. Marga Tungkalulu terbentuk pada 1926, kali pertama dipimpin pesirah Bahmat alias Badui. Saat marga terbentuk mereka menjadikan lansekap Dangku sebagai tanah adat, sebagai sumber kehidupan dari bertani. Luas hutan adat mencapai 160 kilometer persegi.

Di lansekap Dangku terdapat tujuh sungai, yakni, Sungai Tungkal, Jerangkang, Petaling, Petai, Dawas, Biduk dan Sungai Lilin. Di sana, ada sejumlah flora endemik seperti meranti, merawan, medang, manggeris, jelutung, balam, tembesu dan merbau. Lahan ini juga habitat harimau Sumatera, gajah, rusa, tapir, trenggiling, kera ekor panjang, landak, babi hutan dan beruang madu, serta burung seperti rangkong dan raja udang.

Ketika sebagian tanah adat dijadikan Suaka Margasatwa Dangku, masyarakat belum merasakan dampak negatif. Masih ada lahan adat lain untuk bertani dan berkebun. Kala tanah adat diberikan pemerintah untuk perkebunan, migas dan pertambangan, masyarakat merasakan kesulitan hidup.

Puncaknya pada 2006, aparat polisi mengusir dan merusak rumah warga yang diklaim masuk wilayah perkebunan sawit milik PT Sentosa Mulia Bahagia (SMB). Ada warga menjadi gila dan bunuh diri. Kala sebagian warga ingin bertani di tanah adat yang masuk Suaka Margasatwa Dangku, mereka pun ditangkap dan dipenjara. Sekitar 18.000 warga kehilangan lahan pertanian dan hidup miskin.

Perjuangan warga terus berjalan. Sejak 2012 hingga kini, sekitar 2.000 keluarga membangun pondok dan berkebun di Suaka Margasatwa Dangku. “Kami melakukan ini karena hidup kami miskin. Selama puluhan tahun kami kehilangan lahan pertanian.”

Kabupaten Musi Bayuasin dengan luas 14.265,96 kilometer persegi merupakan kawasan di Sumsel yang paling banyak dimanfaatkan perusahaan.

Berdasarkan data Walhi, ada 68 perusahaan mendapat kuasa penambangan batubara dengan luas lokasi sekitar 1.108.032 hektar di Kabupaten Musi Banyuasin. Puluhan perusahaan sawit, baik asing maupun nasional, mengusai sekitar 191.425 hektar. Perusahaan perkebunan karet 4.148 hektar.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,