Usaha Perikanan Ramah Lingkungan Masih Minim

Kondisi perikanan di Indonesia makin memprihatinkan. Stok ikan menipis karena kegiatan over fishing selama bertahun-tahun. Penangkapan ikan menggunakan bom dan potassium juga marak beberapa tahun lalu meskipun sudah mengalami penurunan. Usaha perikanan berkelanjutan masih minim di Indonesia.

Untuk itu,  WWF-Indonesia menginisiasi program bernama Seafood Savers. Lewat program ini, perusahaan perikanan diajak menerapkan konsep perikanan berkelanjutan.

“Seafood Savers kali pertama digulirkan 2009. Ini kerjasama bussines to bussines diinisiasi WWF untuk fasilitasi perbaikan perikanan tangkap dan budidaya di Indonesia,” kata Margareth Meutia, koordinator Seafood Savers WWF-Indonesia, dalam diskusi di Jakarta, Selasa (10/6/14).

Laporan Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tahun 2012 mengidentifikasi 40% dari 1,2 juta hektar areal tambak di Indonesia– 500 ribu hektar tambak tradisional–sudah tidak mampu berproduksi maksimal. Sebagian, sudah tidak berproduksi sama sekali.

Sedang FAO menyatakan, tekanan sumber daya perikanan dunia makin meningkat. Tahun 2010, FAO merilis 53% sumber daya ikan dimanfaatkan maksimal (fully exploited), 28% berlebih (over exploited), 3% habis (depleted) dan 1% dalam pemulihan. Kondisi ini,  disumbang eksploitasi perikanan tangkap maupun budidaya.

Begitu juga dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 45 tahun 2011 menunjukkan hal sama. Sekitar 72% sumberdaya ikan di 11 wilayah Indonesia “over fishing” dan “fully-exploited”. Tersisa 27% atau 35 spesies dan kelompok spesies dari seluruh stok perikanan nasional masih bisa dimanfaatkan.

Meutia mengatakan, Seafood Savers mendorong perusahaan perikanan menerapkan konsep perikanan berkelanjutan merujuk pada dua sertifikasi. Diantaranya, perikanan tangkap sertifikasi Marine Stewardship Council dan  perikanan budidaya Aquaculture Stewardship Council. Kedua sertifikasi dijadikan acuan karena dianggap paling berkelanjutan.

“Untuk mendapatkan sertifikasi sangat sulit. Penilaian sangat ketat. Tak hanya aspek lingkungan juga sosial. Seafood Savers menjadi jembatan pengusaha  perikanan menuju ke sana.”

Menurut dia, banyak perusahaan retail di dunia mensyaratkan sertifikat ini. Syarat ini menggambarkan kepedulian retail perikanan berkelanjutan sangat tinggi. Mereka ingin memastikan ikan yang diterima hasil kegiatan ramah lingkungan.

Kini, ada beberapa perusahaan perikanan Indonesia memproses sertifikasi MSC dan ASC. Untuk MSC,  belum ada satupun lolos sertifikasi. ASC,  satu perusahaan, PT Aqua Farm Nusantara.

Kondisi ini,  menyebabkan, industri perikanan Indonesia sulit bersaing dengan negara lain. Padahal, Indonesia penghasil ikan terbesar di dunia. Perikanan juga tumpuan ekspor.

Saat ini, baru ada tiga perusahaan bergabung dalam keanggotaan Seafood Savers, yakni PT Arta Mina Tama (AMT), PT Pulau Mas dan PT Sea Delight. Ketiga perusahaan itu eksportir ikan karang dan tuna. Beberapa perusahaan perikanan lain sedang dalam proses pengesahan keanggotaan. WWF, sedang menginisiasi keanggotaan seafood Savers untuk komoditas udang di Tarakan, Kalimantan.

Perusahaan yang tergabung dalam Seafood Savers didorong memperoleh sertifikasi MSC dan ASC. “Saya rasa tanpa kita sadari pergerakan pasar sangat cepat, perbaikan pengelolaan harus segera mungkin. Ini urgen.”

Saut Hutagalung, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Laut (P2H) KKP, mengatakan, produksi perikanan budidaya meningkat lebih tinggi dibandingkan perikanan tangkap. Total produksi perikanan 2013,  sebesar 19,56 juta ton, terdiri dari perikanan tangkap 5,86 juta ton dan budidaya 13,70 juta ton.

Tahun 2012, transaksi perdagangan Indonesia dari ekspor ikan di posisi ke tujuh dunia US$3,85 miliar. Indonesia di bawah China, Norwegia, Thailand, Vietnam, USA dan Canada.

Dalam UU Perikanan sudah mencantumkan persyaratan pengelolaan perikanan termasuk dari aspek lingkungan. “Kebijakan pemerintah sudah sangat jelas. Hanya, taat atau tidak terhadap peraturan itu?”

Dia berharap, prinsip perikanan berkelanjutan bisa diterapkan bertahap. “Sekarang pasar menghendaki itu. Suistainable trade penting buat kita. Kita harus terus update syarat-syarat pasar.”

Hutagalung juga mengharapkan, makin banyak perusahaan perikanan memperoleh sertifikasi MSC maupun ASC. “KKP tidak mengarahkan sertifikasi mana yang paling utama. Terpenting, prinsip keberlanjutan. Sertifikasi refleksi menerapkan asas keberlanjutan.”

Abdullah Habibi, Fisheris and Aquaculture Improvement Programme Manager WWF Indonesia, mengatakan, prinsip utama harus diimplementasikan dalam perikanan berkelanjutan adalah  kolaboratif. “Suistainable bisa tercapai jika ada sinergi antara pemerintah pusat, lokal, NGO, nelayan dan managemen. Butuh political will yang kuat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,