,

Tolak Tambang dan Pabrik Semen, Warga Rembang Diintimidasi TNI/Polri

Tujuh warga sempat diamankan, lalu dilepas. Ibu-ibu yang aksi ada yang dilempar ke semak belukar dan dicekik aparat.

Tak kurang 500-an warga desa menolak tambang karst dan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (SI) di Kawasan Gunung, Kendeng, Rembang Jawa Tengah, pada Senin (16/6/14). Warga yang didominasi para perempuan ini menduduki rencana lokasi tapak pabrik.  Sekitar tujuh orang sempat diamankan TNI/Polri, termasuk ibu-ibu.

Warga protes karena tidak mendapatkan sosialisasi ataupun informasi seputar tambang dan pembangunan pabrik itu. Penolakan sudah dilakukan sejak awal tetapi tak mendapatkan tanggapan.

Aan Hidayah, warga yang ikut aksi kepada Mongabay mengatakan, sejak pagi sekitar 100-an pesonil Polres Rembang dan TNI siaga menghalangi dan mengintimidasi warga. Warga yang bersembunyi di semak-semak sekitar pertigaan pabrik semen di-sweeping aparat.

“Aksi ini menjadi pilihan terakhir setelah warga tidak pernah diberi untuk menyuarakan berbagai pelanggaran yang dilakukan selama persiapan proyek pembangunan pabrik semen di Rembang,” katanya mewakili  Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK).

Menurut dia, warga tidak pernah dilibatkan sama sekali oleh SI. Tak ada sosialisasi akan dibangun pabrik semen. Perusahaan selalu menutupi berbagai hal  dan warga khawatir dampak penambangan semen ini.

“Tadi terakhir sempat ada ditangkap aparat tujuh orang warga, satu perempuan, enam laki-laki. Kini sudah dibebaskan.”

Ming Lukiarti,  warga dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang mengatakan, ada dua ibu-ibu, Murtini dan Suparmi pingsan karena intimidasi dan sweeping aparat. Ada juga warga lecet di badan karena terkena duri semak belukar. “Ibu-ibu  dilempar aparat ke semak blukar, ada ibu-ibu dicekik.”

Dalam catatan dari AWRPPK, dokumen Amdal tidak pernah disampaikan kepada warga. Tidak pernah ada penjelasan mengenai dampak-dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik semen.

Intimidasi sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin memperjuangkan hak memperoleh informasi jelas dan lingkungan hidup sehat.

Aliansi juga mencatat ditemukan dugaan pelanggaran hukum antara lain penggunaan kawasan cekungan air tanah Watuputih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen. Ini melanggar Perda RTRW Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini kawasan lindung imbuhan air. Juga Perda RTRW Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Warga Rembang, aksi protes sambil sholat Dzuhur. Foto: Omaekendeng
Warga Rembang, aksi protes sambil sholat Dzuhur, Mei 2014. Foto: Omaekendeng

Ditemukan juga dugaan penebangan kawasan hutan tidak sesuai persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013. Dalam surat itu menyatakan, kawasan yang diizinkan ditebang adalah hutan KHP Mantingan, secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen,  Kecamatan Gunem, Rembang. Fakta di lapangan, SI menebang kawasan hutan Kadiwono,  Kecamatan Bulu kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik.

Dalam Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Rembang, Bulu bukan buat industri besar.

Dari pendataan aliansi, bukti-bukti lapangan seperti 109 mata air, 49 goa, dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa, makin menguatkan keyakinan kawasan karst Watuputih harus dilindungi.

“Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan warga Rembang serta Lasem. PDAM mengambil air dari Gunung Watuputih.”

Kebutuhan lahan sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada kehilangan lahan pertanian, hingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Kondisi ini, akan menurunkan produktivitas pertanian pada wilayah sekitar, karena dampak buruk timbul, misal, sumber mata air mati, polusi debu, dan keseimbangan ekosistem alamiah terganggu. Akhirnya, semua akan melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.

Dalam UU 32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ia bisa berupa peran pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan dan menyampaikan informasi dan atau laporan.

“Namun ketidaktransparan dan ketidakadilan di lapangan saat ini mengakibatkan terjadi perampasan hak rakyat atas informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen,” kata Aan.

Tak hanya itu, temuan Komnas HAM ada pelanggaran HAM di Kecamatan Gunem Rembang. “Ini harus segera ditindak tegas dan aparat. Polri dan TNI harus membela pada rakyat bukan para perusahaan yang jelas-jelas merugikan rakyat.”

Dalam aksi itu, aliansi menuntut beberapa hal.  Antara lain, menuntut pemerintah Jawa Tengah dan pemerintah Rembang menghentikan semua kegiatan SI karena melanggar peraturan. Lalu, menuntut Kementerian Lingkuhan Hidup evaluasi terhadap Amdal dan mendesak Kementerian Kehutanan evaluasi izin prinsip kawasan.

Data temuan dari Jatam menyebutkan, hingga 2013, tambang karst di Jawa, mencapai 76 izin, tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Jawa.

Dari analisis Jatam, eksploitasi karst di Jateng sebagian besar dipicu legalisasi daerah seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRWP 2009-2029. Lalu, Perda RTRW Kabupaten Kebumen nomor 23 tahun 2012 menyebutkan bentang alam karst Gombong memiliki luas lebih kurang 4.894 hektar dan lain-lain.

Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam mengatakan, Jatam mengecam tindakan kekerasan TNI/Polri kepada petani di Rembang yang menolak eksploitasi dan pndirian pabrik semen di Kendeng.

“Seharusnya aparat brsikap netral dan tak represif karena warga hanya pendudukan bukan perusakan. Apalagi dalam masa kampanye dan mnjelang pilpres, aparat seharusnya menjaga situasi kondusif, bukan menyulut konflik akar rumput,” katanya.

Menurut dia, sudah berkali-kali warga, akademisi maupun masyarakat sipil pegiat lingkungan mengingatkan Gubernur Jateng dan Bupati Rembang mengenai bahaya eksplotasi karst di kawasan kendeng.

Waga Rembang, kala aksi pendudukan lopkasi yang akan menjadi pembangunan pabrik semen. Foto: Omahekendeng
Waga Rembang, kala aksi pendudukan lopkasi yang akan menjadi pembangunan pabrik semen. Foto: Omahekendeng

“Sudah sewajarnya gubernur dan bupati tahu risiko prtambangan di kawasan karst. Dengan menyetujui pnambangan dan pembangunan pabrik semen ini berarti mereka merelakan warga menderita kekeringan, banjir dan longsor.”

Untuk itu, Jatam mendesak Pemerintah Jateng dan Rembang membatalkan seluruh perizinan tambang di pegunungan Kendeng. Sebab, katanya, daya dukung alam dan lingkungan jika terjaga terbukti mampu meghidupi ekonomi Rembang. “Pemda harus berpikir ribuan kali sebelum menerima investor merusak. PAD sektor pertanian rakyat seharusnya diselamatkan pemda.”

Konsorsium Pembaruan Agraria pun mengutuk aksi aparat ini. Iwan Nurdin, sekretaris jenderal KPA mendesak Gubernur Jateng menghentikan dan mencabut rencana dan izin penambangan karst dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Lalu, menuntut SI menarik alat berat yang sedang menambang karst di Rembang. “Ini mengancam penghidupan warga,” kata Iwan.

KPA juga mendesak mengusut tuntas kekerasan aparat keamanan kala aksi blokde yang menyebabkan petani luka-luka. KPA juga meminta aparat kepolisian dan TNI menghentikan cara-cara kekerasan dan tindakan represif terhadap warga. “Ini keterlibatan kepolisian dalam proses penanganan konflik agraria di Jateng.”

Iwan juga mendesak Gubernur Jateng menyelesaikan konflik agraria di daerah itu hingga tuntas dan menyeluruh, khusus di Kebumen, Sragen dan Rembang. “Ini agar tercipta keadilan sosial dan kemakmuran bagi petani di Jateng.”

Kecaman sama juga datang dari Walhi Nasional. Walhi menyayangkan insiden ini dan mendesak negara segera mengusut para pelaku yang bertindak sewenang-wenang dan menangkap warga.

Edo Rachman, pengkampamye Walhi Nasional mengatakan, insiden ini dampak pengabaian peran negara melindungi hak lingkungan sebagai bagian dari HAM.

“Warga mempertahankan kawasan karst untuk kepentingan kehidupan mereka dan generasi yang menjadi sumber air bagi kehidupan warga,” katanya.

Seharusnya, katanya,  negara melindungi warga yang memperjuangkan lingkungan hidup sehat. “Insiden ini bentuk pembiaran negara yang tidak melibatkan warga dalam mewujudkan hak veto rakyat. Hak terlibat dalam pengambilan keputusan. Negara wajib meminta pendapat warga terkait perencanaan dan peruntukkan kawasan budidaya.”

Dia mengatakan, dasar hukum warga sangat kuat menolak SI karena kawasan itu buat perlindungan.  “Ini tertuang dalam Perda RTRW Rembang.”

Menurut dia, insiden ini membuktikan pemerintah lebih berpihak kepada investor dibandingkan kehidupan warga yang tergantung dengan keberadaan karst ini.

Seharusnya, kata Edo, pemerintah dan aparat lebih cerdas menyikapi situasi politik saat ini, bukan justru bertindak yang bisa berdampak buruk bagi proses demokrasi.

“Walhi mendesak, pemerintah Rembang segera mencabut izin perusahaan dan mengeluarkan dari kawasan karst. Kawasan ini jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber-sumber kehidupan.

Tokoh Agama Ikut Tolak Tambang

Sebelum itu, pada 25 Mei 2014, kalangan tokoh agama terkemuka di Jateng juga menolak rencana pembangunan pabrik ini. Mereka antara lain, K.H. A. Mustofa Bisri, K.H. Yahya Staquf, K.H. Zaim Ahmad Ma’sum,  K.H. Syihabuddin Ahmad Ma’sum,  K.H. Imam Baehaqi dan K.H. Ubaidillah Ahmad.

Dikutip dari website Omahkendeng, menyebutkan, diadakan istighosah atau doa bersama di tapak pabrik Semen Indonesia, hutan Perhutani KPH Mantingan, Rembang. Dalam istighosah ini, warga delapan desa yakni, Suntri, Tegaldowo, Bitingan, Dowan, Timbrangan, Pasucen, Kajar, dan Tambakselo, sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang.

Istighosah ini dibarengi pertemuan di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang pada 25 Mei 2014 dihadiri berbagai organsisasi. Antara lain, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Pengurus NU Rembang, Lasem, Pondok Pesantren Ngadipurwo Blora, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam.

Pertemuan ini sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang dengan berbagai alasan, seperti temuan ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus. Lalu fosil-fosil sampai RTRW Jateng yang dilanggar.

Tambang ini dinilai melanggar prinsip kaidah fikih “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih.” Bahwa, kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen lebih besar daripada manfaat.

Mongabay menghubungi Semen Indonesia melalui telpon humas di Gresik, Jawa Timur. Namun diberikan kontak person, Farid yang berada di lokasi. Sayangnya, saat dihubungi nomor tidak aktif. Kami juga mengirimkan pesan pendek namun belum juga balasan.

Polisi kala mengamankan warga yang aksi di Rembang. Foto: Omahekendeng
Polisi kala mengamankan warga yang aksi di Rembang. Foto: Omahekendeng
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,