, ,

Forum Rakyat Bali Desak SBY Batalkan Perpres Reklamasi

Made Wiliani bergabung dalam aksi Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), Selasa (17/6/14) di Denpasar, Bali. Dia memakai kebaya ala perempuan Bali. Kepala berisi pita putih dengan tulisan hitam,”Bali Tolak Reklamasi.”

Wiliani warga Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung. Bersama lebih 1.000 orang, dia bergabung menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2014.   

“Tolak Reklamasi!” Suaranya menyatu dengan ribuan warga yang ikut aksi.

“Saya tidak ingin pulau saya tenggelam karena pembangunan pariwisata yang tidak terkontrol,” katanya.

Bersama yang lain, Wiliani mengelilingi lapangan terluas di Denpasar ini. Massa berhenti sekitar 30 menit di depan Bank Artha Graha Denpasar. Bank milik taipan Tomy Winata, pemilik PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang akan membangun fasilitas mewah di Teluk Benoa.

Satu per satu juru bicara aksi berorasi. Ada perwakilan warga, mahasiswa, maupun ForBali. Tiga puluh menit kemudian, massa melanjutkan aksi ke kantor Gubernur Bali, berjarak sekitar 300 meter dari sana.

Massa menuntut SBY membatalkan aturan pengganti Perpres no 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) itu.

Massa sebagian besar anak-anak muda yang datang dari beragam latar belakang. Ada mahasiswa, musisi, aktivis, warga adat, ibu rumah tangga, orang disabel, bahkan anak-anak. Mereka membawa berbagai poster, spanduk, maupun perangkat aksi lain berisi penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk  Benoa.

Ada yang berpakaian adat, beralmamater kampus, juga kostum ala anak punk. Di belakang massa, puluhan orang berpakaian adat Bali madya (santai) membawa gamelan. Mereka memainkan musik tradisional Bali dalam irama cepat hingga menambah gairah suasana aksi.

Musik saling mengisi dengan irama lain dibawakan musisi-musisi Bali seperti The Hydrant, BullHead, dan lain-lain. Band-band indie ini memainkan ketipung, ukulele dan gitar sambil bernyanyi.

“Sayang Bali, tolak reklamasi.”

“Sayang Bali, kita dibohongi.”

“Rusak bumi dan anak negeri..”

Warga Bali yang tergabung dalam ForBali aksi mendesak SBY membatalkan prepres yang membuak peluang reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Anton Muhajir
Warga Bali yang tergabung dalam ForBali aksi mendesak SBY membatalkan prepres yang membuka peluang reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Anton Muhajir
Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali

Di akhir aksi, ForBali membacakan tiga pernyataan sikap di depan kantor Gubernur Bali.

Pertama, menuntut SBY membatalkan dan mencabut Perpres no 51 Th 2014 dan memberlakukan Perpres awal. Kedua, menuntut SBY menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali selatan.

Ketiga, mendesak SBY di masa akhir jabatan tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak termasuk kebijakan reklamasi Teluk Benoa.

Babak Baru

Aksi ini semacam babak baru dalam perjuangan ForBali menolak rencana reklamasi setelah dilakukan selama sekitar satu tahun.

Pada 31 Mei 2014, SBY mengeluarkan perpres baru, terdapat perubahan wilayah pelestarian dan pemanfaatan. Meskipun termasuk zona penyangga, masih ada kegiatan-kegiatan diperbolehkan di zona ini. Misal, kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, dan dan pemukiman.

“Secara tidak langsung, perubahan ini membuka karpet merah bagi investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa Bali,” kata Suriadi Darmoko, ketua Walhi Bali.

Penerbitan Perpres bari ini, intinya menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa kawasan konservasi sebagaimana disebutkan pada perpres sebelumnya.  “Perpres baru ini terang-benderang mengakomodir kepentingan investor bisa mereklamasi Teluk Benoa,” kata I Wayan Suardana, koordinator ForBali.

Fakta ini, katanya, makin menegaskan rezim SBY, hukum bisa dipesan untuk memenuhi ambisi investor bahkan dengan mengelabui rakyat sendiri.

Penolakan ForBali sejak setahun lalu. Gabungan berbagai kelompok masyarakat sipil Bali ini menolak rencana reklamasi di kawasan segitiga emas antara Sanur, Kuta, dan Nusa Dua oleh TWBI.

ForBali antara lain terdiri dari Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali, Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali), Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi Teluk Benoa), Walhi Bali, dan Sloka Institute.

Ada juga Mitra Bali, PPLH Bali, PBHI Bali, Kalimajari, Yayasan Wisnu, Manikaya Kauci, Komunitas Taman 65, Komunitas Pojok, Bali Outbond Community, Penggak Men Mersi, ALL PIS, BEM Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali. Tak ketinggalan, PPMI DK Denpasar, Eco Defender, Nosstress, The Bullhead, Geekssmile, Superman Is Dead, Navicula serta komunitas dan individu-individu yang peduli keselamatan Bali.

Ada beberapa alasan ForBali menolak reklamasi ini. Antara lain,  karena Teluk Benoa kawasan konservasi, hutan mangrove seluas 1.373 hektar, terluas di Bali. Kawasan ini rumah habitat perairan seperti ikan, padang lamun, rumput laut, terumbu karang, dan lain-lain.

Teluk Benoa juga muara bagi lima daerah aliran sungai (DAS) di Bali selatan yaitu DAS Badung, DAS Mati, DAS Sama, DAS Bualu, dan DAS Tuban. Teluk Benoa berfungsi sebagai penampung bagi air-air dari kelima DAS ini.

Menurut riset Conservation International (CI), reklamasi Teluk Benoa bisa mengakibatkan banjir bagi daerah di sekitar seperti Tuban, Kuta, dan Suwung. Kedonganan, desa di mana Wiliani ini termasuk daerah berisiko banjir jika reklamasi berjalan. “Daerah saya sudah terlalu banyak hotel,” kata Wiliani.

Aksi ForBali tolak rencana reklamasi yang terbuka dalam prepres yang baru saja diteken SBY. Foto: Anton Muhajir
Aksi ForBali tolak rencana reklamasi yang terbuka dalam prepres yang baru saja diteken SBY. Foto: Anton Muhajir
Bersama keluarga, anak kecil juga ikut aksi desak SBY batalkan perpres yang buka peluang reklamasi dan mengancam kawasan konservasi dan desa-desa sekitar. Foto: Anton Muhajir
Bersama keluarga, anak kecil juga ikut aksi desak SBY batalkan perpres yang buka peluang reklamasi dan mengancam kawasan konservasi dan desa-desa sekitar. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,