,

Mengais Rejeki Menjual Satwa Liar

 Sore di awal bulan Juni, sinar matahari yang cerah menyelimuti kota Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim). Masyarakat kota Balikpapan terlihat menikmati sore dengan berbagai aktivitasnya, termasuk di Jalan Mayjen Sutoyo, kawasan Gunung Malang. Di satu sudut jalan itu, terlihat warga mengerumuni dua orang seperti keramaian penjual obat. Mongabay tertarik untuk melihat. Dan setelah didekati, ternyata dua orang itu bukan penjual obat,tetapi dihadapannya terlihat banyak kerangkeng berisi berbagai satwa eksotis Kalimantan dari jenis burung, reptil, dan primata.

Tidak tanggung-tanggung, rata-rata hampir semua hewan yang berada di kerangkeng tersebut masih anakan. Mongabay mencoba menghampiri dengan rasa ingin tahu dan mencoba bertanya perihal harga binatang-binatang tersebut. Tanpa ada rasa takut, kedua penjual yang memiliki logat salah satu suku di Kalimantan ini menjelaskan  dagangannya.

Penjual yang berasal dari propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) ini, menjual berbagai jenis binatang, dari ayam hitam, anakan musang pandan atau luwak (Paradoxurus hermaphroditus) sekitar umur 4 bulan, anakan kera, biawak, kuskus, serta berbagai jenis burung, termasuk burung elang bondol (Haliastur indus). Kesemua hewan tersebut berasal dari hutan di kawasan pegunungan Meratus di perbatasan Kaltim dan Kalsel.

“Kalau musang harganya Rp400 ribu mas, umurnya baru 6 bulan. Kalau yang paling kecil umur empat bulan harganya lebih mahal. Kalau kuskus harganya Rp600 ribu, sementara anak kera harganya Rp100 ribu,” kata Abidin, penjual satwa di pinggiran trotoar, menjelaskan kepada calon pembeli atau masyarakat yang bertanya.

Tidak sedikit masyarakat yang datang untuk menyaksikan binatang-binatang tersebut, ada yang mencoba menawar beberapa binatang primata. Adapula yang menawar jenis burung, termasuk burung elang. Beberapa orang akhirnya tertarik membeli hewan yang dijual itu.

Dengan tingkat kemakmuran ekonomi yang meningkat, memang banyak orang yang tertarik untuk memelihara hewan eksotis. Hal itu saja memicu perburuan dan penjualan hewan liar.

Padahal beberapa satwa itu berstatus langka dan dilindungi oleh undang-undang. Seperti elang bondol dan kuskus termasuk satwa liar dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 dan Undang-undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukumannya cukup berat yaitu lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Penjualan satwa liar hasil tangkapa di salah satu jalan di Balikpapan. Foto: Hendar
Penjualan satwa liar hasil tangkapan di salah satu jalan di Balikpapan. Foto: Hendar

Perburuan Liar

Kawasan perbatasan Kaltim dan Kalsel membentang hutan pegunungan Meratus yang menjadi tempat hidup berbagai satwa khas Kalimantan. Namun berbagai satwa itu semakin terancam kehidupannya karena 60 persen kawasan pegunungan Meratus telah dialihfungsikan menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Berbagai satwa itu semakin terdesak hidup ditengah hutan Meratus yang semakin rusak dan terfragmentasi. Tidak cukup oleh rusaknya hutan, berbagai satwa eksotik Kalimantan itu juga makin terancam hidupnya oleh perburuan liar.

Dari obrolan para penjual satwa di kawasan Jalan Mayjen Soetoyo Balikpapan itu, mereka banyak memperoleh satwa-satwa tersebut dari para pemburu sebagai penghidupan.  Satwa liar tangkapan dijual di Balikpapan dan Kabupaten Tanah Grogot Kaltim, yang merupakan daerah terdekat dengan perbatasan Kalsel.

“Banyak mas cara nangkapnya, bisa pakai jaring untuk burung, bisa pakai pullet sejenis lem. Sementara burung-burung yang terjaring, di pilih yang laku dijual. Kalau untuk mamalia, biasanya dibuat jerat. Kalau kuskus, biasanya harus tahu dahulu kawasannya, baru mencarinya pada malam hari, saat satwa keluar,” ungkap salah satu rekan Abidin.

Yang lebih mirisnya lagi, penangkapan anak monyet dan kukang, dilakukan dengan cara memancing indukannya untuk keluar sarang, sehingga memudahkan pemburu untuk melakukan penangkapan. “Daerah yang paling banyak di perbatasan Kaltim – Kalsel. Selain jarang pengawasannya, daerah tersebut banyak tambang dan perkebunan sawit, sehingga banyak binatang yang masuk ke kebun sawit. Untuk melakukan perburuan di kawasan perbatasan perkebunan dengan hutan sangatlah mudah, tinggal memberi umpan makanan, sehingga indukan binatang akan keluar, dan dijerat. Begitu kata penangkapnya,” ungkap Abidin.

Berbeda dengan cara berburu burung dari Suku Muluy, salah satu suku Dayak di Kabupaten Paser, Kaltim yang berbatasan langsung dengan Kalsel dan Kalteng. Kehidupan Suku Muluy sangat sederhana. Bagi mereka dengan menjaga alam sekitar maka alam akan memberikan apa yang dibutuhkan. Sejak turun temurun Suku Muluy yang hidup di bagian utara Gunung Lumut, turut menjaga menjaga kelestarian gunung yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung pada1996 itu.

Dihubungi terpisah, Jidan, Kepala Adat Suku Muluy mengatakan menangkap burung merupakan pekerjaan salah satu sub suku Dayak di Paser. Namun tidak setiap hari mereka berburu burung. Mereka pun hanya menangkap burung murai batu, yang diburu pada bulan-bulan tertentu demi menjaga kelestariannya.

“Kami tidak tiap hari mencari burung, biasanya setelah kami mendapat burung, pencarian selanjutnya dilakukan beberapa bulan, setelah burung jenis yang kami tangkap beranak pinak,” jelas Jidan. Mereka hanya menangkap burung murai batu dewasa. Oleh karena itu mereka menyesuaikan ukuran jaring yang digunakan hanya burung dewasa. “Bila ukuran burung kecil, maka akan terlepas dari jaring,” tambahnya.

Perburuan tradisional.  Foto: Hendar
Perburuan tradisional.  Foto: Hendar

Penertiban

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah 1 Balikpapan, Penajam Paser Utara dan Grogot, saat dikonfirmasi membenarkan ada penjualan yang dilakukan di kawasan Jalan Mayjen Sotoyo tersebut dan telah beberapa kali ditertibkan.

“Kami telah beberapa kali menegur dan menyita binatang, namun mereka tetap saja berjualan. Kadang kami harus kucing-kucingan dengan mereka. Kadang saat kami menangkapnya, mereka tidak ada menjual hewan liar yang dilindungi. bahkan kami juga berkerja sama dengan pihak kelurahan setempat untuk melakukan pemantauan terhadap penjualan tersebut,” ungkap Nidiansyah, salah seorang Koordinator Polisi Kehutanan BKSDA  Wilayah 1.

Permasalahan penertiban penjualan hewan liar itu juga terkendala penampungan yang memiliki ijin konservasi. Hingga kini, kata Nidiansyah,  di Kaltim hanya memiliki dua penampungan untuk binatang jenis primata, yakni Yayasan Borneo Orang Utan Survival di Samboja Lestari dan kebun binatang mini yang berada di salah satu perusahaan tambang di Kutai Barat, Kaltim.  Selain itu, ada tempat penangkaran buaya di Tritip Balikpapan dan penangkaran rusa di Penajam.

Binatang yang disita dari hasil penjualan tentunya harus di kembalikan ke habibat aslinya, Namun bila binatang tersebut masih kecil maka harus “disekolahkan” agar dapat dilepasliarkan dan hidup di habitat aslinya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,