,

Mengajak Siswa Belajar dari Alam

Ratusan siswa SD dan SLTP, dari berbagai sekolah, berkumpul di aula Pusat Penyelamatan Tasikoki (PPST), Bitung, Rabu (11/6/14. Ada yang bernyanyi dan bermain drama. Ada juga membaca puisi. Ada apa? Ternyata, Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) tengah menggelar evaluasi belajar selama satu periode, dengan motto “Belajar Dari Alam, Berbuat Untuk Alam.”

Evaluasi ini, sama sekali berbeda dengan ujian akhir semester atau ujian nasional. Tiap peserta, memaparkan hasil belajar selama satu periode lewat karya seni. Mereka senang, jauh dari tegang.

Nona Diko, koordinator lokal PKT, mengatakan, kegiatan ini menampilkan hasil belajar periode, Oktober 2013-Juni 2014.

“Mereka dikumpulkan dalam satu kegiatan besar, sebab selama ini hanya bertemu di kelas.”

Menurut dia, pengetahuan lingkungan hidup siswa mengalami peningkatan. Mereka dapat membedakan dan mengidentifikasi jenis satwa. “Dulu, ketika ditunjukkan gambar babi rusa, ada siswa mengatakan itu babi hutan.”

Untuk konservasi, siswa bisa membedakan cagar alam, hutan lindung dan taman nasional. Mereka telah mengtahui UU Perlindungan Satwa.

Tim PKT membagi kegiatan belajar dalam dua bentuk, materi kelas dan karya wisata (trip). Di kelas bersifat penjelasan.  Di lapangan  agar para siswa melihat obyek langsung. Di kelas, siswa diajak mengidentifikasi yaki dan membedakan jantan dengan betina.

Selama satu periode, siswa diberikan pelajaran seperti, pengenalan dasar lingkungan hidup, keragaman hutan hujan tropis, dan pengenalan flora dan fauna di Indonesia, Sulawesi, khusus Cagar Alam Tangkoko. Juga pengenalan yaki, karya wisata dan ancaman serta solusi konservasi.

Dalam evaluasi itu, para  siswa mementaskan drama dengan cerita penyelamatan satwa. Ada pula yang membacakan puisi pelestarian lingkungan.

PKT berlangsung sejak 2011. Mulanya, pendidikan konservasi hanya pada sekolah di sekitar Tangkoko. Perlahan PKT mampu menjangkau 13 sekolah.

Para siswa tengah bernyanyi bertema lingkungan, sebagai tahap akhir dari proses belajar di Pendidikan Konservasi Tangkoko. Foto: Themmy Doaly
Para siswa tengah bernyanyi bertema lingkungan, sebagai tahap akhir dari proses belajar di Pendidikan Konservasi Tangkoko. Foto: Themmy Doaly

Mengenal Satwa Lebih Dekat 

Sebelum itu, pada awal Mei 2014, siswa SDN Sagerat Bitung, turun lapangan. Mereka belajar tentang kehidupan yaki (Macaca nigra).

Kegiatan belajar-mengajar berlangsung di hutan, di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung. Para siswa kesempatan melihat lebih dekat obyek yang mereka pelajari.

Terlihat ekspresi gembira di wajah siswa yang masih duduk di kelas V SD itu. Canda-tawa  mewarnai percakapan. Beberapa siswa sesekali mencoba mengabadikan momen langka ini.

Sebelum memasuki hutan, sejumlah peraturan dijelaskan kepada siswa. Tak boleh ribut, harus menjaga jarak dan jangan menatap mata yaki.

“Jangan membuang sampah sembarangan. Kalau melihat sampah plastik, tolong dikumpul lalu masukkan ke karung,” kata Stephan Milyoski Lentey, field station manager Macaca Nigra Projects.

Jarak tempuh bisa mencapai sekitar empat km. Sayangnya, pick-up tidak bisa menampung seluruh siswa yang hadir. Alhasil, sebagian mereka rela berjalan kaki hingga satu km. Mereka gembira, sambil memungut sampah dan memasukkan ke karung.

Di jalan, mereka berteriak kegirangan. Seekor yaki menampakkan diri. Beberapa orang coba mengambil gambar, namun gagal seiring getaran mobil.

Setiba di lokasi belajar, siswa-siswi gaduh. Kerumunan yaki datang. Tak berselang lama, Stephan mengajak siswa tenang. Mereka nurut. Duduk dan mendengarkan.

Kepada Mongabay, Stephan mengatakan, kegembiraan mengajar  karena anak-anak SD sudah memiliki kesadaran lingkungan.

Stephan memiliki cerita panjang soal penyebaran ide-ide konservasi. Sejak mahasiswa, dia sudah mengkampanyekan pelestarian lingkungan, makin gencar sejak bergabung bersama Macaca Nigra Projects (MNP). “Kami merasa perlu mengajar anak-anak, karena dalam keseharian, kami menemukan jerat yang sering dianggap mainan.”

“Jadi, tidak cukup patroli, kami harus memberikan pendidikan kepada anak-anak, yang kemudian dinamakan Pendidikan Konservasi Tangkoko.”

Victor Wodi, koordinator lokal PKT, mengatakan, di luar kelas, ada dua lokasi belajar, Taman Wisata Alam Batuputih dan PPST.

Di PPST, siswa melihat begitu banyak perdagangan satwa di Indonesia.

“Kampanye pada anak-anak memiliki nilai lebih, meski harus menunggu hasil bertahun-tahun. Setidaknya, para siswa bisa mulai berbagi pada keluarga masing-masing, sebelum mereka dewasa.”

Norma, pendamping siswa SDN Sagerat, membenarkan, belajar di hutan memiliki manfaat lebih. Para siswa bisa menyaksikan obyek yang dipelajari. “Mereka bisa melihat langsung dan lebih memahami. Tidak hanya menerka dan membayangkan,” ucap Norma.

Siswa juga  mendapat penjelasan lebih mengenai larangan membuang sampah sembarangan di hutan. “Pola pendidikan ini sangat penting. Siswa mengetahui membuang sampah di hutan dan menebang pohon dapat memberi dampak negatif bagi kehidupan satwa.”

Para siswa kala belajar di lapangan. Mereka datang ke Taman Wisata Batuputih, dan melihat langsung yaki. Foto: Themmy Doaly
Para siswa kala belajar di lapangan. Mereka datang ke Taman Wisata Batuputih, dan melihat langsung yaki. Foto: Themmy Doaly
Selain belajar, di lapangan itu mereka juga mengumpulkan sampah yang mereka temui dalam perjalanan. Foto: Themmy Doaly
Selain belajar, di lapangan itu mereka juga mengumpulkan sampah yang mereka temui dalam perjalanan. Foto: Themmy Doaly
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,