Sejumlah lembaga nonpemerintah di Palembang, berencana menyurati Menteri Kehutanan, guna mempertanyakan status penunjukan Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin. Sebab, wilayah ini tidak layak disebut hutan margasatwa. Mengapa? Di sana tidak lagi ditemukan satwa liar, seperti harimau Sumatera, gajah, beruang madu, hutan juga habis oleh illegal logging dan dugaan akan ada eksplorasi minyak bumi.
Beberapa lembaga yang akan menyurati Kementerian Kehutanan yakni AMAN Sumsel, Walhi Sumsel, Spora, Sarekat Hijau Indonesia (SHI), dan Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI).
SM Dangku di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumsel. Kawasan ini sekitar 150 kilometer dari Palembang, memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menhut Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut 1986, menyebutkan luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar.
“Ternyata dari dua surat itu belum menetapkan Dangku sebagai hutan margasatwa, baru penunjukan. Berdasarkan Keputusan MK No.46, ada tiga tahapan hutan ditetapkan status, yakni, penunjukan, peletakan tata batas, serta penetapan atau pengukuhan,” kata Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Sabtu (21/6/14).
Menurut dia, sebaiknya Dangku bisa dimanfaatkan masyarakat seperti saat ini, untuk perkebunan karet, dan penanaman palawija. “Ini tidak seganas illegal logging, perkebunan sawit, dan penambangan migas, yang dengan cepat merusak hutan.”
Terlebih, lahan itu tanah adat yang diakui Mahkamah Konstitusi No.35. “Jika masyarakat bisa memanfaatkan hutan dengan tetap menjaga alam, kemiskinan di pedesaan akan menurun,” kata Mualimin.
Eksplorasi Migas
Ada kecurigaan, ngototnya Kemenhut mempertahankan Dangku sebagai suaka margasatwa, sebagai upaya mengusir ribuan masyarakat yang menetap dan berkebun. Termasuk, penangkapan enam petani atau masyarakat adat, yang kini ditahan di Mapolda Sumsel, sebagai tersangka perambahan hutan di Dangku.
“Jika masyarakat terusir dari Dangku, mereka dapat mudah mengalihfungsikan sejumlah lokasi untuk kepentingan ekonomi, seperti eksplorasi migas.”
Dikutip dari buku Konsep Menuju Pembangunan Kawasan Esensial Koridor Satwa: Kawasan Hutan Harapan-Suaka Margasatwa Dangku Sumsel yang diterbitkan Dinas Kehutanan Sumsel, 2013, penggunaan lahan di lansekap Dangku HTI, perkebunan sawit, eksplorasi migas dan batubara, serta sebagian kecil pemukiman penduduk. Perusahaan migas di sekitar Dangku yakni ConocoPhillip, dua HTI, empat perusahaan sawit.
Sedang warga di sekitar lansekap Dangku menetap di 15 desa. Kelimabelas desa itu Peninggalan, Simpang Tungkal, Pangkalan Tungkal, Berlian Jaya, Tampang Baru masuk Kecamatan Bayung Lencir. Lalu Desa Pangkalan Bulian, Lubuk Bintialo, Bukit Pangkuasan, Bukit Sejahtera, Bukit Selabu, Saud, Talang Buluh, dan Sako Suban yang masuk Kecamatan Batanghari Leko. Ditambah Desa Macang Sakti dari Kecamatan Sanga Desa dan Desa Dawas dari Kecamatan Keluang.
Keberadaan perusahaan-perusahaan dan pemukiman penduduk, dinilai berpotensi melahirkan konflik kepentingan ekonomi dengan konservasi. Sebab, mereka langsung maupun tidak langsung mendorong kepunahan keragamanhayati di Dangku, seperti fragmentasi, pemburuan liar, illegal logging, dan kebakaran hutan.
Sekitar 20 ribu hektar lahan di Dangku hutan adat marga Tungkalulu. Marga Tungkalulu terbentuk 1926, kali pertama dipimpin pesirah Bahmat alias Badui. Saat marga terbentuk mereka menjadikan Dangku sebagai tanah adat, sebagai sumber kehidupan dari bertani. Luas hutan adat mencapai 160 kilometer persegi.
Di Dangku terdapat tujuh sungai, yakni, Tungkal, Jerangkang, Petaling, Petai, Dawas, Biduk dan Sungai Lilin. Di sana, ada sejumlah flora endemik seperti meranti, merawan, medang, manggeris, jelutung, balam, tembesu dan merbau. Lahan ini juga habitat harimau Sumatera, gajah, rusa, tapir, trenggiling, kera ekor panjang, landak, babi hutan dan beruang madu, serta burung seperti rangkong dan raja udang.
Kabupaten Musi Bayuasin seluas 14.265,96 kilometer merupakan kawasan paling banyak perusahaan di Sumsel.
Data Walhi, ada 68 perusahaan mendapat kuasa penambangan batubara seluas 1.108.032 hektar di Musi Banyuasin. Puluhan perusahaan sawit, baik asing maupun nasional, mengusai sekitar 191.425 hektar. Perkebunan karet 4.148 hektar.
Perkebunan rakyat pun tumbuh di Musi Banyuasin. Sekitar 164.993 hektar karet, dan 22.195 hektar sawit. Namun, paling besar lahan dikuasai HTI. Ada sembilan HTI di Musi Banyuasin, di Sumsel 19 perusahaan.