,

Menggagas Bentuk Baru Hutan Jawa

Pengelolaan hutan di Jawa didominasi Perum Perhutani. Kondisi ini menimbulkan banyak konflik lahan dengan masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan. Untuk itu, perlu digagas kembali bentuk baru hutan Jawa yang memberikan keadilan warga dan ramah bagi lingkungan.

Sugeng, perwakilan petani Cilacap, mengatakan, lahan garapan pertanian sangat terbatas.  Dia sekeluarga hidup di tepian hutan dan perkebunan. “Waktu saya masih kecil, lahan pertanian ayah cukup untuk keluarga. Sekarang tidak. Warga di Cilacap rata-rata punya lahan garapan 0,4 hektar. Sebagian besar buruh tani,” katanya dalam diskusi dan launching roadmap “Rekonfigurasi Hutan Jawa” di Jakarta, Rabu (25/6/14).

Masyarakat Cilacap mulai menggarap lahan wilayah kelola Perhutani. Hal ini tak lepas dari sejarah nasionalisasi aset 1957,  banyak lahan petani masuk klaim Perhutani.

Masyarakat meskipun sudah tinggal turun menurun tetapi tak mempunyai sertifikat sah. “Dulu tak ada sertifikat, masyarakat juga tak bisa baca,” kata Sugeng.

Tanah diklaim kawasan hutan dan masuk wilayah Perhutani. Meskipun masyarakat mempunyai bukti-bukti penunjukan batas-batas kawasan, namun terkendala sertifikat tanah.

“Batas-batasnya ada, tetapi hingga kini pemerintah belum bisa menyelesaikan permasalahan ini.  Pasca nasionaliasi aset, ada kejadian G 30 S. Meskipun ada UU Pokok Agraria, UU itu dianggap produk PKI.”

Konflik lahan bertahun-tahun dan dibiarkan tanpa ada solusi tepat. Beberapa LSM tergabung dalam Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa) menggagas konfigurasi hutan Jawa.

“Hampir setengah penduduk Indonesia ada di Jawa, tapi 80 persen kawasan hutan dikuasai Perhutani dan terkesan monopolistik. Kebutuhan masyarakat bisa mengakses sumber daya hutan sangat besar. Terdapat 4.000 desa di kawasan hutan Perhutani.  Lonflik antara masyarakat dengan Perhutani tinggi karena ketidakpastian hukum atas tanah warga,” kata Nurul Firmansyah, koordinator program Perkumpulan HuMa.

Untuk itu, katanya, paradigma pengelolaan hutan harus diubah. Tidak hanya menitikberatkan hasil kayu juga mempertimbangkan fungsi sosial dan budaya. Posisi masyarakat desa di sekitar kawasan hutan,  penting diperhatikan.

“Tata ulang persoalan tata kuasa atas lahan hutan Jawa mendesak, mengingat dalam satu dekade banyak konflik lahan menimbulkan korban jiwa.”

Data HuMa, hingga 2013 terdapat 72 konflik kehutanan di Indonesia, 41 di hutan kelola Perhutani. Catatan ARuPA dan LBH Semarang, dalam satu dasawarsa terakhir Perhutani telah menganiaya, mencederai dan menembak sekitar 108 warga sekitar hutan. Sebanyak 34 orang tewas tertembak dan 74 luka-luka.  Sebagian besar diselesaikan tanpa proses hukum yang benar.

“Aspek legal, PP 72 tahun 2010 soal pengurusan hutan Jawa oleh Perhutani  harus dikaji kembali. Ini penting untuk pemnyelesaian konflik dan perusakan hutan. Dalam konteks Jawa, desa harus menjadi stakeholder sama dengan yang lain.”

Dia mengatakan, perlu dikembangkan pola pengelolaan hutan lebih inklusif dan mengedepankan aspek HAM. “Ini penting agar kriminalisasi bisa dihindarkan.”

Salah satu pool kayu di Perhutani Unit Kendal di Jawa Tengah. Foto: Aji Wihardandi

Aktivis Arupa, Ronald Ferdaus mengatakan, tata kelola hutan di Jawa, buruk, negara absen dan tidak pro aktif membantu warga  yang mengalami ketidakadilan dan kemiskinan kronis. Jadi, perlu rekonfigurasi hutan Jawa.

“Rekonfigurasi merupakan perubahan bentuk pengelolaan hutan Jawa yang lebih baik. Melestarikan hutan demi keseimbangan, dan memberikan lahan lebih luas untuk masyarakat.”

Rekonfigurasi bisa terwujud jika ada perubahan paradigma. Seharusnya hutan dimaknai utuh.  Tidak lagi terbagi-bagi berdasar fungsi seperti  hutan produksi, konservasi, lindung dan lain-lain. Perubahan paradigm harus tercipta dari tataran pengelola. Tidak lagi bisnis maupun pengusahaan lahan, tapi menjadi pengelolaan hutan.

“Beda antara pengelolaan dan pengusahaan hutan. Kalau kita lihat sekarang,  galian C bisa masuk ke kawasan hutan. Perubahan tata kuasa penting untuk mendorong penyelesaian konflik tenurial. Data banyak tercecer. Pemerintah daerah harus lindungi masyarakat hukum adat. Tata batas juga penting diperhatikan,” kata Ronald.

Sandra Moniaga, komisoner Komnas HAM memberikan contoh beberapa daerah yang tumpang tindih dengan taman nasional. Keadaan ini menyebabkan konflik makin tinggi. Terutama dialami masyarakat adat.

“Salah satu contoh TN Halimun Salak. Ada Kasepuhan Citorek. Wilayah dalam taman nasional. Tumpang tindih. Sejak zaman Belanda wilayah ini sudah di-enclave. Jadi ada sawah masuk taman nasional. Mereka patuh membayar pajak,” kata Sandra.

Hal serupa terjadi pada masyarakat Kasepuhan Cibedug dan Cisiih. Mereka menganggap surat pembayaran pajak sebagai bukti hak milik atas tanah mereka.

Sandra mengatakan, akar permasalahan berbagai konflik tenurial adalah warisan kolonialisme dan otoritarianisme. Hutan diterapkan oleh pemerintah kolonial yang  merupakan  agenda penjajah hingga bukan buat kesejahteraan masyarakat. Juga terdapat perbedaan persepsi tentang sejarah sistem penguasaan tanah masyarakat dan negara.  Keadaan ini, memperlihatkan ketiadaan dan kegagalan negara mengelola sumber daya alam.

“Bagi saya kondisi sekarang, apalagi di Jawa, banyak masyarakat miskin, tak ada pilihan lain, pengelolaan hutan harus berbasis masyarakat. Kiblatnya merujuk pada UU Perlindungan Lingkungan Hidup. Keadaan genting, tak bisa sektoral.”

Dia mengatakan, penyelesaian konflik tenurial harus melalui land reform yang komptrehensif. Kondisi di  Jawa , katanya, sebenarnya mudah karena banyak arsip nasional hingga bisa ditelusuri.

“Untuk tanah garapan, perlu ada redistribusi hak-hak tanah dengan konsep mengacu pada kelestarian. Pemenuhan kompensasi atas kerugian akibat pelanggaran HAM perlu dilakukan. Ini bisa membantu pengentasan kemiskinan. Seharusnya  rekonfigurasi tidak hanya di sektor hutan juga  lingkungan hidup di Jawa secara keseluruhan.”

Menanggapi berbagai komentar ini, kepala Pusat Perencanaan Sumberdaya Hutan Perhutani, Amirul Iman mengaku, Perhutani mengelola hutan untuk sebesar-besar buat kemakmuran rakyat.

“Ada 5.396  desa di sekitar hutan Perhutani. Itu menciptakan situasi politik, sosial, ekonomi yang spesifik. Kebutuhan masyarakat lahan pangan tinggi. Perhutani juga ingin menciptakan perusahaan sehat.”

Perhutani ingin mempertahankan luasan hutan 2,4 juta hektar, minimal 30 persen dari Jawa. “Konflik dengan masyarakat berupa sengketa hutan okupasi, perambahan harus segera diselesaikan. Sepanjang yang dituntut kawasan, Perhutani tak berwenang member hak. Sebab  perhutani operator bukan pembuat regulator.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,