PTPN Keera Ingkari Kesepakatan, Inilah Poin-poin Tuntutan Warga

Pagi itu, Kamis (26/6/14), sekitar pukul 10.00, ratusan warga dari 10 desa di Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan,  mendatangi kantor PTPN XIV Unit Keera. Mereka menuntut PTPN segera menyerahkan kembali lahan warga yang dikuasai selama 35 tahun, dan menindaklanjuti hasil kesepakatan bersama di Mapolda Sulselbar 2013.

Warga kesal karena ketidakjelasan nasib lahan yang diklaim PTPN XIV sejak puluhan tahun silam. Berbagai pertemuan antar warga dan PTPN sudah dilakukan, namun tak satupun kesepakatan ditindaklanjuti. Terakhir, adalah 30 April 2013, dimediasi Polda Sulselbar melibatkan berbagai pihak, termasuk warga, PTPN, Pangdam, BPN, Bupati Wajo dan sejumlah pihak lain. Seluruh kesepakatan belum juga dilaksanakan.

Pada aksi itu, warga menuntut beberapa hal, antara lain, mendesak Kementerian BUMN melalui PTPN segera menyerahkan lahan warga yang dikuasai selama sekitar 35 tahun melalui HGU. Padahal izin HGU berakhir sejak 2003.

Mereka menuntut produksi sawit di lahan eks HGU Keera segera dihentikan, karena perbuatan melawan hukum dan merugikan negara karena tidak terbebani pajak. Apalagi PTPN Keera masih ada tunggakan di Pajak Pratama Bone.

Kepada Bupati Wajo, menuntut segera mengeluarkan surat pelepasan eks HGU PTPN Keera seluas 1.934 hektar di Desa Ciromanie, Keera untuk diberikan kepada warga. Ini sesuai hasil kesepakatan Rakor di Mapolda Sulselbar dan kesepakatan bersama Pemda Wajo, PTPN XIV dan warga pada 23 April 2010.

Kepada Polda Sulsel, warga mendesak segera menarik Brimob yang selama ini mengamankan PTPN Keera.  “Kami juga meminta Polda menindak anggota Brimob yang meneror dan intimidasi serta menghalangi warga menggarap lahan serta merusak tanaman.”

Tuntan lain, meminta kepolisian mengawal hasil kesepakatan di Mapolda Sulselbar antara PTPN Keera dengan memberikan jaminan rasa aman terhadap warga yang menguasai dan mengelola lahan seluas 1.934 hektar eks HGU.

Rizki Angriani Arimbi, aktivis Walhi Sulsel mengatakan, pada pertemuan 30 April 2013, ada tiga kesepakatan. Pertama, PTPN Keera bersedia melepaskan lahan 1.934 hektar di Desa Ciromanie, Dusun Cenranae dan Dusun Bonto Mare’, kepada pemerintah Kabupaten Wajo.

Kedua, masyarakat Keera tetap boleh mengelola tanah seluas 1.934 hektar sambil menunggu pelepasan dari Kementerian BUMN dengan pangaturan lebih lanjut dilaksanakan Pemda Wajo. Masyarakat menjamin tidak akan menguasai lebih dari luas 1.934 hektar dan tidak akan mengganggu aktivitas PTPN Keera di atas lahan 6.000 hektar.

“Disepakati masyarakat Keera yang menduduki Mess PTPN Keera segera keluar meninggalkan lokasi setelah ditandatangani kesepakatan ini. Ini segera dilakukan warga.”

Kenyataan, sejak kesepakatan itu tak ada upaya PTPN dan pemerintah daerah. Warga bahkan tidak dibolehkan mengelola lahan yang berada dalam kawasan, bertentangan dengan hasil kesepakatan.

“Pada Desember 2013 seorang warga dipukuli Brimob. Tanaman mereka dicabuti. Mereka teror kepada warga.”

Suasana cukup panas karena sebagian warga membawa senjata tajam berupa parang dan sempat berhadap-hadapan dengan Brimob yang bersenjata lengkap.

Brimob yang berjaga-jaga kala aksi warga di PTPN Keera, 26 Juni 2014. Foto: Wahyu Chandra
Brimob yang berjaga-jaga kala aksi warga di PTPN Keera, 26 Juni 2014. Foto: Wahyu Chandra

Massa dari berbagai penjuru ini sebelumnya berkumpul di kantor PTPN. Mereka datang dengan mobil, motor dan berjalan kaki.

Setelah perdebatan cukup alot akhirnya disepakati 20 perwakilan boleh masuk. Di kantor PTPN warga sempat kecewa, karena yang menerima bukan direksi tetapi diwakilkan manager, Andi Artawati, dan sejumlah staf senior PTPN.

Artawati mengatakan, tuntutan warga kepada PTPN salah sasaran karena posisi mereka hanya pembantu. “Kalau diibaratkan pembantu, kami hanya pembantu Kementerian BUMN. Kalau ada yang masuk ke rumah kami mau minta barang, kalau yang punya rumah tidak mengizinkan, saya tidak berhak memberi.”

PTPN juga membantah jika selama ini melarang warga mengelola kebun dalam klaim PTPN.

“Sudah banyak berkebun, mereka bisa naik haji, beli motor. Kami mempersilakan siapa saja berkebun dengan catatan mendaftarkan nama, dan tunjukkan kalau masih ada areal yang bisa berkebun,” kata Salam Rajab, asisten manager PTPN Keera.

Pada Mei 2014, sejumlah warga sempat bertemu Menteri BUMN, Dahlan Iskan, di Jakarta. Dahlan menyarankan warga meminta tanggapan hukum dari ketua Pengadilan Negeri Wajo sebagai langkah awal. Rizki memperkirakan, saran itu sebagai upaya menggiring kasus ini ke ranah hukum, dimana posisi warga lemah.

Kasus ini berawal ketika PTPN Keera– sebelumnya PT. Bina Mulia Ternak (BMT)– masuk ke Kecamatan Pitumpanua, sekarang Kecamatan Keera.

Pada 1973, BMT memperluas wilayah menguasai Kecamatan Maniangpajo, sekarang Kecamatan Gilireng. Perluasan lahan perusahaan, tak ada ganti rugi. HGU BMT 25 tahun meliputi Pitumpanua dan Maniangpajo, Wajo seluas 12.170 hektar.

Lahan masyarakat yang menjadi HGU itu sudha ditempati warga turun menurun. Di sana ada kampung tua, bekas kebun-kebun masyarakat, kuburan tua dan tanaman jangka panjang.

Pengalihan HGU BMT ke PTPN Keera tidak diketahui masyarakat. Luas lahan masyarakat dikuasai PTPN 7.934 hektar, di Desa Ciromanie dan Desa Awo Kecamatan Keera.

Aksi ini mendapat dukungan dari berbagai NGO yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria. Mereka ini antara lain Walhi Sulsel, LBH Makassar, dan KontraS Sulawesi. Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat Makassar, Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi. Lalu, Lembaga Swara Lingkungan (eSeL) Makassar, KPA Sulsel, Jurnal Celebes, Sawit Watch dan AMAN Sulsel.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,