Tidak pas rasanya membicarakan burung Sulawesi tanpa membicarakan maleo, seperti tidak sah pengamatan burung di Sulawesi tanpa melihat maleo. Karena maleo identik dengan ekosistem wallacea Sulawesi dan Sulawesi identik dengan maleo.
Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) adalah salah satu jenis burung endemik Sulawesi yang sangat melegenda, yang tersebar di seluruh Pulau Sulawesi (kecuali semenanjung selatan) dan Pulau Buton. Burung ini dikenal dengan nama beragam di tiap daerah, seperti senkawor (Minahasa), tuanggoi (Bolaang Mongondow), bagoho atau panua (Gorontalo) dan sebagainya.
Burung ini termasuk dalam suku Megapodiidae, suku yang tersebar di Indo-Australia dan kepulauan-kepulauan Pasifik. Maleo adalah satu-satunya jenis dalam marga Macrocephalon. Macrocephalon sendiri berasal dari kata Yunani makrocephalos yang berarti kepala besar. Nama ini diberikan karena memang bentuk kepala maleo sedikit aneh dibandingkan kepala burung lain, ada tonjolan besar mirip konde yang menjulang di bagian belakang kepala.
Postur maleo tegap dengan corak hitam di bagian perut dan putih bersih atau berona merah jambu di dada. Sementara kakinya besar dan kokoh digunakan untuk menggali tanah. Seperti halnya anggota suku Megapodiidae yang lain, burung ini bertelur di dalam pasir yang hangat atau tanah yang dekat sumber panas bumi. Biasanya, maleo terbang menuju lokasi bertelurnya (nesting ground) berpasang-pasangan di pagi hari.
Secara bergantian, pasangan tersebut akan membongkar tanah, pasir, dan kerikirl, hingga terbentuk sebuah lubang besar dengan diameter sekitar setengah meter. Sang betina kemudian akan diam sejenak di dalam lubang untuk bertelur. Sementara sang jantan hilir mudik mengitari lubang dengan berusaha menjulur-julurkan lehernya, waspada terhadap segala bahaya.
Ketika sang betina keluar, mereka kembali bergantian menutup lubang. Sambil menimbun, sesekali mereka seperti berlari-lari kecil di atas timbunan untuk memadatkan tanah. Selanjutnya pasangan burung itu kembali menimbun dan memadatkan tanah hingga mereka rasa cukup. Artinya, permukaan tanah tak harus rata seperti sedia kala. Selesai melaksanakan tugasnya, pasangan itu kembali ke hutan sementara sang telur memulai perjuangannya sendiri.
Si Piyik Harus Berjuang Sendiri
Maleo tidak pernah mengerami telurnya sendiri, mungkin karena ukuran telurnya yang super besar. Telur maleo setara dengan 4-5 kali bobot telur ayam kampung dan dapat mencapai 10-17 persen dari induk betinanya. Lazimnya telur berbentuk oval dan cokelat pucat, dengan persentase kuning telur sekitar 60 persen. Dalam kesunyian gelap, berteman pasir hangat 32-35 derajat celcius, sang anak burung berkembang dalam eraman alam. Sementara sang induk pergi entah ke mana dan tak akan pernah dia kenal lagi. Dalam setahun diperkirakan maleo bertelur sekitar 10 kali.
Sekitar 60 hari kemudian, anak maleo sudah terbentuk sempurna di dalam cangkang. Dengan posisi sungsang, kaki menghadap ke atas, sang piyik akan menghancurkan cangkang lalu menerjang timbunan tanah atau pasir di atasnya. Perjuangan mencapai permukaan itu berlangsung seharian, bahkan bisa sampai dua hari.
Tepat sebelum mencapai permukaan, sang piyik akan memutar posisinya hingga kepala berada di atas sehingga saat muncul di permukaan tanah kepalanya akan timbul terlebih dahulu. Itu pun jika beruntung, namun jika sial ia akan kehabisan tenaga di tengah jalan gelapnya ataupun terjerat akar liar, sehingga akan mati terkubur hidup-hidup.
Ketika kepala sang piyik muncul ke permukaan, biasanya dia akan diam sejenak. Perlahan mengeluarkan seluruh tubuhnya dari timbunan tanah, mengambil nafas dalam-dalam untuk melancarkan seluruh peredaran darahnya dan mengembangkan seluruh organ-organnya, seperti layaknya kupu-kupu baru keluar dari kepompong. Setelah itu sang anak langsung terbang, mencari dahan-dahan terpendek yang ada.
Ancaman Kepunahan Menghantui
Namun demikian, banyak ancaman yang menanti kehidupan maleo. Pencurian telur oleh manusia atau biawak air Varanus salvator juga kerap terjadi. Belum lagi jika suhu tanah berubah dalam kisaran yang drastis akibat cuaca tak menentu maka telur akan busuk.
Selain kehabisan tenaga atau tersangkut akar liar selama perjalanan ke permukaan tanah, anak maleo yang baru menetas pun dapat menjadi sasaran empuk diganyang tikus tanah sebelum sempat melihat matahari terbit. Setelah selamat sampai permukaan pun tidak berarti aman sepenuhnya. Kali ini anjing kampung (jika nesting-ground dekat dengan pemukiman) maupun biawak siap memangsa.
Ancaman habitat untuk kelestarian maleo juga tak kalah besarnya. Berubah dan terganggunya fungsi lahan pada lokasi peneluran dapat menyebabkan maleo enggan bertelur di lokasi itu lagi. Belum lagi jika koridor antara hutan dan lokasi peneluran, -yang harusnya tetap berupa hutan-, terputus. Saat ini banyak lokasi peneluran maleo yang berada di pantai terputus koridornya dengan hutan utama karena adanya permukiman, kebun, bahkan jalan raya. Hilangnya hutan sebagai habitat utama mereka juga jelas akan menggangu kelangsungan hidup mereka.
Saat ini BirdLife International memperkirakan hanya tersisa 8.000—14.000 individu maleo dewasa di alam, dengan kecenderungan populasi yang menurun. IUCN menggolongkan jenis ini dalam kategori Genting (endangered).
Beberapa lokasi peneluran sudah benar-benar ditinggalkan maleo sementara di beberapa lokasi punah secara lokal. Usaha penangkaran pun belum ada yang dapat dikatakan sukses. Maka tanpa usaha keras melindungan habitat, koridor, lokasi peneluruan, individu, serta telur-telur mereka secara khusus, ancaman kepunahan makin mendekat.
Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia untuk bulan Juli 2014 ini, anda bisa mengunduh kalender digital untuk perkakas elektronik atau komputer anda. Tinggal klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda.