,

Ajakan Pilih Presiden Peduli Lingkungan Hidup dari Balik Jeruji

Namanya Muhammad Nur bin Jakfar. Dia tokoh adat marga Tungkalulu. Dia juga penggagas Dewan Petani Sumatera Selatan. Di usia 79 tahun, Nur harus mendekam di tahanan polisi atas tudingan perambahan di Suaka Margasatwa Dangku. Padahal, kawasan itu memang tempat hidup dia sejak dulu. Namun, Nur tak patah arang. Dia tetap bersemangat memperjuangkan hak masyarakat adat.

Menjelang  pilpres 9 Juli ini, dia menyerukan masyarakat adat, petani, buruh, miskin kota, akademisi, seniman, dan para penggiat lingkungan, memilih calon presiden yang peduli lingkungan hidup.

“Jangan pilih calon presiden pengusung konsep pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam,” katanya, di Mapolda Sumsel, Rabu (2/7/14).

Nur  mendekam di tahanan bersama lima petani lain. Menuut dia, jika memilih presiden tidak peduli lingkungan, ada dua hal harus dipertanggungjawabkan para pemilih.

Pertama, turut bertanggungjawab pada masa depan alam Indonesia yang rusak. Kedua, mempertanggungjawabkan dosa yang besar. Sebab, merusak alam merupakan perbuatan paling dibenci Tuhan. “Alam semesta diciptakan untuk semua umat manusia. Jika kita merusak alam, kita merampas hak manusia.”

Apa kriteria seorang calon presiden prolingkungan hidup? “Ya, bisa dilihat dari visi dan misi. Kalau visi dan misi berisi konsep pembangunan eksploitasi sumber daya alam jelas bukan calon yang harus didukung,” katanya. “Calon presiden yang memiliki visi dan misi berpihak pada alam, masyarakat adat, petani, buruh, wong miskin kota, harus dipilih dan wajib dimenangkan.”

Nur khawatir kondisi alam di Sumatera Selatan. Jika tidak segera diatasi, alam daerah ini akan habis oleh perusahaan perkebunan, pertambangan batubara, migas dan lain-lain.

“Saya melihat arah pembangunan Sumsel menjadi wilayah eksplorasi pertambangan, migas dan perkebunan sawit maupun HTI. Ini akan menyingkirkan masyarakat, terutama masyarakat adat dan petani.”

Berjuang sejak lama

Nur lahir di Desa Supat, Kecamatan Babat Supat, Kabupaten Muba, pada 8 Juni 1936. Dia bapak 10 anakdan telah memiliki delapan cucu.

Setamat SMA 1966. Pada 1967, Nur terpilih menjadi ketua Lembaga Sosial Desa (LSD) Marga Supat hingga 1974. Dia pun aktif sebagai jurutulis Marga Supat, dan menjadi wakil Pesirah Marga Supat.

Dia pernah menjalankan Program Pengembangan Persawahan Pasang Surut di Kecamatan Sungai Lilin (P4S) bersama Penggawo Pardi Dahlan. Pada 1980-1990 bekerja sebagai Tenaga Medis di Puskesmas Karya Maju (Betung Supat dan Desa Sumber Sari.

Nur memutuskan menjadi petani. Dia bergabung dengan organisasi Kesatuan Solidaritas Kesejahteraan Petani pada tahun 1996-2003. Pada 2005, Nur bergabung ke Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Pada 2007, dia terpilih menjadi Dewan Nasional AMAN Regional Sumatera periode 2007-2012.

Pada 2012, dia membentuk Dewan Petani Sumatera Selatan (DPSS). Dia juga Dewan Penasehat Komunitas Masyarakat Adat Tungkalulu, dan sesepuh masyarakat adat di Muba.

Dia dikenal sebagai tokoh yang banyak membantu dan memperjuangkan hak-hak adat dan petani atas tanah. Tak heran pada 2004, dia ditahan Mapolda Sumsel 14 hari, karena memperjuangkan tanah masyarakat adat Tungkalulu di Desa Belido Talang Gersik, Desa Simpang Tungkal. Tuduhannya, merambah kawasan hutan.

Pada 11 Juni 2014, Nur kembali ditahan di Mapolda Sumsel, karena memperjuangkan lahan adat dan petani marga Dawas, Tungkalulu dan Pinggap. Bersama lima petani lain, Nur dituduh merambah kawasan hutan adat yang diklaim pemerintah sebagai hutan Margasatwa Dangku.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,