El Nino diperkirakan akan melanda Kaltim bulan Juli-Agustus dan dampaknya akan dirasakan Oktober-November tahun ini. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Goefisika (BMKG) Samarinda memperkirakan intensitasnya akan lemah (weak El Nino) dan tidak akan terjadi menyeluruh di seluruh Kaltim.
Sementara itu, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Dr Fadjar Pambudhi mengatakan, dari berbagai analisa dan pernyataan yang dilakukan lembaga klimatologi dunia, sekitar 60-70 persen ahli dan lembaga-lembaga itu menyimpulkan akan terjadi El Nino sedang (moderate El Nino) di Indonesia.
El Nino adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya. Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut.
Menghadapi itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim Ir Wahyu Widhi mengusulkan pertemuan rutin setiap bulannya bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan pencegahan, penanggulangan dan pengendalian dampak dari El Nino itu. “Kami siap menjadi tuan rumahnya,” kata Widhi dalam kegiatan Semiloka Rencana Operasional Pencegahan Dampak El Nino Akibat Perubahan Iklim yang diselenggarakan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim di Hotel Aston Samarinda, Rabu (2/7/14).
Pertemuan itu diharapkan menjadi sarana tukar menukar informasi dan koordinasi menghadapi El Nino. Fenomena El Nino memang merupakan mimpi buruk bagi Kaltim. Provinsi ini pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan yang sangat hebat pada tahun 1982/1983 akibat kemarau panjang 11 bulan, dan 1997/1998 akibat kemarau 9 bulan saat El Nino melanda.
Namun, Kepala Unit Pelaksana Tugas Daerah (UPTD) Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Kaltim Edy Yudsar mengatakan jumlah titik api (hot spot) di Kaltim cenderung menurun dalam 10 tahun terakhir. Jumlah titip api tahun ini mencapai 399 titik api di mana 166 titik api terbanyak muncul di bulan Maret dan cenderung menurun hingga bulan Juni yang mencapai 21 titik api. Edy mengatakan pihaknya melibatkan para pemegang konsesi baik HPH, HTI, tambang dan sawit untuk turut serta memonitor perkembangan titik api.
Jika mereka menemukan titik api di satelit, pihaknya kemudian mengontak pemegang konsesi di mana titik api itu berada dan meminta mereka untuk melakukan pengecekan ke lapangan (check ground) dan mengambil tindakan.
“Kami memiliki milis si pongi yang anggotanya para pemegang konsesi itu. Di milis ini kami menyebarkan informasi mengenai perkembangan titik api di Kaltim,” ucapnya. Yang menjadi persoalan jika titik api itu berada di luar wilayah konsesi, sebab mereka terkendala sarana dan prasana (sarpras) untuk melakukan pengecekan ke lapangan.
Direktur Yayasan Biosfer Manusia (Bioma) Akhmad Wijaya mengingatkan kerentanan terhadap El Nino akan semakin besar karena kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun. Ia menilai kerentanan itu semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya jumlah konsesi yang kadang melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran. Menurutnya, jika akar masalah yang menimbulkan kerentanan itu tidak diatasi, maka Kaltim akan mudah terkena bencana alam.
Sementara itu, Ketua Harian DDPI Kaltim Prof DR Daddy Ruhiyat mengatakan persiapan menghadapi El Nino kali ini sangatlah penting dalam konteks perubahan iklim. Hutan-hutan yang terbakar akan melepaskan emisi karbon ke atmosfer bumi.