Debat capres-cawapres putaran kelima menjadi penutup masa kampanye pemilihan presiden 2014. Debat capres terakhir yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Sabtu malam (05/07/2014) mengambil tema mengenai pangan, energi dan lingkungan hidup.
Dari debat tersebut, pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyoroti beberapa hal yang sama mengenai energi, misalnya perhatian besar terhadap energi terbarukan. Pengembangan dilakukan dengan cara riset dan memberikan insentif terhadap produksi energi terbarukan.
“Dalam bidang energi, meningkatkan produksi migas, mengurangi impor, penghematan dan diversifikasi energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan ,” kata cawapres dari pasangan nomer urut satu, Hatta Rajasa dalam pemaparan visi misi debat capres tersebut.
Dia mengatakan kunci dalam pengembangan energi terbarukan sebagai cara melakukan diversitas energi adalah dengan riset, insentif dan pola bisnis dengan mengembangkan feed in tariff. “Pengembangan energi terbarukan dimanapun di dunia, ada insentif dari pemerintah,” katanya.
Dengan kunci tersebut, Prabowo-Hatta menargetkan bauran energi mencapai lebih dari 25 persen pada tahun 2025.
Capres nomer urut dua, Jokowi juga mengatakan riset dan insentif sebagai kunci untuk pengembangan energi terbarukan. “Tetapi karena tidak ada riset yang baik, tidak ada insentif disitu, maka tidak ada yang mau masuk kesana. Pertamina juga harus buka pasar biofuel. Jangan sampai kita beri insentif untuk impor minyak tetapi tidakmemberikan insentif ke energi terbarukan yang dinikmati oleh masyarakat luas,” katanya.
Pengembangan energi terbarukan, dengan memanfaatkan lahan tak produktif untuk menanam tanaman penghasil energi, seperti sorgum. “Sebetulnya energi yang kita punyai sangat melimpah, baik minyak, gas dan panas bumi, dan juga energi terbarukan, banyak kesempatan yang bisa kita kelola,” kata mantan walikota Solo itu.
Hatta Rajasa juga menyoroti mengenai penataan ulang sektor energi. “Sambil menghormati kontrak liberal, tetap lakukan upaya renegosiasi agar sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketahanan energi juga dilakukan dengan meningkatkan cadangan minyak dengan melakukan eksplorasi dan pengembangan sumur tua minyak menggunakan tehnologi enhanced oil recovery, selain melakukan penghematan energi dengan mengurangi elastisitas energi dari 1,6 menjadi 0,8.
Sedangkan cawapres nomer urut dua, Jusuf Kalla mengatakan ketahanan energi dilakukan dengan berbagai cara seperti memperbaiki sistem dan bauran energi, melakukan konversi energi dari BBM ke BBG pada sistem transportasi nasional, memperbaiki transportasi umum dan meningkatkan kualitas energi terbarukan.
Jokowi menambahkan konversi energi ke BBG dilakukan dengan membangun infrastruktur pemipaan dari tempat produksi ke konsumen seperti industri dan perumahan. “Pemipaan bisa dilakukan selama tiga tahun,” katanya.
Terkait dengan efisiensi energi, Jokowi mengatakan pembenahan sektor transportasi umum di seluruh kota di Indonesia menjadi suatu keharusan sebagai cara penggunaan energi yang efisien.
Pada sesi akhir debat, Hatta Rajasa mengajukan pertanyaan kepada Jusuf Kalla mengenai mafia migas. “Setujukah bapak bahwa setiap perpanjangan kontrak? Banyak sekali perpanjangan merugikan kita, contoh freeport dan banyak kontrak migas lain. Lakukan investigasi perpanjangan kontrak?”
“Saya sangat setuju untuk dibuat investigasi. Coba lihat sejarah Freeport, siapa yang punya saham Freeport? Kemana saham Newmont? Dulu nasional, sekarang siapa? Saya setuju untuk investigasi,” jawab JK. Jokowi menambahkan investigasi sektor migas perlu dilakukan, untuk menghilangkan kelompok kepentingan alias migas.
Menanggapi debat capres tersebut, Greenpeace mengapresiasi fokus kedua pasangan yang menitikberatkan pada diversifikasi energi dari sektor energi baru terbarukan (EBT). Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menilai pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa telah menjabarkan langkah peningkatan Energi Baru-Terbarukan (EBT) yang konkrit melalui insentif dan sistem feed in tariff, dan target yang jelas, yaitu lebih dari 25% pada 2030. Namun pasangan ini juga masih memprogramkan peningkatan eksplorasi minyak, serta energi fosil lain.
Sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla ingin mengurangi ketergantungan terhadap BBM dengan perbaikan transportasi masal khususnya di kota-kota besar yang menjadi salah satu solusi untuk melakukan efisiensi penggunaan energi dan subsidi, namun titik berat terhadap pengembangan energi fosil (gas, minyak bumi) terlihat masih dominan.
“Keduanya belum menggambarkan implementasi sinergi antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Jokowi-Hatta belum melakukan penjabaran teknis tentang pembangunan rendah karbon yang seharusnya bisa menjadi prioritas baru untuk pembangunan ekonomi Indonesia masa depan. Prabowo-Hatta hanya melihat masalah ini dari segi pertumbuhan penduduk, tetapi masih belum menyoroti bahwa over eksploitasi SDA Indonesia secara besar-besaran adalah penyumbang utama kerusakan alam Indonesia,” tambah Hindun.