Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Indonesia Climate Change Center (ICCC) mengadakan dialog bersama tim sukses capres-cawapres tentang isu lingkungan hidup. Dialog yang digelar di Gedung BPPT, Jakarta Pusat pada Jumat (04/07/2014) menghadirkan Ketua Partai Gerindra, Suhardi dan Arief Budimanta dari Tim Sukses Jokowi – Jusuf Kalla.
Dalam dialog tersebut, tim sukses capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kalla diberi kesempatan memaparkan visi misi lingkungan hidup mereka. Dalam dialog tersebut, isu lingkungan hidup termasuk perubahan iklim memang telah disebutkan secara eksplisit, akan tetapi masih mengkhawatirkan dan belum menyakinkan bagi para aktivis dan pemerhati masalah lingkungan hidup.
Suhardi menjelaskan bahwa Prabowo-Hatta akan mengoptimalkan penggunaan lahan pada 77 juta hektar hutan yang telah rusak. Dia mengatakan bahwa kerusakan hutan dan bencana saling berpengaruh. “Setiap pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, tingkat kerusakan hutan makin parah. Jadi biaya pileg dan pilpres itu dari alam,” katanya.
Prabowo-Hatta bakal meneruskan moratorium izin kehutanan, sambil berusaha untuk menanami kembali areal hutan yang rusak. “Negara yang kaya harus mau menanam hutan,” katanya.
Suhardi menyoroti 10 juta hektar luas pantai di Indonesia yang bisa digunakan untuk mengurangi bencana dan perubahan iklim, dengan cara menanami dengan tanaman pangan.
Sementara pada isu energi, baik Prabowo-Hatta maupuan Jokowi-JK bakal membangun transportasi massal untuk mengefektifkan penggunaan energi.
Arif Budimanta mengatakan Jokowi-JK berkomitmen untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. “Jokowi-JK mempunyai visi misi dengan tema jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian,” katanya.
Dia melihat pemenuhan komitmen global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca perlu keteladanan. “Ketiadaan keteledanan membuat keruntuhan kewibawaan bangsa. Lifestyle butuh keteladanan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Bustar Maitar melihat tidak ada hal kongkrit dari visi misi lingkungan dua capres tersebut. Dia menyoroti tidak adanya kejelasan mengenai isu hutan dalam visi misi capres.
“Pertanyaan besar soal hutan adalah apakah moratorium dilanjutkan atau dihentikan. Bagaimana nasib 65 juta hektar hutan dan 15 juta lahan gambut? Karena bila kita membicarakan emisi gas rumah kaca, 80 persen berasal dari deforestasi hutan. Dan penyumbang emisi terbesar dari sektor hutan adalah dari lahan gambut,” jelas Bustar.
Dia juga tidak melihat bagaimana visi misi capres mengenai tata kelola hutan yang sangat penting dalam sektor kehutanan Indonesia. “Tata kelola hutan sama sekali tidak disebutkan,” katanya.
Sementara, mantan Sekretaris Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Ismid Hadad mengapresiasi visi misi capres. “Visi misi capres tentang perubahan iklim sudah lumayan,” katanya.
Dia menjelaskan bicara ada tiga aspek dalam membicarakan tentang perubahan iklim yaitu komitmen, kebijakan dan kelembagaan.
“Karena perubahan iklim itu externally driven, maka kita didorong harus berbuat sesuatu yaitu dengan komitmen. Komitmen harus bisa diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan. Kebijakan akan dikerjakan oleh lembaga yang ada. Harus ada kewenangan yang besar bagi lembaga yang mengurusi perubahan iklim,” katanya.
Sedangkan dalam sambutannya, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar mengatakan pihaknya merasa perlu mengadakan acara diskusi bersama tim sukses pasangan capres karena merasa dalam acara debat capres oleh KPU, isu lingkungan hidup dan perubahan iklim tidak terlihat.
“Dialog ini bisa memperjelas bagaimana isu lingkungan dan perubahan iklim bagi presiden baru pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Dialog ini dapat membantu kita memahami pembangunan di masa depan. Agenda masing-masing capres tidka hanya sebagai pelengkap tetapi jadi pedoman ke arah yang lebih baik yaitu pembangunan yang rendah emisi,” kata Rachmat.