Debat terakhir capres dan cawapres pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan tema pangan, energi dan lingkungan, Sabtu malam (5/7/14), berlangsung paling menarik.
Meskipun di awal-awal dua pasangan masih berbicara lebih ke kampanye, namun makin ke belakangan debat makin panas. Dari uraian dalam debat ini, soal krisis lingkungan dan kerusakan hutan, pasangan Jokowi-JK tampak lebih menguasai. Kalangan aktivis lingkungan menilai, kesalahan fatal dari kubu Prabowo, kala capres ini mengisyaratkan penyebab kerusakan lingkungan adalah warga.
Untuk isu lingkungan , dari pasangan Prabowo Hatta, Hatta mengawali penjabaran visi misi. Menurut dia, pangan, energi dan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. “Tanpa lingkungan baik sulit mengembangkan sektor pangan dan energi,” katanya.
Menurut dia, peningkatan lingkungan hidup lewat pembangunan berkelanjutan, mengarahkan kebijakan dengan mengatasi perubahan iklim global (global climate change), konservasi agar ekosistem tetap terpelihara dan terjaga, mengatasi dan meningkatkan kualitas air, udara dan tanah. Lalu prinsip-prinsip dasar konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep pembangunan pasca MDGs.
“Lingkungan hidup bukanlah suatu warisan tapi titipan generasi kedepan yang harus dijaga. Tingkatkan kualitas lingkungan agar generasi mendatang hidup lebih baik,” begitu dia mengkampanyekan visi misi.
Dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, Kalla mengawali perlunya lingkungan yang baik. “Lingkungan hidup suatu hal kebutuhan pokok.”
Dia mengatakan, hutan Indonesia harus diperbaiki, tiap tahun sekitar 2 juta hektar. Juga memperbaiki kota, dan sungai. “Itu penting yang harus dilakukan, itu urgen.”
Pada segmen ketiga, moderator menanyakan bagaimana strategi Jokowi-JK dalam menyerasikan pertumbuhan ekonomi, keadilan aspek sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Jawaban Jokowi jelas, harus ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, hajat hidup orang banyak dan lingkungan hidup.” “Ketiganya harus berjalan paralel beriringan hingga diperoleh kemanfaatan yang melestarikan, bukan hanya urusan ekonomi, tetapi pelestarian lingkungan hidup tetap bisa dijaga.”
Menurut Jokowi, jangan ada yang dinomorsatukan, semua harus berjalan paralel. “Sekarang ini, hutan kita rusak, daerah aliran sungai rusak, terumbu karang di pantai juga rusak. Kita terlalu mengejar ekonomi tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup.”
Lingkungan hidup, katanya, akan berikan ke anak cucu. “Jadi, tidak bisa lagi berteori, dan tidak usah menyampaikan hal yang muluk-muluk. Apa yang harus kita kerjakan, apa yang kita ketahui harus segera kerjakan. Segera implementasikan. Paling penting melaksanakan”
Kalla menambahkan, antara ekonomi dan lingkungan yang bisa menyesuaikan itu teknologi. “Misal, padi satu hektar 5,5 ton per hektar dengan teknologi bisa ditingkatkan 6-7 ton per hektar. Jadi tak perlu tambah lahan. Begitu juga sawit. Harus lebih baik produktif, dengan lingkungan hidup terjaga, sungai terjaga. Teknologi yang jadi inti.”
Sedangkan dari Prabowo, melihat kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab adalah warga hingga strategi yang ditawarkan pun pendidikan kepada penduduk.
Menurut Prabowo, masalah kerusakan lingkungan, tidak lain karena oleh daya dukung bumi. Daya dukung wilayah teritorial sudah sangat berat menampung ledakan penduduk. Indonesia, tiap tahun harus menerima tambahan 5 juta warga baru. “Kita harus suapkan makan, semua fasilitas yang dibutuhkan warga negara. Ini yang mempercepat kerusakan lingkungan.”
Menurut dia, regulasi atau pengawasan juga kurang, hingga mempercepat kerusakan lingkungan. “Dilema bagi kita, kalau tidak mempercepat pertumbuhan, bagaimana menciptakan lapangan kerja?”
Menyelaraskan antara pertumbuhan dengan lingkungan, kata Prabowo lewat strategi banyak jalur. Jalur yang disebut antara lain, pendidikan. “Kita tanamkan pengertian dari rakyat kita tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan butuhnya kita menjaga lingkungan. Tidak bisa tidak, kita harus kejar petumbuhan eknomi, tetapi pendidikan kita dorong. Dari dua ini, jalur pembangunan kita gunakan, baru akan dicapai suatu keseimbangan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tapi juga keseimbangan menjaga lingkungan.”
Hatta menambahkan, pembangunan ekonomi berkelanjutan harus dijalankan dengan baik.
Lalu pada segmen keempat, Hatta mengajukan pertanyaan tentang efektivitas Protokol Kyoto dan bagaimana mengatasi gas rumah kaca.
Walau sempat keseleo mengatakan Protokol Kyoto menjadi Tokyo Protokol, Kalla lumayan lancar menjawab pertanyaan, meskipun terkesan hanya bicara dana karbon.
Indonesia, katanya, merupakan pendukung utama Protokol Kyoto, tetapi dunia harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Indonesia, katanya protes kepada Amerika yang tidak mau mengikuti Protokol Kyoto. Sedang Indonesia, sudah membuat Badan REDD+.
Protokol Kyoto, sangat lambat, karena negara industri tidak melakukan dengan baik. “Karbon kredit tidak baik, insentif terhadap hutan juga tidak jalan, Norwegia janjikan US$1 juta, tapi belum merealisasikan.”
Penghargaan lingkungan
Pada segmen kelima Hatta mengajukan pertanyaan mengenai penghargaan tertinggi Kalpataru yang diberikan pemerintah Indonesia sebagai perwujudan lingkungan hidup yang bersih. Dia menanyakan seberapa jauh pandangan Jokowi terhadap Kalpataru ini? Bagaimana upaya mencapai itu?
Jokowi menanggapi dengan cukup baik. Kata Jokowi, penghargaan Kalpataru itu sangat baik, diberikan kepada perseorangan maupun lembaga. Namun, katanya, akan lebih bagus jika diberikan tidak hanya dalam bentuk piala, tetapi juga insentif dan dana. “Agar apa yang mereka kerjakan bisa lebih baik lagi. Dengan insentif anggaran bisa bekerja lebih baik lagi, misal membersihkan sungai lebih baik, memperbaiki desa.”
Hatta menanggapi balik. Dan ini jadi bumerang bagi Hatta.
“Bentuk penghargaan apa dalam bentuk piala, bukan sesuatu prinsip, yang penting adalah penghargaan, refleksi keberhasilan kota bersih hijau dan sehat. Mengapa DKI sekarang tidak dapat? Solo belum pernah dapat?
Kalla menanggapi. Jawaban Kalla mungkin mengejutkan Hatta.
“Pertanyaan bagus, tapi keliru. Kota itu dapat Adipura, bukan Kalpataru, hingga tidak perlu saya jawab.”
Jokowi menambahkan, Kota Solo pernah mendapatkan penghargaan Green City.
Tekan deforestasi
Giliran Jokowi bertanya. Dia bertanya tentang strategi menekan laju deforestasi. “Indonesia, saat ini dihadapkan pada bencana ekologis, salah satu karena kerusakan hutan. Laju deforestasi tertinggi di dunia. Bagaimana strategi menghentikan laju deforestasi?”
Prabowo menjawab dan konsisten seperti jawaban sebelumnya, dengan penekanan kerusakan hutan itu karena aktivitas warga.
Menurut Prabowo, menekan laju deforestasi itu masalah sangat mendesak. Dia mengusung strategi mengikutsertakan masyarakat, rakyat yang tinggal di hutan dan pinggir hutan, dengan memberdayakan melalui kelompok petani hutan. “Pemberdayaan ekonomi, sekaligus beri pengharapan hidup hingga mereka tidak merambah hutan.”
Juga harus ada pengawasan dengan menggunakan satelit, hingga bisa memonitor illegal logging, dan penambangan liar. “Sanksi keras kepada perusahaan yang melanggar tata kelola hutan. Aparat penegak hukum harus kita tatar kembali supaya mereka turut jaga hutan. Hutan harus kita jaga bersama, harus ada intervensi pemerintah untuk benahi lingkungan hidup dan hutan kita.”
Jokowi balik menanggapi dengan lebih kongkrit. Dia mengemukakan, carut marut sektor kehutanan karena penyusunan tata ruang belum selesai. “Tata ruang kita sebetulnya hampir selesai, dan harus segera diselesaikan, hingga jelas, mana hutan lindung, mana hutan produksi, mana hutan alami.”
Dia juga mengemukan, mengenai kebijakan satu peta (one map policy) yang belum dimiliki Indonesia hingga terjadi tumpang tindih. “Ada hutan lindung diberikan konsesi untuk produksi. Kekeliruan ini disebabkan belum ada kebijakan satu peta.”
Jokowi mencontohkan, Kalimantan, ada 753 kasus dalam satu provinsi karena tumpang tindih antara tambang dan hutan lindung, antara perkebunan dan hutan lindung. “Kalau tidak diselesaikan, hutan kita mulai digerus untuk kepentingan-kepentingan lain. One map policy selesai, saya menyakini kerusakan hutan bisa diselesaikan.”
Tanggapan aktivis lingkungan
Menanggapi debat capres soal isu lingkungan ini, Rida Saleh, aktivis lingkungan mengapresiasi jawaban mengenai kerusakan lingkungan dari Jokowi. “Baik sekali Jokowi menjelaskan.”
Sedang Prabowo, katanya, malah blunder karena menyalahkan penduduk sebagai pemicu kerusakan lingkungan. “Ini sangat bertentangan. Manusia disalahkan, padahal yang merusak pola ekspoitasi yang luar biasa, industri besar. Menurut saya sangat fatal sekali,” katanya dalam acara nonton bareng debat di sekretariat Walhi di Jakarta.
Namun Rida menilai, kedua calon masih perlu pendalaman mengenai substansi persoalan lingkungan hidup agar tak melihat secara sederhana.
Erpan Faryadi, koordinator International Land Coalition Asia juga berpendapat sama. Menurut dia, penjabaran mengenai lingkungan Jokowi bagus. “Terkonfirmasi kalau kerusakan lingkungan karena pertumbuhan yang menjadi fokus.”
“Tentang kerusakan lingkungan, jawaban Prabowo betul-betul salah. Kerusakan lingkungan itu karena keserakahan kapitalisme.”
Bagaimana tanggapan Greenpeace debat capres mengenai lingkungan?
Teguh Surya, juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menilai komitmen Jokiwi-JK untuk memberikan sanksi keras terhadap korporasi perusak hutan perlu diuji terlebih dahulu dalam implementasi penyelesaian tunggakan kasus kebakaran hutan, dan korupsi sumber daya hutan.
Sedang komitmen penyelesaian tumpang tindih perizinan di kawasan hutan, katanya, seharusnya diawali dengan memperkuat dan memperpanjang kebijakan morarium yang akan berakhir Mei 2015, termasuk review perizinan saat ini.
Kedua pasang calon, katanya, tidak jelas menyebutkan komitmen melanjutkan penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Hingga ada kemungkinan hutan dan gambut tidak mendapat perlindungan di masa depan. “Juga tidak ada kejelasan upaya pecegahan kebakaran hutan mengingat target penurunan emisi Indonesia 2020 adalah menghentikan laju deforetasi, cegah kebakaran dan lindungi gambut total.”
Menurut dia, pernyataan Prabowo mengenai masyarakat sebagai perambah hutan adalah salah besar. “Ini menyiratkan tidak pahamnya tentang akar pesoalan kerusakan hutan Indonesia. Sebagian besar hutan justru rusak akibat ekspolitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri skala besar.”
Teguh mengatakan, meskipun Jokowi-JK menyebutkan akan merehabilitasi 2 juta hektar hutan per tahun, tetapi tidak dielaborasi lebih lanjut mengenai implementasi target itu. Kebijakan perlindungan hutan dan gambut melalui moratorium, katanya, juga tidak mendapatkan penjelasan memadai.
Ariefsyah Nasution, juru kampanye Lautan Greenpeace Indonesia menilai, kedua pasangan capres-cawapres tidak menjelaskan urgensi pencegahan pencemaran laut, pengelolaan sumberdaya ikan bertanggungjawab dan penanganan penangkapan ikan berlebihan guna memulihkan ekosistem laut. “Juga memastikan ketersediaan dan kedaulatan pangan saat ini dan dimasa depan.”
Ahmad Ashov Birry, juru kampanye Detoks Greenpeace Indonesia mencatat pasangan Prabowo-Hatta menyebutkan kualitas air, udara dan tanah perlu diperbaiki. Sedangkan pasangan Jokowi-JK menyebutkan, daerah aliran sungai banyak mengalami kerusakan hingga perlu diperbaiki.
Namun, katanya, kedua pasangan tidak menyebutkan pencemaran bahan kimia berbahaya beracun industri sebagai salah satu penyebab paling berbahaya. “Ini sangat mengkhawatirkan karena dalam visi misi keduanya berniat ekspansi sektor industri yang intensif menggunakan dan melepaskan bahan kimia berbahaya.”
Kedua capres, kata Ashov, harus sadar bahwa dampak bahan kimia berbahaya kepada masyarakat dan lingkungan sangatlah luas. “Mulai dari berbagai ancaman kesehatan seperti kanker dan gangguan sistem reproduksi hingga gangguan produktivitas lahan pertanian yang tercemari B3.”
Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pemaparan kedua capres-cawapres belum ada yang memenuhi harapan. Keduanya masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Isu lingkungan hidup hanya dijadikan polesan.
“Mereka tidak memahami situasi aktual sekarang. Lingkungan hidup harus jadi fokus utama. Mereka lebih fokus pada perdebatan mengenai pangan dan renegosiasi kontrak. Soal kerusakan lingkungan tidak diperdebatkan keduanya.”
Isu kelautan, toksik, hutan dan energi terbarukan masih sangat minim. Perlu dorongan lebih kuat agar keduanya memperhatikan hal itu jika terpilih menjadi presiden.
“Isu konservasi masih belum muncul. Keduanya sepakat melindungi hutan, tapi tidak dijabarkan strategi seperti apa. Lingkungan hidup belum menjadi mindset keduanya. Padahal ia pilar penting dalam pembangunan berkelanjutan.”
Dia juga menyoroti rencana pembukaan lahan untuk sawah baru. Prabowo-Hatta menjanjikan lahan dua juta hektar, Jokowi-Jk satu juta hektar. Namun kebijakan ini, berpeluang merusak lingkungan. “Perlu mendorong kedua pasangan lebih memahami isu lingkungan. Agar ke depan agenda pembangunan yang dilakukan lebih berkelanjutan. Kita masih ada trauma kebijakan era Soeharto terkait satu juta hektar lahan gambut untuk pertanian. Itu terbukti kebijakan yang gagal,” kata Yuyun.
Farhan Hemy, manager Indonesia Climate Change Centre mengatakan, secara keseluruhan debat capres-cawapres sebuah preseden bagus. “Isu energi, pangan dan lingkungan dibicarakan secara keseluruhan hingga mengarah pada penerapan konsep suistainable development.”
Keduanya, mencoba mengarah pada satu isu yang lebih spesifik, walau kurang dielaborasi. “Jokowi berbicara soal one map polcy, ini isu bagus. Hanya kurang dielaborasi. Padahal itu nanti jika diperdalam lebih jauh berbicara soal tumpang tindih izin dan banyak kepentingan yang bermain di sana.”
Soal one map polcy jika dielaborasi lebih mendalam memunculkan gagasan terkait penyelesaian konflik tenurial. Terutama soal tata kelola hutan secara keseluruhan. Penataan kepemilikan, hak masyarakat adat dan lain-lain.
Dia mengatakan, persoalan lingkungan di Indonesia tidak mungkin bisa diselesaikan hanya dalam waktu lima tahun. Namun, dia berharap dalam waktu lima tahun ke depan, siapapun yang terpilih bisa membuat fondasi kuat untuk perbaikan lingkungan hidup ke depan.
“Kita bisa mendorong pembangunan ekonomi tinggi dengan rendah emisi. Tapi tentu perlu ada leadership kuat, yang mampu merangkul berbagai pihak. Baik kalangan industri, swasta juga masyarakat. Semua harus bisa berjalan kolaboratif.”
Mengenai isu perubahan iklim juga isu sangat penting. Tidak hanya dalam skala nasional, juga global. Presiden terpilih, katanya, harus berani memposisikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai komitmen penuh terhadap isu perubahan iklim.
Farhan menggalakkan kampanye Inisiatif pemilih peduli bumi. Kampanye ini, katanya, untuk mengawal agenda capres-cawapres terpilih terkait lingkungan hidup. Ia akan diselenggarakan di 10 kota, yakni, Jakarta, Bandung, Denpasar, Semarang, Balikpapan, Samarinda, Surabaya, Medan, Palembang dan Makassar. “Ini akan dilakukan sampai 100 hari kerja presiden terpilih.”