Dua Warga Kriminalisasi Konflik Sawit Disidang Tanpa Pengacara

Yohanes Singkul dan Anyun, digiring dari ruang tahanan Pengadilan Negeri Pontianak. Seorang jaksa dan seorang petugas kepolisian mengapit pria paruh baya tersebut.Keduanya mengenakan baju kemeja tahanan berwarna putih dari bahan katun. Di dada kanan terbordir dengan benang kuning keemasan tulisan ‘Rutan Pontianak’. Dua terdakwa kasus kriminalisasi akibat konflik lahan sawit tersebut, sudah menunggu sejak pukul 09.00 WIB. Mereka menjalani sidang kedua, dengan jeratan hukum tindak pidana pengeroyokan dan penganiayaan.

Wajah kedua warga tersebut agak cerah. Pasalnya, pada persidangan kedua tersebut, sanak keluarga mereka dan simpatisan, yang tak lain juga warga Desa Batu Daya Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang. Mahasiswa Kabupaten Ketapang juga mengawal jalannya persidangan pada Selasa (08/07/2014) pagi.

Polda Kalbar telah menyerahkan kasus Singkul dan Anyun kepada Kejaksaan Tinggi Kalbar pada Rabu (11/06/ 2014). Secara normatif, tempat kejadian perkara (locus delicti) kasus ini sebenarnya di Ketapang, namun disidangkan di PN Pontianak karena penangkapan pada 5 Mei 2014 dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar. Pejabat Direskrimum saat itu, Kombes Polisi Rudi Hartono, menyatakan pengambilan paksa dilakukan karena surat panggilan terdahulu yang dilayangkan tidak mendapat jawaban.

Yohanes Singkul dan Anyun disangkakan melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam saat terjadi insiden kericuhan di kantor perusahaan kelapa sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR) pada 26 Oktober 2013

Pangkal permasalahan dari kriminalisasi warga ini, adalah konflik lahan antara masyarakat Desa Batu Daya dengan PT Swadaya Mukti Prakarsa, anak perusahaan dari PT Firs Resources yang berinduk di Singapura. Warga menuntut 1088,33 ha hutan kelola masyarakat, yang ikut dilepaskan oleh pemerintah daerah Kabupaten Ketapang selaku pemberi izin konsesi kepada perusahaan.

Persidangan pertama ternyata sudah digelar pada 2 Juli 2014 lalu.Singkul dan Anyun yang polos, kebingungan dengan langkah hukum selanjutnya untuk pembelaan dirinya. Ketika surat pemberitahuan jadwal persidangan diberikan, keduanya pasrah saja. Sehingga, Jaksa Penuntut Umum; Egi Pradana membacaan dakwaan terhadap keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum.

Pada sidang kedua yang digelar Selasa, 8 Juli 2014, di Pengadilan Negeri Pontianak, tim penasehat hukum, Sulistiono dan Syahri, menyayangkan hal tersebut. “Jaksa tidak pernah memberitahu kepada terkait jadwal persidangan, sehingga Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan terhadap dua terdakwa tanpa didampingi pengacara,” kata Sulistiono.Sehingga hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, pada sidang pertama tersebut diabaikan. Penasehat Hukum mempertanyakan pengabaian hak terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat.

Padahal dua terdakwa, saat menjadi tersangka sudah memberikan pernyataan memberikan kuasa hukum kepada tim dari Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan Barat. Terlebih, kata Sulistiono, kasus ini juga sudah diekspose oleh berbagai media.GBHR Kalbar merupakan aliansi pengacara yang memberikan bantuan hukum secara gratis, atau Pro Bono Law.“Kami minta penundaan untuk menyampaikan eksepsi, karena sangat esensial sekali substansial dalam penyampaian eksepsi tersebut,” ungkapnya.

Hingga saat ini, lanjut Sulistiono, kedua terdakwa tidak mendapatkan penangguhan penahanan. Padahal beberapa LSM menjamin dua terdakwa tersebut akan kooperatif. Walau demikian, kedua terdakwa menyatakan siap memperjuangkan hak-hak mereka sebagai rakyat, meskipun berada dalam tahanan.

Syahri menambahkan, keberadaan persidangan di Kota Pontianak sebenarnya menjadi permasalahan tersendiri.Terutama bagi saksi-saksi yang kebanyakan berdomisili di Kabupaten Ketapang. Sementara, saksi-saksi kebanyakan merupakan warga yang pekerjaannya adalah petani.

Majelis hakim yang  memimpin sidang, diketuai Sri Wanti Warni, didampingi Erwin Djong dan Syofia sebagai hakim anggota, mengabulkan penundaan penyampaian eksepsi dari penasihat hukum. Sidang pun ditunda hingga pekan depan.

Namun, dalam persidangan Wanti menolak bahwa ada pengabaian hak terdakwa. “Dalam persidangan, saya sudah tanyakan kepada dua tersangka, apakah didampingi kuasa hukum atau tidak.Terdakwa menyatakan tidak ada.Kami sudah membuka ruang untuk itu,” ungkap Sri.

Dia juga menyatakan, tidak ada kewajiban dari JPU untuk memberitahukan kepada penasihat hukum terdakwa mengenai jadwal persidangan. Namun, hakim mengabulkan penundaan eksepsi tersebut. “Penasihat hukum mempunyai hak untuk menyusun eksepsi, berhubung dakwaan baru diterima mereka tidak lama sebelum persidangan,” kata Sri.

Usung Petisi

Hendrikus Adam, dari Wahana Lingkungan Hidup Kalbar menyatakan, hingga saat ini pihaknya masih mengusung petisi online  ( http://www.change.org/id/petisi/pak-kapolda-kalbar-bebaskan-yohanes-singkul-anyun-warga-korban-kriminalisasi-hadirnya-perusahaan-pt-swadaya-mukti-prakarsa-pt-first-resources )untuk pembebasan kedua warga Desa Batu Daya tersebut. “Petisi atau permohonan resmi itu diajukan untuk Kepala Polda Kalbar,” kata Adam. Hingga saat ini sudah lebih dari 200 tandatangan dukungan yang dihimpun, sejak digalang tanggal 24 Mei lalu.

Adam mengatakan, telah terjadi tragedi kemanusiaan dan ketidakadilan yang menyebabkan kriminalisasi atas dua warga Batu Daya.“Pihak Polda Kalbar maupun pihak penegak hukum lainnya sedianya dapat memberikan keadilan dengan membebaskan warga dimaksud,” katanya.Petisi tersebut ditujukan kepada Kapolri, Kapolda Kalbar, Bupati Ketapang dan Komnas HAM.

Isi petisi tersebut, yakni meminta Kapolda Kalbar membebaskan Yohanes Singkul dan Anyun mengingat keduanya merupakan tulang punggung keluarga.Kemudian, mendesak institusi kepolisian sungguh-sungguh menjadi pengayom, pelindung dan pelayan rakyat yang profesional serta tidak menjadi alat korporasi untuk melakukan tindakan represif terhadap rakyat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,