,

Mengakui Hutan Adat, Menjaga Tembawang Di Tujuh Desa Melawi

Masyarakat di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) telah mendesak pemerintah untuk mengakui keberadaan hutan adat di daerah mereka. Kini desakan serupa dilakukan sejumlah tokoh masyarakat dari tujuh desa di Kabupaten Melawi, Kalbar. Mereka menuntut pemerintah segera mengakui keberadaan hutan adat sesuai amanat konstitusi.

Desa-desa yang menuntut itu adalah Desa Gelata, Nanga Tangkit, Landau Kabu dan Nanga Potai di Kecamatan Sokan. Kemudian Desa Piawas dan Nanga Raya di Kecamatan Belimbing Hulu serta Desa Mawang Mentatai di Kecamatan Menukung.

Domikus, warga Desa Piawas, Kecamatan Belimbing, menganggap hutan adat yang di dalamnya terdapat tembawang merupakan identitas mereka. Tembawang merupakan bagian kecil dari hutan adat. Hal itu menunjukkan keberadaan masyarakat adat dan menjadi simbol bahwa  masyarakat adat itu ada.

“Makanya, kami mendesak adanya pengakuan terhadap hutan adat. Bagi kami, pengakuan terhadap hutan bisa mencegah terjadinya bencana alam. Sudah banyak pohon di hutan yang ditebang. Padahal hutan adalah tempat berkembang biak satwa-satwa liar yang harus dilindungi dari kepunahan,” katanya.

Pengakuan terhadap hutan adat itu, jelas Domikus, akan mempertegas status kepemilikan, bahwa tembawang milik masyarakat dan hanya dapat dikelola sepenuhnya oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat adat juga mendapat legalitas hukum terhadap tembawang sebagai hutan. Ini juga bisa mencegah terjadinya konflik sosial.

“Apabila pengelolaan hutan adat sudah diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, kami dapat menjaga dan mencegah terjadinya pembabatan hutan besar-besaran,” ucapnya.

Tembawang yang merupakan sistem penggunaan lahan di masyarakat Suku Dayak, Kalimantan Barat. Tembawang atau sering disebut sebagai agroforest tembawang adalah suatu bentuk sistem penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan, mulai dari pohon-pohon besar berdiameter lebih dari 100 sentimeter hingga tumbuhan bawah sejenis rumput-rumputan.

Sistem ini dikelola dengan teknik-teknik tertentu sesuai dengan kearifan lokal mereka dan mengikuti aturan-aturan sosial sehingga membentuk keanekaragaman yang kompleks menyerupai ekosistem hutan alam. Tembawang dianggap sebagai ekosistem yang unik, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, mengandung nilai ekonomi dan konservasi.

Senada dengan Domikus, tokoh adat Desa Mawang Mentatai, Kecamatan Menukung, Madong mengatakan pengakuan terhadap hutan adat itu sangat penting. Terutama pengakuan terhadap  hutan adat yang ada di desa tersebut karena hingga kini masih terjadi tumpang tindih dengan kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR).

“Kami berharap hutan adat yang berada di daerah kami bisa mendapatkan pengakuan yang sah dari Pemda Melawi,” ucapnya.

Hutan adat adalah sumber air sekaligus sumber kehidupan bagi masyarakat adat. Foto : Sampan Kalimantna
Hutan adat adalah sumber air sekaligus sumber kehidupan bagi masyarakat adat. Foto : Sampan Kalimantna

Ketua Adat Desa Gelata, Kecamatan Sokan, Rajani mengatakan masyarakat adat Desa Gelata sudah turun-menurun berada di daerah tersebut. Mereka hidup dan berkembang dengan cara bertani, berladang, dan bercocok tanam, serta menikmati tembawang. “Makanya kami mengajukan kepada pemerintah agar dapat memberikan pengakuan hutan adat,” ucapnya.

Dialog Publik

Merespon desakan tujuh desa di Kabupaten Melawi, Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan menginisiasi pertemuan para-pihak. Kegiatan yang dilaksanakan di ruang rapat Kantor Bupati Melawi, Selasa 24 Juni 2014 lalu itu dihadiri sejumlah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan masyarakat dari tujuh desa itu.

Pembantu Pelaksana Program Sampan Kalimantan di Melawi, Rudy Farcison mengatakan dialog publik dilaksanakan dengan harapan dapat mendorong adanya skema kebijakan daerah untuk pengakuan dan perlindungan tembawang. Apalagi, pengajuan masyarakat adat di desa-desa itu sudah dilayangkan sejak 7 November 2013 ke Pemda Melawi.

Skema kebijakan daerah dimaksud adalah Surat Keputusan Bupati tentang penetapan, pengakuan, dan perlindungan tembawang masyarakat hukum adat, serta Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pengakuan dan Perlindungan Tembawang di Kabupaten Melawi.  Kemudian adanya tindak lanjut pengesahan kebijakan pengakuan dan perlindungan tembawang masyarakat hukum adat di tujuh desa di Kabupaten Melawi.

Dari hasil dialog publik, pemerintah akan mengupayakan kebijakan berupa peraturan daerah (Perda) sebagaimana amanat UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 35 /PUU-X/2012. “Satu bulan lalu kami sudah masukkan ke Pemda melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Melawi dan bagian hukum Pemda dalam bentuk draf. Karena skema MK 35 yang kami usulkan itu tembawang,” ungkapnya.

Rudi mengungkapkan, draf SK tersebut diajukan karena adanya kekosongan kebijakan di Kabupaten Melawi untuk mengakui entitas masyarakat hukum adat dan hak-haknya sebagaimana surat edaran Menteri Kehutanan tentang putusan MK 35. Surat edaran itu memerintahkan pemerintah daerah membuat kebijakan berupa Perda untuk mengakui dan melindungi masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.

“Karena instrumen hukumnya berbentuk SK, maka hal tersebut menjadi hak dan kewenangan eksekutif (bupati).  Nah kalau soal pembahasannya dilakukan oleh Pemda atau SKPD terkait terutama dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup, Bappeda, dan BPN,” ucapnya.

Asisten I Sekretariat Daerah Pemerintah Melawi, Imansyah, merespon positif usulan masyarakat. Dia menyebut ada kewenangan pemerintah kabupaten dan kewenangan pemerintah pusat dalam perkara ini. “Bila kewenangan itu bukan domain pemerintah daerah, kita akan teruskan ke jenjang pemerintah yang lebih tinggi,” ucapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,