Anjing Dieliminasi di Bali, Malah Marak Dikonsumsi di Jogja

Grup band The Bullhead asal Bali gelisah dan resah akan kebijakan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, yang menyerukan kepada Dinas Peternakan Bali agar meng-eliminasi (memusnahkan) secara langsung anjing-anjing yang berkeliaran di Propinsi Bali.

Berawal dari kebijakan itulah mereka membuat petisi khusus ditujukan kepada gubernur melalui situs change.org Adapun keluarnya kebijakan gubernur tersebut dalam hal penanggulangan wabah rabies. “Pokoknya ketemu anjing di luar, eliminasi saja. Kalau dianggap dosa, sayalah, dari pada orang digigit, ribut lagi,” kata Gubernur Bali I Made Mangku Pastika seperti dikutip metrobali.com pada 26 Juni 2014.

Ajiq selaku penggebuk drum The Bullhead kepada Mongabay mengatakan, eliminasi diberlakukan saat Bali dalam status Emergency Animal Disease di tahun 2008, saat pertama kalinya kasus Rabies terjadi. Pada waktu itu pemerintah sangat tidak siap menghadapi cepatnya penyebaran virus ini, maka eliminasi dipilih sebagai langkah terbaik untuk menanggulanginya, selain vaksinasi. Berangkat dari hal itu, hingga kini pemerintah mencanangkan eliminasi menjadi salah satu program untuk penanggulangan Rabies di Bali.

“Total kasus sepanjang 2014 sebanyak 18.507 kasus, dan total eliminasi anjing liar sebanyak 117.315 ekor (data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dan Dinas Peternakan Provinsi Bali),” kata Ajiq.

Kebijakan eliminasi sangat perlu dipertimbangkan katanya. Karena segala ketidaksiapan yang dihadapi pemerintah pada saat itu, eliminasi menjadi tindakan tepat saat awal kemunculan wabah tersebut. “Tapi jika dilihat dari penanggulangan yang tidak kunjung selesai hingga sekarang, saya rasa eliminasi sudah tidak efektif lagi,” katanya.

Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi Bali, populasi Anjing mencapai kira-kira 460.000 ekor, dan saat ini harus dikurangi hingga mencapai 7.600 ekor, berarti 98.5% dari jumlah anjing yang ada di Indonesia.

“Eliminasi akan menciptakan reaksi negatif untuk wisatawan, sama halnya juga dari organisasi dan atau para pecinta hewan. Perekonomian Bali sangat bergantung kepada kepariwisataan, sedangkan biaya eliminasi adalah jelas pemborosan, oleh sebab itu dampak negatif secara financial terhadap kepariwisataan itu juga harus diperhitungkan.”

Banyak hal yang bisa dilakukan selain eliminasi. Pertama adalah meningkatkan edukasi kesejahteraan hewan kepada masyarakat, contohnya stop membuang anjing ke jalanan, pengenalan serta penanganan tentang virus-virus yang awamnya ada pada Anjing. Kedua adalah menggantikan posisi tindakan eliminasi menjadi sterilisasi, dengan tetap menggalakkan vaksinasi.

“Point ini lebih efektif, karena selain dapat mengontrol populasi, program ini bisa juga lebih meningkatkan kesejahteraan hewan. Dengan sterilisasi masyarakat diajarkan lebih menjamin hak-hak hidup hewan, sekaligus mengatasi dilema wabah Rabies di Bali,” tambah Ajiq.

Sedangkan Dinas Peternakan Bali, Putu Sumantra mengatakan, tindakan eliminasi sebagai upaya agar Bali terbebas wabah rabies ditahun 2015. Data terakhir ada 51 kasus rabies yang terdata dan kenyebar di 9 kabupaten/ kota di Bali. Upaya untuk melakukan eliminasi dan vaksinasi mengalami kendala di masyarakat, selain itu tingkat kesadaran vaksinasi masih rendah.

“Kami menarget 325 ribu anjing di vaksinasi, hingga saat ini sudah 231 ribu lebih anjing yang di vaksinasi, ” kata Putu Sumantra.

Stop Konsumsi Anjing di Yogyakarta

Jika di Bali kebijakan eliminasi mengundang keresahan bagi pegiat dan pecinta satwa domestik yakni Anjing. Di Jogja, Animal Friends Jogja (AFJ) beraliansi dengan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Garda Satwa Indonesia (GSI) marah dan resah terhadap maraknya perdagangan daging anjing untuk konsumsi. Mereka juga mempetisikan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan HB X, Gubernur Jakarta dan Menteri Pertanian RI agar menghentikan dan melarang perdagangan daging anjing untuk di konsumsi.

Dalam catatan ketika organisasi pecinta satwa tersebut, perdagangan anjing untuk konsumsi di berbagai kota besar di Indonesia seperti Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Bali, Medan dan Manado serta berbagai kota lain di Jawa Tengah makin marak.

Data yang dihimpun AFJ menyebutkan, di Yogyakarta saja diperkirakan 360 ekor anjing dibunuh tiap minggunya. Di Manado dan Sumatra, di mana daging anjing dianggap sebagai makanan yang lezat, kita harus mengalikan jumlah tersebut dengan paling sedikit 5 kali (1800 per minggu dalam satu area tempat daging anjing merupakan makanan yang  lezat sehingga totalnya menjadi 3600).  Kemudian kota besar seperti Jakarta jelas memiliki jumlah yang lebih besar dari Yogyakarta dan paling sedikit dua kali lipat jumlah yang di Yogya yang berarti kira-kira 720 anjing per minggu.

“Jadi, jika dijumlahkan semua, didapat angka 4680 anjing per minggu, 18.720 per bulan dan 224.640 per tahun. Dan jangan lupa estimasi tersebut hanya di 4 daerah saja di Indonesia,” kata Dessy Zahara Angelina Pane dari AFJ kepada Mongabay.

Risiko besar lainnya adalah penyebaran penyakit-penyakit lain mengingat anjing-anjing itu berada dalam kondisi yang parah, menempuh perjalanan dalam keadaan yang mengerikan dan membawa penyakit seperti parvo atau distemper yang disebabkan oleh keadaan yang memprihatinkan yang dialami oleh anjing-anjing itu.

“Kami sudah kirim bertemu dan kirim surat ke dinas peternakan DIY, mereka sudah berjanji akan menindaklanjuti laporan kami, namun sampai saat ini belum ada juga tindakan positifnya. Kami akan datangi lagi dan menagih janji mereka,” kata Ina.

Tawaran solusi

Menanggapi tindakan eliminasi dan maraknya konsumsi daging Anjing tersebut, Ranggawisnu dari Komisi Nasional Kesejahteraan Hewan kepada Mongabay mengatakan, kebijakan eliminasi pemerintah Bali  untuk merespon kasus wabah rabies menggunakan satu zat strychnine. Zat ini semacam racun, jika suntikkan di Anjing maka akan mati dalam tempo 15-30 menit. Kita bisa lihat Anjing tersiksa.

“Tindakan eliminasi sendiri di Bali sekitar 2008/2009 waktu Bali terjangkit rabies. Lebih dari 100 ribu ekor anjing di Bali di Eliminasi,” kata Rangga.

Kebijakan eliminasi ketika itu langsung di protes oleh banyak pihak di Bali seperti Bali Animal Welfare Association (BAWA), Profauna, pecinta hewan dan dokter hewan, serta WHO dan FHO.  Secara teori dan peri kemanusiaan eliminasi adalah tindakan salah. Sehingga ide yang tepat yakni vaksinasi dan sterilisasi.

“Masyarakat di Gianyar, Bali menolak eliminasi yang tadinya akan dilakukan dinas peternakan, karena ditentang masyarakat maka eliminasi gagal dan menjadi vaksinasi. Pemerintah Bali seharusnya merangkul lagi teman-teman pecinta satwa dan NGO dalam program memberantas rabies ini. Dengan bekerja bersama maka pemerintah tidak harus mengeluarkan sumber daya sendiri,” kata Rangga.

Terkait dengan daging anjing untuk konsumsi Ranggawisnu mengatakan, dari sisi budaya tidak semua suku di Indonesia itu mempunyai budaya makan anjing.  “Setahu saya, ada tiga, Medan, Manado dan Flores yang sangat kuat. Di kota lain sifatnya ikuti tren saja. Di Bali juga tidak ada budaya konsumsi makan anjing. Ketika ada warung jual anjing lalu berkembang untuk konsumsi,” katanya.

Tidak ada regulasi yang menyatakan anjing merupakan hewan ternak, atau yang layak di konsumsi. “Sudut pandang ini saya gunakan sebagai pembenar bahwa anjing itu tidak layak di konsumsi. Dari kesehatan, ada beberapa penyakit yang membahayakan manusia, bahkan ketika proses pemotongan dan masaknya juga membahayakan,” jelas Rangga.

“Maka penjualan daging anjing di warung-warung makan harus diawasi. Perlu regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) dan juga edukasi ke masyarakat. Di Kabupaten Tabanan, ketika ada edukasi bahwa anjing itu membahayakan jika di konsumsi, setalah itu warung tersebut tutup,” tambahnya.th

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,