Setelah berulang kali direvisi, rancangan peraturan pemerintah tentang gambut akhirnya selesai. Kini, draf final kebijakan ini sudah di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, siap ditandatangani. Namun, masih muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan jika aturan itu belum memberikan perlindungan bagi gambut yang tersisa. Sebab, RPP Gambut ini dinilai masih lekat semangat pemanfaatan daripada perlindungan.
Haris Gunawan, ahli gambut dari Univeritas Riau mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada semangat perlindungan gambut yang tersisa bukan pemanfaatan. Jikapun, sampai ada izin, harus benar-benar ketat sekali. “Saat ini, dengan setuasi seperti ini, saya belum yakin ada izin keluar bisa dikontrol, pengawasan bagus,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Di Indonesia, katanya, banyak pendapat dari kalangan ahli gambut. Mereka mempunyai mazhab-mazhab. “Mazhab saya berbeda dengan spirit RPP Gambut itu. Ga bisa hanya 30% perlindungan. Dengan kasus Riau 17 tahun terbakar. Kalimantan terbakar 1 juta hektar.” Dalam RPP Gambut itu disebutkan ekosistem gambut dengan fungsi lindung 30% dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut.
Menurut dia, jika kebijakan gambut seperti itu tak akan menyelesaikan masalah. “Itu spiritnya pemanfaatan kok, bukan spirit perlindungan. Yang kita harus bangun adalah spirit perlindungan. Sudah selesai itu spirit pemanfaatan,” ujar dia.
Haris membenarkan, para akademisi masing-masing mempunyai banyak sudut pandang dan latar belakang. “Kalau tanya ke saya, RPP Gambut itu jangan segera ditandatanganilah. Harus dimatangkan dulu, mendengarkan semua dulu,” katanya.
Dia mengusulkan, jikapun ada kebijakan publik mengenai gambut, harus konteks pelestarian atau perlindungan. “Yang tersisa harus diprotek. Inilah sebelum Papua mengikuti Kalimantan dan Riau sekarang. Karena yang tersisa itu benteng terakhir buat menyangga kehidupan ke depan. Saya khawatir kita ini generasi yang bikin kolaps generasi berikutnya.”
Bagaimana kongkretnya? Kata Haris, buat peratusan khusus tentang bagaimana mengelola kanal-kanal yang sudah ada. Juga, lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai karakteristik gambut berair. “Jangan mengedepankan tanaman-tanaman budidaya yang gak suka air, misal sawit.”
Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, isi draf kebijakan ini masih sangat kompromis dan membenarkan gambut nol sampai tiga meter dikonversi. “Sanksi yang diterapkan pun tidak akan memberikan efek jera karena bisa dikerjakan pihak ketiga dan nilai dikompromikan,” katanya kepada Mongabay di Jakarta, belum lama ini.
Dia mengatakan, hal penting lain yang menjadi sorotan adalah izin-izin yang keluar dan berada di kawasan dengan fungsi lindung gambut tetap berlaku sampai izin habis. Pasal ini, katanya, menghilangkan esensi perlidungan gambut. “Seharusnya izin ditinjau ulang dan kawasan dikukuhkan sebagai kawasan gambut fungsi lindung. Kalau RPP gambut gini dapat dipastikan Indonesia tidak akan bisa mencapai target penurunan emisi pada 2020 sesuai janji.”
Indonesia, kata Teguh, tidak akan pernah bisa menghentikan dan mencegah becana asap akibat hutan dan gambut terbakar. Kondisi ini, katanya, akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Indonesia ke depan. “Jika Presiden tetap menandatangani RPP Gambut dengan isi begitu, berarti Presiden SBY inkonsiten dengan komitmen dan meninggalkan warisan bom waktu.”
Menurut dia, sampai saat ini, setidaknya ada tiga draf RPP Gambut beredar. Antara lain, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pada Oktober 2013 dan edisi Januari 2014. Lalu, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diyakini versi terbaru.
“Perubahan tiga kali sejak Oktober 2013, tetapi jika dilihat detil, substansi pokok perlindungan gambut tidak berubah.”
Teguh mencontohkan, gambut dengan kedalaman 0-3 meter tidak terlindungi, baku kerusakan gambut dengan fungsi budidaya dan sanksi juga masih sama. “Intinya yang berubah hanyalah struktur penulisan, tidak pada substansi yang selama ini dipersoalkan.”
Dia menilai, isi RPP Gambut tak mengalami perbaikan kemungkinan karena tidak ada ruang partisipasi publik dalam mencermati isi aturan ini. “Konsultasi publik KLH hanya terbatas pada ahli gambut, beberapa organisasi yang fokus pada isue gambut. Bagaimana dengan pemerintah dan masyarakat khusus yang hidup di wilayah bergambut?”
Dia memaparkan beberapa hal, seperti Pasal 22, pada bagian pencegahan kerusakan eksoistem gambut , seharusnya kebakaran hutan atau gambut menjadi salah satu kriteria kerusakan ekosistem gambut.
Begitu juga Pasal 27 dan 28, malah melemahkan esensi perlindungan gambut. Bahkan, terkesan terlalu memberikan keistimewaan kepada pengusaha yang tidak mau bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem gambut.
Lalu, Pasal 42, cukup mengkhawatirkan. Sebab, masa pembuatan peta acuan tentang kesatuan hidrologis gambut dan peta fungsi lindung dan fungsi budidaya, memakan waktu empat tahun. “Kita tidak bisa menunggu selama itu karena bisa jadi gambut telah habis peta baru keluar dan PP Gambut menjadi tidak bermanfaat.”
Mas Achmad Santosa, deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, membenarkan jika draf final RPP Gambut sudah diserahkan ke Presiden, tinggal ditandatangani.
Menurut dia, revisi kali itu sudah lebih baik, tak malah longgar atau memberikan peluang pemanfaatan gambut. Dia setuju, terpenting dari kebijakan ini bisa melindungi gambut yang tersisa.