,

Reklamasi Setengah Hati Pasca Pertambangan di Kalbar

Ibarat jamur di musim hujan, begitu perumpamaan pembangunan industri pertambangan di Kalimantan Barat. Suburnya investasi di dunia keruk-mengeruk sumber daya alam ini, ternyata tidak dibarengi dengan kebijakan reklamasi lahan sesuai amanat undang-undang. Akibatnya, dampak sosial dan lingkungan menjadi perkara besar yang tak kunjung berjawab.

Hingga kini, tercatat sebanyak 673 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah provinsi Kalimantan Barat maupun kabupaten/kota di atas lahan seluas 6,4 juta hektar. Sampai Juli 2013, realisasi bagi hasil Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk provinsi maupun kabupaten/kota yang diperoleh dari sektor pertambangan mencapai Rp262.807.832.477.

Kendati demikian, besaran IUP yang dikeluarkan itu memberikan sinyal merah tentang kerusakan lingkungan. Terlebih, metode pertambangan terbuka (open pit mining), paling banyak diterapkan dalam banyak bisnis pertambangan di Kalbar.

Deputi Direktur Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Denni Nurdwiansyah mengatakan, tambang dan lingkungan memiliki keterkaitan erat yang tak bisa dipisahkan. “Ada kontribusi secara langsung terhadap pendapatan dan pembangunan negara. Tapi, juga memiliki konsekuensi kerusakan lingkungan dalam jangka panjang,” katanya di Pontianak, pada akhir minggu kemarin.

Menurutnya, PP No. 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang sudah menjelaskan bahaya kerusakan lingkungan jangka panjang dari usaha pertambangan. Tak hanya itu, di dalamnya juga sudah mengatur soal kewajiban bagi setiap orang atau perusahaan yang melakukan penambangan untuk melakukan reklamasi.

“Satu sisi mata uang, meskipun ada aturan penyelenggaraan reklamasi untuk pemulihan sosial dan lingkungan, tapi kondisi itu berjalan tidak sesuai dengan harapan,” kata Denni.

Reklamasi Setengah Hati

Kegagalan pelaksanaan reklamasi di banyak tempat, kata Denni, harusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Terlebih pembangunan pertambangan saat ini sedang terkonsentrasi hampir di seluruh wilayah Kalbar.

“Namun kenyataannya, pelaksanaan reklamasi belum dipandang sebagai suatu keharusan. Bisa kita lihat data Dirjen Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari total IUP yang ada di Kalbar, hanya 19 IUP yang menjaminkan dana jaminan reklamasinya,” ungkap Denni.

Aktivitas pengerukan sumber daya alam  di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan
Aktivitas pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Studi yang dilakukan Sampan Kalimantan di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Ketapang tahun 2013 menunjukkan hal serupa. Perusahaan tidak sungguh-sungguh melakukan reklamasi.

Proses reklamasi juga tidak dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Dan, tidak ada transparansi mengenai kewajiban-kewajiban reklamasi, seperti dokumen rencana reklamasi maupun jaminan reklamasi yang terbuka serta dapat diakses publik. Revegetasi di areal yang sudah dieksploitasi belum berjalan dengan maksimal.

Inilah yang memicu pertumbuhan tanaman karet (Hevea brasiliensis) hanya sebesar pergelangan tangan dewasa dalam jangka waktu enam tahun. Hasil analisis laboratorium terhadap sampel tanah di lokasi reklamasi, menunjukkan bahwa kandungan mineral dan elemen-elemen lain untuk mendukung pertumbuhan tanaman tersebut sangat rendah.

Lebih lanjut Denni menjelaskan, hasil analisis laboratorium terhadap air di sekitar lokasi reklamasi juga menunjukkan adanya kepekatan warna yang tinggi, kekeruhan, dan kandungan organik yang ada di dalam air. Tingkat warna dan kekeruhan yang tinggi dapat dikaitkan dengan pencucian bijih material atau peralatan, sementara kandungan organik yang tinggi dapat disebabkan oleh bahan organik atau humus yang terbawa ke sungai akibat pembukaan lahan dan erosi.

Kandungan organik yang tinggi pada sumber air dapat menyebabkan penipisan konsentrasi oksigen terlarut, sehingga dapat membunuh kehidupan tumbuhan dan satwa air. Perairan yang sangat keruh meningkatkan kemampuan air untuk mempertahankan virus, bakteri dan protozoa, yang dapat menyebabkan masalah lambung bagi masyarakat lokal jika mengonsumsi air tersebut.

Beginilah kondisi air sungai di sekitar areal pertambangan. Foto : Sampan Kalimantan
Beginilah kondisi air sungai di sekitar areal pertambangan. Foto : Sampan Kalimantan

Lebih serius lagi, ucap Denni, partikel-partikel ini dapat mempertahankan kandungan logam berat, pestisida, dan senyawa beracun organik lainnya yang mungkin telah digunakan di dalam proses pertambangan.

PP 78 tahun 2010 sebenarnya sudah mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan reklamasi. Namun, kebijakan ini tidak menjawab permasalahan pada tingkat praktik seperti tergesernya lahan-lahan pertanian, fasilitas publik, penurunan kuliatas air, banjir, pendangkalan alur sungai, dan penyumbang deforestasi dan degradasi lahan.

Oleh sebab itu, kebijakan daerah tentang reklamasi harus dirancang dan didesain yang terfokus pada pemberian jawaban atas kekosongan hukum, penajaman fungsi instansi terkait, dan memposisikan masyarakat sebagai bagian dari desain regulasi.

Mengutip pernyataan Douglas Richardson (1979), Dewan Sumber Daya Energi Tribes, AS, dalam bukunya, The Control and reclamation of surface mining on indian lands, Denni menyebut kebijakan tentang pertambangan harus mengatur semua hal yang sangat detail mengenai aktivitas pertambangan dan lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh operasi pertambangan termasuk rencana reklamasi.

Secara lebih spesifik, jelasnya, regulasi tersebut harus mengatur prinsip transparansi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi terhadap reklamasi. “Tidak kalah pentingnya adalah, desain regulasi harus mampu memastikan ketaatan perusahaan dalam menyusun rencana reklamasi dan posisi dana jaminan reklamasi, sehingga pelaksanaan pemulihan kondisi sosial dan lingkungan dapat berjalan secara maksimal,” ucapnya.

Menanggapi hal itu, Gubernur Kalbar Cornelis kembali mengingatkan para pengusaha pertambangan agar mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Reklamasi dinilai penting untuk memulihkan kembali kesuburan lahan yang sudah dieksploitasi. “Jadi, tujuan reklamasi itu memulihkan kondisi kawasan yang sudah ditambang. Setidaknya dengan menanami karet,” katanya di Pontianak.

Menurutnya, karet lebih mudah dikelola daripada jenis tanaman lainnya. Selain itu, karet juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di sekitar konsesi tambang.

Cornelis menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Kalbar tetap berkomitmen kuat agar kondisi lingkungan terjaga dengan baik. Sejauh ini permasalahan lingkungan yang paling besar selain tambang adalah perkebunan kelapa sawit.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,