,

Tolak Tambang Pulau Bangka, Dua Warga jadi Tersangka

Penegak hukum dinilai diskriminatif, hanya berjalan buat rakyat kecil. Kala warga menang gugatan hukum sampai MA, tak digubris pemerintah daerah. Perusahaan tetap beroperasi. Kepolisian malah menjadi penjaga perusahaan walau warga beberapa kali melaporkan pelanggaran perusahaan. Kala warga dituduh melakukan pelanggaran terhadap perusahaan, dalam waktu sekejab, polisi menentapkan mereka menjadi tersangka. 

Perjuangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, mendapatkan lingkungan sehat, dengan menolak tambang, berbuah pahit. Bagaimana tidak, PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang bijih besi masih bisa terus beroperasi meskipun Mahkamah Agung memerintahkan bupati mencabut izin. Warga yang sejak awal menolak tambang menggunakan jalur-jalur damai akhirnya ‘terjebak.” Mereka terlibat bentrok, satu alat berat perusahaan terbakar.  Polisi  ‘sigap’ bekerja, dua warga, Y Tuhema dan F Kaongan,  dituding sebagai pelaku. Mereka ditetapkan menjadi tersangka pada Kamis dini hari (17/7/14).

Di Manado, perwakilan warga Desa Kahuku menyesalkan, sikap diskriminatif kepolisian antara  warga dan perusahaan. Penegakan hukum hanya tajam ke masyarakat kecil dan tumpul ke pengusaha.

Mengapa? Sejak 24 September 2013 putusan inkracht MA memenangkan gugatan warga atas penolakan tambang di Pulau Bangka. Ketua PTUN Manado, pada 24 Juni 2014, melayangkan surat perintah eksekusi MMP.

Belum lagi, aktivitas pertambangan itu, beberapa kali dilaporkan warga pada instansi terkait. Misal, 20 Mei 2014, 18 warga mengajukan laporan tindak pidana pertambangan (ilegal mining) dan lingkungan, ke Polda Sulut diterima Dirintelkam. Sebulan berlalu, 30 Juni 2014, Merty Katulung, warga Desa Kahuku juga melaporkan ke Polda Sulut.

Kenyataan, Polda Sulut belum menindaklanjuti laporan warga. Lebih aneh, setelah bentrok antar desa Sabtu (12/7/14), dua warga penolak tambang langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Polsek Rural Likupang, tempat pertama beberapa warga diperiksa sebelum dibawa ke Polda Sulut dan menjadi tersangka. Foto: Save Bangka Island
Polsek Rural Likupang, tempat pertama beberapa warga diperiksa sebelum dibawa ke Polda Sulut dan menjadi tersangka. Foto: Save Bangka Island

Kejadian bermula Minggu (13/7/14). Kepolisian memanggil tujuh warga Desa Kahuku yang dituduh membakar bor milik MMP. Pada  Rabu (16/7/14), tujuh warga memenuhi panggilan Polsek Likupang Timur. Belum rampung pemeriksaan, empat warga dibawa diam-diam ke Polres Minahasa Utara.

“Ketika menghubungi Wakapolres Minut, beliau menjelaskan sebagai pemeriksaan lanjutan,” kata Pieterson Andaria, ketua Badan Perwakilan Desa Kahuku.

Dia merasa ada yang janggal dengan panggilan itu. Undangan awal diterima warga hanya ke Polsek Likupang Timur, sebagai saksi. Pemeriksaan sehari, status berubah menjadi tersangka.

Menurut dia, tindakan kepolisian tidak adil kepada warga. Sejauh ini, masyarakat mengikuti aturan. Sejumlah laporan dibuat, bahkan mendapat legitimasi dari MA.”Warga yang dimenangkan hukum, merasa ditempatkan pada posisi ilegal. Perusahaan tambang yang tidak layak operasi dinyatakan legal.”

Sejak penetapan status itu, sejumlah warga Desa Kahuku merasa terintimidasi. Namun, mereka terus menjalin komunikasi agar kondisi tidak makin memburuk. “Kami akan terus melakukan upaya hukum memperjuangkan kepentingan bersama.”

Merty Katulung, warga Desa Kahuku menambahkan, kepolisian seharusnya memiliki fungsi pelindung dan penegakan hukum. Dalam kasus pertambangan Bangka, justru kontradiktif.

“Polisi melindungi tambang dan mengenakan hukum hanya pada masyarakat kecil. Perusahaan tambang ilegal tidak diberi sanksi.”

Dia menilai, seharusnya kepolisian memeriksa MMP yang sampai sekarang masih beroperasi, walaupun secara administratif izin sudah dibatalkan MA. Belum lagi, PTUN Manado sudah mengeluarkan surat eksekusi pemberhentian aktivitas pertambangan itu.

“Bupati pernah menyampaikan pertambangan harus berhenti. Sampai sekarang MMP terus beroperasi.”

Jull Takaliuang, direktur Yayasan Suara Nurani (YSN) Minaesa, mengatakan, penegakan hukum kepolisian hanya pada masyarakat. Tidak kepada perusahaan tambang dan bupati.

Dalam kasus ini, kepolisian memainkan dua peran berbeda. Kepada perusahaan tambang, polisi memberi pengamanan. Kepada masyarakat, polisi sebagai penegak hukum.

“Di sini, kita melihat anehnya institusi negara. Harusnya dua tugas bersamaan dan adil. Bukan terpisah.” Padahal, MMP melanggar hukum. “Mereka tidak mematuhi hukum di Indonesia. Kok, malah dibela?”

Warga Pulau Bangka, ikut bersolidaritas atas rekan-rekan mereka yang diperiksa kepolisian. Foto: Save Bangka Island
Warga Pulau Bangka, ikut bersolidaritas atas rekan-rekan mereka yang diperiksa kepolisian. Foto: Save Bangka Island

Menurut Takaliuang, permasalahan ini membuat upaya-upaya menyelamatkan warga Bangka tidak bisa lagi di pemerintah daerah. Mereka akan memperjuangkan kasus ini hingga ke nasional maupun internasional.

“Perasaan dan mata hati pemerintah daerah sudah tertutup. Kami akan terus menunjukkan bukti-bukti pelanggaran yang mereka buat.”

Perwakilan warga menyatakan,  setelah syukuran di Desa Kahuku, Sabtu (12/7/14), masyarakat pergi ke basecamp MMP untuk membacakan surat perintah eksekusi PTUN Manado. Namun, dilempar batu oleh warga Desa Ehe diduga sudah dihasut MMP. Perayaan ini murni inisiatif warga. Mereka juga membantah pernyataan kepala desa acara dibiayai pihak luar.

Seruan Bebaskan Warga dan Laksanakan Putusan MA

Organisasi lingkungan fokus advokasi tambang, Jatam  menyerukan kepada masyarakat di Indonesia berpartisipasi mengirimkan pesan kepada pejabat daerah dan Polda maupun Polres Minahara Utara di Sulut, agar membebaskan dua warga yang ditangkap, dari segala tuduhan.  “Serta mendesak Bupati, Gubernur dan Kepolisian menghormati dan melaksanakan keputusan pengadilan,”  bunyi seruan itu.

Menurut Jatam, seharusnya, kepolisian ikut melaksanakan putusan yang sudah berkuatan tetap itu. Begitu juga pemerintah daerah. Namun, Bupati Minut, Sompie Singgal, dan Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang, justru mengabaikan perintah PTUN Manado untuk mengeksekusi putusan MA.

Sebelum itu, Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka, mengeluarkan pernyataan menyayangkan sikap TNI/polri yang tak netral dan represif. Wahyu Nandang Herawan, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, mengatakan, keberadaan TNI/Polri selama ini di Pulau Bangka patut dipertanyakan.

Terkait warga luka-luka dalam bentrok pekan lalu, katanya,  aparat TNI/Polri dan pihak manapun hingga menyebabkan jatuh korban harus bertanggung jawab.

Ki Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, mengatakan. sikap bupati dan gubernur yang bersikukuh mempertahankan pertambangan Bangka merupakan pembangkangan terhadap hukum. “Jaminan keselamatan dan ruang hidup warga seharusnya lebih diutamakan ketimbang kepentingan investor.”

Edo Rakhman, pengkampanye Walhi Nasional, menilai Pemerintah Minut dan Sulut dengan sengaja melemahkan hukum di Indonesia. “Jika bupati dan gubernur di Indonesia berperilaku seperti Sompie dan Sarundajang, bisa dipastikan tidak akan ada gunanya lagi lembaga Mahkamah Agung di Indonesia.”

Menurut dia, warga ingin memperkuat posisi negara dengan penegakan hukum. “Justru pemerintah daerah sengaja melemahkan dengan mengorbankan rakyat.”

Warga Pulau Bangka, penolak tambang luka-luka terkena pukulan kala bentrok dengan warga pro tambang. Foto: Save Bangka Island
Perairan Pulau Bangka yang indah, biasa menjadi tujuan turis menyelam melihat surga laut bakal terancam dengan kehadiran tambang. Kehidupan nelayan pun terancam jika ekosistem laut rusak. Mengapa pemerintah daerah begitu kekeuh mempertahankan tambang meskipun warga banyak menolak? Bahkan, putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga, hingga izin tambang harus dicabutpun tak digubris Pemerintah Minahasa Utara. Ada apa? Foto: Save Bangka Island
Pemandangan hijau nan teduh bakal musnah kala tambang berhasil menguasai separuh Pulau Bangka ini. Foto: Save Bangka Island
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,