Harimau Dunia Diperkirakan Punah Pada 2020. Benarkah?

Ada yang menarik pada lebaran tahun ini, karena hari kedua lebaran pada 29 Juli 2014, bertepatan dengan peringatan Global Tiger Day alias Hari Harimau Internasional.

Oleh karena itu, belasan anak muda relawan dari berbagai organisasi lingkungan yang tergabung dalam komunitas Tiger Heart Riau memperingati Hari Harimau Internasional lebih awal yaitu pada hari Selasa (23/07/2014). Dalam aksi yang dipusatkan di Bundaran Keris, Jalan Pattimura, Pekanbaru Selasa kemarin, para relawan  membawa yang bertuliskan seruan penghentian penghancuran habitat harimau Sumatra di Riau dan pemberantasan perdagangan organ tubuh harimau. Dalam aksinya, mereka merias wajah menyerupai muka harimau sumatera.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) menjadi spesies terakhir harimau di Indonesia, setelah harimau Jawa dan harimau Bali dinyatakan punah oleh IUCN. Kucing besar Sumatera ini pun terancam punah dengan kerusakan habitat hidup mereka, seperti perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri di wilayah-wilayah hutan lebat di Sumatra terutama di Riau, Aceh, Jambi dan Palembang. Sejumlah LSM mengkaitkan perusahaan-perusahaan konsumen ternama dengan kepunahan harimau ini karena memperoleh pasokan dari sumber-sumber yang menghancurkan habitatnya.

Sementara secara global, hanya tinggal enam jenis harimau termasuk harimau Sumatera dari sembilan jenis harimau di dunia. Dan setahun terakhir, tercatat 274 ekor harimau mati di dunia dan sisanya bertahan hidup di bawah ancaman ekspansi perkebunan/pertanian dan pemukiman manusia.

Dalam laman kampanye konservasi harimau global www.tigerday.org yang dikelola sejumlah LSM internasional seperti WWF, berdasarkan data yang diperkirakan para ahli, jumlah individu harimau atau kucing besar pada tahun 2014 hanya 3.000 ekor menurun dari tahun sebelumnya sebanyak 3.274 ekor. Dan kekhawatirannya dalam lima tahun mendatang bisa saja populasinya punah.

Tabel: Penurunan Jumlah Harimau Sumatera
Tabel: Penurunan Jumlah Harimau Sumatera

Ancaman kepunahan itu dikarenakan hilangnya 93 persen habitat alam harimau karena perluasan pemukiman dan pertanian oleh manusia. Manusia dan harimau saling berebut ruang yang juga mendorong resiko pada kehidupan harimau. Selain itu perubahan iklim juga dinilai menjadi faktor yang menekan populasi mereka seperti yang dialami populasi terbesar harimau Bengal di hutan mangrove di pesisir utara laut India-Banglades. Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim mengancam rusaknya hutan-hutan tersebut dan habitat terarkhir yang tersisa dari populasi harimau Bengal.

“Tercatat, hampir semua anak jenis harimau dikategorikan kedalam status Critically Endangered dalam Red List IUCN yang merupakan sebuah organisasi internasional untuk konservasi keanekaragaman hayati,” kata koordinator relawan Tiger Heart Riau, Febri Anggiawan Widodo kepada Mongabay di Pekanbaru.

Febri menambahkan kucing belang berbadan besar ini mendiami kawasan luas yang tercatat di daratan Asia dari kawasan gurun timur tengah, kawasan bersalju Siberia, hingga hutan tropis di Asia Tenggara dan satunya di Sumatra, Indonesia. Tercatat sembilan anak jenis yang ada dan tersisa hanya enam anak jenis, salah satu harimau Sumatra dan dua anak jenis lain sudah punah yaitu harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica).

Jumlah minimal berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga adalah sekitar 250 individu dewasa, di delapan dari setidaknya 18 kawasan yang disinyalir memiliki harimau Sumatera,” ujarnya.

Tiger Heart Riau merupakan komunitas relawan peduli harimau yang terdiri dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH), Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) Universitas Riau, Komunitas Earth Hour, Forum Harimau Kita, Greenpeace, WWF – Indonesia, dan berbagai lembaga atau komunitas lainnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,