Ratusan Monyet Ekor Panjang Berkeliaran di Bagus Kuning. Siapa yang Awasi?

Selama Ramadhan, warga Palembang tiap sorenya mengunjungi Bagus Kuning, Kecamatan Plaju, Palembang, Sumatera Selatan. Sambil menunggu waktu berbuka, mereka berinteraksi dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di sana. Sebagian besar memberikan makan berupa kacang tanah, pisang, maupun roti. Monyet-monyet ini bukan hanya berkeliaran di lapangan golf, tapi juga bermain di Stadion Patrajaya Pertamina.

Disebut “Bagus Kuning” karena di sana ada kuburan Ratu Bagus Kuning, pemakaman tua era Kerajaan Palembang. Lokasinya di tepi Sungai Musi, tepatnya di timur Palembang Ulu, atau sekitar lima kilometer dari Jembatan Ampera.

Rabu (23/7/2014) sore, di lapangan tempat final sepak bola PON XVI, yang melahirkan juara bersama Persipura dan Jawa Timur, monyet-monyet itu bermain di tribun utamanya. Tribun stadion itu, layaknya rumah mereka. Mereka berlari, bergelantungan, bercumbu, mencari kutu, ada juga yang menyusui anaknya. Tidak heran, aroma pesing menempel di tribun itu.

“Bukan hanya bulan puasa, hari biasa juga masyarakat yang mengunjungi tempat ini akan memberi makan monyet-monyet,” kata Muhammad Nasir (58), juru kunci pemakaman Ratu Bagus Kuning. Para pengunjung, tidak hanya melihat monyet, sebagian juga berziarah yang diyakini dapat membantu prosesi doa kepada Tuhan.

Makam keramat

Di masa Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang, kawasan ini merupakan hutan yang  didiami satwa khas Sumatera seperti harimau, gajah, tapir, dan monyet. Masyarakat hanya menetap di tepian Sungai Musi. Itu pun bukan penduduk asli, melainkan para pendatang seperti Arab (Yaman), Tionghoa, India, dan masyarakat Uluan.

Sebagian besar masyarakat asli—Melayu Palembang—bersama orang Belanda menetap di Palembang Ilir yang dekat dengan pusat pemerintahan dan perdagangan. Namun, sejak ditemukannya sumur minyak di Telaga Tunggal pada 1885, perusahaan Shell asal Belanda mendirikan kilang Plaju pada 1903. Luasan eksplorasinya mencapai 230 hektar.

Kawasan makam Ratu Bagus Kuning yang kena dampaknya.  Hutan di sekitar makam itu pun ditebang. Setelah sumur tidak produksi lagi, Pemerintahan Indonesia menjadikannya sarana olahraga dan perumahan karyawan Pertamina. Sementara, pemakaman Ratu Bagus Kuning tidak diganggu karena dianggap tempat keramat.

Lantaran banyak pohon ditebang, monyet-monyet itu berkumpul di sekitar makam yang masih ditumbuhi sepuluh pohon. Pemakaman yang dibatasi pagar ini panjangnya 50 meter dan lebar 33 meter. Selain makam Bagus Kuning, di sini dimakamkan juga 13 orang sakti pengikut Ratu Bagus Kuning yaitu Penghulu Gede, Datuk Buyung, Kuncung Mas, Panglima Bisu, Panglima Semut, Panglima Api, Syech Ali Akbar, Syech Maulana Malik Ibrahim, Bujang Juaro, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Syech Usman, dan Syech Idrus.

Kebenaran 13 makam ini masih menjadi perdebatan. Sebab, ada pemakaman tua di Palembang yang juga mengklaim terdapat makam Kuncung Mas seperti di pemakaman Sabokingking, Bujang Juaro yang diklaim masyarakat di Seblat, Bengkulu Utara, serta makam Syech Maulana Malik Ibrahim di Gresik.

Di luar kebenarannya, keberadaan pemakaman tersebut membuat monyet-monyet ekor panjang di sana tetap terjaga seratus tahun lebih sejak dilakukan eksplorasi minyak bumi. Tidak ada yang berani mengganggu, apalagi ditangkap untuk dibunuh.

Nasir, yang menjadi juru kunci makam sejak 1988, menjelaskan bahwa Ratu Bagus Kuning hidup sekitar pertengahan abad ke-16. Ratu Bagus Kuning merupakan gelar, nama aslinya Putri Mulia Syarifah Mahani. Masih keturunan Syaidi Syech Zain Al-Abid Yaman (Syech Zainal Abidin Madinah RA Putra Syaidina Husain RA Putra Syaidina Ali Karamullah Wajha dengan istri pertama Siti Fatimah Az Zahro binti Muhammad SAW).

Di Palembang dia melakukan syiar agama Islam. Para monyet tersebut dipercaya merupakan pasukan siluman monyet yang ditaklukkannya, dan akhirnya mengabdi ke Ratu Bagus Kuning.

Sementara catatan sejarah, nama Bagus Kuning disebutkan sebagai seorang pangeran Palembang yang turut berjuang melawan VOC pada 1658. Namanya Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, adik Pangeran Ario Kusuma Abdulrochim Kiayi Mas Endi. Merupakan sultan pertama Kesultanan Palembang, setelah Kerajaan Palembang hancur diserang Belanda.

Tinjauan sejarah ini lebih diterima, sebab saat berperang melawan VOC, pusat kota Palembang berada di Kuto Gawang, yang kini menjadi lokasi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang.

Komplek Makam Ratu Bagus Kuning, di pohon dalam makam inilah monyet-monyet menetap. Foto: Deddy Pranata
Komplek Makam Ratu Bagus Kuning, di pohon dalam makam inilah monyet-monyet menetap. Foto: Deddy Pranata

Terancam punah dan ancaman penyakit

Monyet di Bagus Kuning terbagi dua kelompok: di dalam dan di luar pemakaman. Keduanya tidak akur, sering berkelahi. Tidak jelasnya jumlah monyet ini, lantaran belum ada penelitian.

“Setahu saya belum pernah dilakukan penelitian terhadap monyet di Bagus Kuning,” kata Dr. Mulawarman, ketua Pusat Studi Satwa dari Universitas Sriwijaya, Rabu (23/7/2014) malam.

Pihaknya pernah mengajukan program penelitian dengan Pertamina tapi tidak mendapat dukungan. “Termasuk pula dengan PT Pusri (Pupuk Sriwidjaja), sebab monyet-monyet itu sebagian bermigrasi ke ruang hijau milik PT Pusri,” ucap Mulawarman.

Tapi, perkiraannya, sebagai sebuah kelompok, maksimal monyet yang berada di Bagus Kuning sekitar 300 ekor. Kalau dua kelompok masing-masing  sekitar 150 ekor.

Kalaupun jumlahnya terkesan sama setiap tahun, lantaran monyet-monyet ini melakukan migrasi atau berpindah. Jika populasinya meningkat, sebagain berenang menyeberangi Sungai Musi, dan masuk ke lokasi ruang terbuka hijau atau Green Barrier PT Pusri. Atau, pergi ke arah timur dan selatan Bagus Kuning, seperti ke Ogan Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin.

Dijelaskan Mulawarman, keberadaan monyet-monyet tersebut berpotensi membawa bibit penyakit. “Misanya rabies. Termasuk kemungkinan virus Ebola yang menurut peneliti luar ditemukan pada monyet juga selain kelelawar,”.

Di Sumatera Selatan pada wilayah tertentu, jumlah monyet berekor panjang yang dilindungi ini berkurang. Mulawarman mencontohkan yang dialami perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Musi Hutan Persada. Lantaran kehilangan habitatnya, sekitar 1.000 ekor monyet hidup di tengah perkebunan dengan memakan kulit akasia.

“Perusahaan minta saran kami. Saran kami adalah perusahaan membuat habitat bagi monyet-monyet tersebut. Membuat kawasan yang ditanami pohon hutan yang memiliki buah dengan kandungan vitamin C yang tinggi, termasuk pisang. Kami yakin monyet-monyet itu akan pindah dan meninggalkan perkebunan akasia,” jelasnya.

Pengunjung memberikan makan kepada monyet ekor panjang berupa kacang tanah, pisang, atau roti. Foto: Deddy Pranata
Pengunjung memberikan makan kepada monyet ekor panjang berupa kacang tanah, pisang, atau roti. Foto: Deddy Pranata

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,