,

Kaltim Kembangkan Kerangka Pengaman Sosial dan Lingkungan REDD+

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan yang terluas di dunia, turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim, yaitu dengan penerapan skema REDD+ atau Reducing emissions from deforestation and forest degradation.  REDD+ merupakan skema kegiatan untuk mengurangi deforestasi dan  degradasi hutan, serta pemeliharaan simpanan karbon (carbon stock) melalui konservasi, pengelolaan hutan lestari (sustainable management of forest) dan rehabilitasi/restorasi kawasan.

Kegiatan REDD+ diharapkan agar terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, peningkatan kelestarian sumber keanekaragaman hayati, baik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat, dan perbaikan tata kelola kehutanan.

Untuk mencegah timbulnya resiko secara sosial dan lingkungan dalam pelaksanaan REDD+, maka Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-16 UNFCCC di Cancun, Meksiko pada 2010, menetapkan kerangka pengaman (safeguards) REDD+ yang terdiri dari tujuh prinsip, meliputi: (1) mendukung/konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional dan kesepakatan internasional terkait, (2) tata-kelola kehutanan yang  transparan dan efektif, (3) menghormati hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, (4) partisipasi pemangku kepentingan secara penuh, (5) konsisten dengan konservasi hutan, (6) mencegah resiko balik (reversals), dan (7) adanya aksi mengurangi pengalihan emisi.

Dalam menerjemahkan mandat kesepakatan tersebut, Indonesia mengembangkan Prinsip, Kriteria dan Indikator Safeguards (PRISAI) REDD+ Indonesia melalui Satuan Tugas (Satgas) REDD+, yang sekarang diadopsi oleh Badan REDD+, serta Sistem Informasi Safeguards (SIS) melalui Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan RI. Sementara, Lembaga Ekolabel Indonesia, dengan dukungan REDD+ SES, mengembangkan Safeguards Sosial dan Lingkungan (SSL) REDD+.

Safeguard Sosial dan Lingkungan REDD+ merupakan kebijakan dan langkah-langkah yang mengadaptasi dan mengintegrasikan prinsip-prinsip lingkungan dan sosial ke dalam program/ proyek, untuk mencegah dan mengurangi kerugian yang tidak perlu pada lingkungan dan masyarakat sedini mungkin. Pada tingkat prinsip dan kriteria, standar yang digunakan adalah generik (sama di semua negara).

Namun, pada tingkat indikator, terdapat proses untuk penafsiran spesifik tergantung negara, guna menyusun seperangkat indikator yang disesuaikan dengan konteks negara tertentu ‘penafsiran tergantung negara’ mengacu pada penafsiran di tingkat yurisdiksi dari pemerintah yang menjalankan program REDD+.

“Sejak tahun 2012, Provinsi Kalimantan Timur, melalui Kelompok Kerja REDD+ Kalimantan Timur (Pokja REDD+ Kaltim), telah berupaya untuk mempertajam kerangka pengaman di level provinsi.” ungkap Fadjar Pambudhi, Koordinator Kelompok Kerja MRV (monitoring, reporting and verification) Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur (DDPI).

Dari hasil identifikasi awal, terdapat sebelas isu penting Kalimantan Timur terkait sosial dan lingkungan hidup, yaitu: (1) hak atas lahan dan wilayah, (2) hak atas sumberdaya alam, (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat, (4) partisipasi masyarakat baik masyarakat adat/lokal atau kelompok rentan/marginal, termasuk isu gender, (5) pengakuan dan penghargaan kekayaan pengetahuan tradisional, (6) konservasi keragaman hayati dan ekosistem, (7) tata kelola hutan, (8) pembagian manfaat (benefit sharing), (9) pencegahan terjadinya kebocoran (leakage), (10) pencegahan resiko balik, dan (11) transparansi dan akuntabilitas.

Selanjutnya, Pokja REDD+ Kaltim telah mengembangkan Indikator SSL REDD+ agar sesuai dengan isu penting dan kebutuhan Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, yang terdiri dari 7 prinsip, 23 kriteria 54 indikator. Adapun prinsip-prinsip yang dikembangkan tersebut, adalah: (1) hak atas lahan, wilayah  dan sumber daya alam  diakui dan dihormati  oleh program REDD+, (2) manfaat  program REDD+ dibagi secara adil  diantara semua pemangku hak dan pemangku kepentingan  yang relevan, (3) program REDD+ bertujuan untuk meningkatkan jaminan mata pencaharian jangka panjang program  dan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat setempat dengan perhatian khusus ditujukan kepada kelompok perempuan dan kelompok yang paling rentan (4) program REDD+ berkontribusi terhadap kepemerintahan yang baik , pembangunan berkelanjutan yang lebih luas dan keadilan sosial, (5) program REDD+ melestarikan dan meningkatkan  keanekaragaman hayati dan jasa, (6) semua pemangku hak dan pemangku kepentingan yang relevan berpartisipasi secara penuh dan efektif  dalam program REDD+,  dan (7) program REDD+ tunduk pada hukum lokal  dan nasional yang berlaku serta pada perjanjian, konvensi, dan instrumen internasional lainnya.

Fadjar menambahkan, “Pokja REDD+ Kaltim juga telah melakukan ujicoba penerapan SSL REDD+ di tiga kabupaten, yaitu Kutai Kartanegara, Paser dan Berau. Dan saat ini, kami sedang membuka masukan bagi perbaikan indikator yang telah dibuat”. Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini sedang dalam proses penyiapan program REDD+ pada tingkat tapak di kawasan Mahakam Tengah, Kabupaten Paser masih belum mempersiapkan program khusus terkait REDD+, dan Kabupaten Berau merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang melaksanakan program REDD+ berbasis yurisdiksi.

Dari hasil ujicoba SSL REDD+ Kaltim, ditemukan bahwa dokumen-dokumen yang dapat berisikan kebutuhan verifikasi, seperti RPJM (rencana pembangunan jangka menengah), RKPD (rencana kerja pemerintah daerah) , AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), KLHS (kajian lingkungan hidup strategis) , RTRW (rencana tata ruang wilayah), PHPL (pengelolaan hutan produksi lestari), HCVF (high conservation values forest), dan RKT FMU (rencana kerja tahunan forest management unit), tersedia, walaupun tidak terdistribusi secara terbuka pada para pihak, terutama kepada masyarakat.

Mekanisme keterbukaan informasi bagi publik melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kabupaten dan PPID pembantu di SKPD, kelembagaan pengelolaan REDD+ masih belum menyeluruh, hanya terfokus pada institusi kehutanan, dan dokumentasi hukum-hukum lokal belum dilakukan, termasuk belum dilakukannya pengelolaan di level kabupaten terhadap peraturan perundangan terkait REDD+.

Rahmina, anggota tim penyusun SSL REDD+ Kaltim mengatakan kabupaten-kabupaten yang diujicoba masih belum terlampau siap memenuhi prinsip, kriteria dan indikator kerangka pengaman REDD+, terutama dalam pendokumentasian dan penyiapan data-data pendukung.  “Masih dibutuhkan pengembangan peraturan dan kebijakan daerah dalam memberikan pengaman sosial dan lingkungan terkait REDD+,” katanya.

Pokja REDD+ Kaltim masih membuka ruang bagi masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan prinsip, kriteria dan indikator kerangka pengaman  REDD+ Kalimantan Timur. Dokumen lengkap SSL REDD+ Kaltim dapat diakses di laman Pokja REDD+ Kaltim, yaiut http://reddkaltim.or.id dan dapat menyampaikan masukannya melalui email [email protected]. “Kami masih menunggu masukan hingga 31 Agustus 2014 untuk memperkuat kerangka pengaman sosial dan lingkungan REDD+ di Kalimantan TImur,” tambah Fadjar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,