,

Penuhi Tuntutan Global, Cargill Janjikan Kebijakan Sawit Tanpa Merusak Hutan

Perkebunan sawit di Indragiri Hulu. Propinsi Riau adalah propinsi dengan perkebunan sawit terbesar di Indonesia dengan 1.4 juta hektar lahan. Foto: Aji Wihardandi

Perkebunan sawit di Indragiri Hulu. Propinsi Riau adalah propinsi dengan perkebunan sawit terbesar di Indonesia dengan 1.4 juta hektar lahan. Foto: Aji Wihardandi

Setelah dikritik selama tujuh tahun oleh LSM lingkungan internasional Rainforest Action Network (RAN), akhirnya Cargill, importir terbesar minyak sawit ke Amerika, satu dari pedagang komoditas terbesar dunia dan produsen minyak sawit akhirnya berjanji untuk menjalankan sebuah “kebijakan kelapa sawit berkelanjutan”.

Cargill berjanji untuk membangun keterbukaan rantai pasokan minyak sawit yang dapat dilacak, terutama untuk tidak berhubungan dengan para penyuplai mereka yang terkait dengan penggundulan hutan dan perusakan gambut. Selain bebas dengan deforestasi, Cargill juga berjanji untuk tidak terlibat dengan eksploitasi terhadap hak-hak warga pribumi dan masyarakat setempat.

Dalam komitmen no deforestasi-nya, Cargill akan menggunakan pendekatan Karbon Stok Tinggi (HCS) yang diperkenalkan oleh Greenpeace, LSM internasional yang akhir-akhir ini turut menyoroti peran Cargill dalam penghancuran hutan habitat di Indonesia. Begitu juga dengan tetap memastikan tidak membangun di wilayah hutan yang bernilai konservasi tinggi (HCVs / high conservation values).

Perusahaan asal Amerika itu juga berjanji melindungi gambut dan tanah yang lebih dari 65 persennya mengandung materi organik. Untuk penerapan ini mereka akan bekerja dengan para ahli untuk menelusuri pilihan definisi gambut, pemulihan atau pengunaan alternatif di wilayah yang tidak sesuai untuk penanaman.

Terkait dengan eksploitasi atau konflik sosial, Cargill melarang tindakan ilegal, pemaksaan dan mempekerjakan anak di dalam wilayah operasinya di mana pun di seluruh dunia. Mereka juga akan menghormati hak-hak masyarakat asli dan lokal dengan prinsip bebas tanpa paksaan (free prior inform consent / FPIC).

Komitmen ini mendapat tanggapan jauh lebih positif dibandingkan pada April 2014 lalu. Pada awal April lalu, Cargill mengirim surat kepada RSPO, lembaga sertifikasi standar kelapa sawit dunia yang menyatakan tengah memperbaharui kebijakan keberlanjutannya. Namun komitmen ini ternyata baru sebatas informal menanggapi laporan Greenpeace yang mengaitkan produk minyak sawit yang dihasilkan Cargill dan dijual kepada Procter & Gamble telah menghancurkan hutan hujan di Kalimantan dan Sumatra.

Pada awal  pekan ini, Cargill secara resmi mengumumkan komitmen yang lebih maju untuk lebih transparan dan terlacak. RAN menyatakan langkah ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah bergerak, namun di saat yang sama menyebut terlalu dini mengatakan bahwa Cargill telah berhasil mengubah dirinya dari bentuk bisnis menjadi penyuplai kelapa sawit lestari yang dapat dipercaya.

“Termasuk batas waktu yang ambisius untuk menghentikan konflik kelapas awit, rencana implementasi dan rincian pengawasan independen. Cargill harus menjawab kelemahan penting dalam janji barunya,” demikian disampaikan RAN dalam rilisnya.

Senada dengan RAN, melalui Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace, Bustar Maitar menyebut bahwa langkah Cargill ini sebagai sinyal berakhirnya peran perusahaan global ini dalam deforestasi Indonesia.

“Tentu saja kebijakan ini merupakan langkah awal yang sangat penting. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaannya secara kredibel, sehingga kebijakan tersebut mampu membawa suatu perubahan yang nyata bagi industri minyak sawit,” kata Bustar.

Greenpeace juga mengatakan bahwa komitmen Cargill ini muncul setelah pengumuman Manifesto Minyak Sawit Berkelanjutan (SPOM) pada akhir bulan lalu di mana sejumlah produsen besar minyak sawit yang menjadi bagian dari SPOM menunda komitmen nyata untuk mengakhiri deforestasi. Berbeda dengan SPOM, Cargill justru secara eksplisit berkomitmen untuk mengimplementasikan pendekatan HCS yang telah dikembangkan – sebagaimana yang telah dipelopori oleh Golden Agri-Resources, The Forest Trust dan Greenpeace. Ini adalah sebuah langkah penting untuk memastikan bahwa rantai pasok Cargill tidak terkait dengan deforestasi.

“Kebijakan ini adalah sebuah langkah yang tepat, tetapi tenggat waktu yang lebih jelas sangat dibutuhkan dalam ketaatan pelaksanaannya, selain itu juga adalah rencana aksi untuk verifikasi yang independen,” tambah Bustar. “Dalam kedua hal tersebut, kebijakan ini masih kurang kuat apabila dibandingkan dengan kebijakan serupa pada akhir tahun lalu yang dikeluarkan oleh Wilmar, salah satu pesaing Cargill”.

Selain itu, kelemahan dalam kebijakan Cargill adalah antara lain kurangnya perlindungan terhadap ketahanan pangan, termasuk pengawasan lokal dan keragaman produksi pangan serta bagaimana kebijakan ini akan diterapkan di tiap perkebunan yang akan dibangun oleh Cargill pada masa yang akan datang.

Baik RAN maupun Greenpeace mengaku akan terus memantau rencana aksi Cargill secara kritis yang diharapkan akan diumumkan akhir tahun ini dengan mencakup rincian bagaimana menjalankan kebijakan ini di seluruh operasinya di seluruh dunia, termasuk tenggat waktu implementasi yang ketat.

“Berhenti membeli produk yang mengandung konflik kelapa sawit dari perusahaan-perusahaan kontroversial,” tegas RAN.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,