Minggu (3/8/14), tiga baliho baru muncul di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Baliho-baliho itu dipasang di tiga titik yaitu Jalan Raya By Pass Ngurah Rai, pertigaan Jalan Toyaning, dan depan pertokoan Benoa Square.
Baliho ketiga dipasang dengan iringan demonstran. Sekitar 100 warga, laki-laki dan perempuan, berpakaian adat madya mengiringi pemasangan baliho ini. Berkaos putih bertuliskan,”Kedonganan Tolak Reklamasi.”
Berjalan sekitar 200 meter dari pertigaan Jalan Toyaning ke Benoa Square, warga bernyanyi dan berorasi. Musik tradisional bleganjur dan lagu-lagu Tolak Reklamasi mengiringi perjalanan.
“Reklamasi….” teriak koordinator lapangan I Dewa Ketut Subamia berdiri di mobil terbuka.
“Tolaaaaak,” sahut warga bersamaan.
Mereka mengepalkan tangan kiri ke udara.
Kedonganan, salah satu desa yang mengelilingi Teluk Benoa. Ada pula desa lain seperti Desa Serangan, Tuban, Kelan, Bualu, dan lain-lain. Desa-desa ini mengelilingi kawasan teluk sekitar 1.373 hektar.
Lokasi Teluk Benoa strategis hingga menjadi incaran banyak investor. Salah satu PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Perusahaan akan membangun pusat pariwisata sekelas Walt Disney. Untuk mewujudkan itu, perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan mereklamasi teluk seluas 800 hektar.
Niat TWBI menimbulkan ketakutan pada warga desa sekitar Teluk Benoa. “Kami tidak mau daerah kami kebanjiran,” kata I Gede Sudiana, ketua Forum Pemerhati Pembangunan Bali (FPPB) Desa Kedonganan.
Tak hanya itu. Reklamasi akan mematikan kehidupan nelayan. Ada sekitar 200 warga Kedonganan menjadi nelayan di Teluk Benoa. Pembangunan pusat pariwisata baru di Teluk Benoa, katanya, juga akan mematikan sumber pendapatan warga. Kedonganan, selama ini menjadi pusat restoran khas ikan laut. Restoran-restoran milik warga berderet di sisi barat pantai yang menghadap ke arah Bandara Ngurah Rai Bali itu.
“Kalau ada pusat pariwisata baru, apalagi didukung kapital lebih besar, kami yakin tempat wisata kami akan mati, kalah bersaing.”
Pemerintah Badung dan Bali, harus menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. “Kami tidak menolak pariwisata. Kami hanya berharap pembangunan pariwisata dikembangkan ke daerah lain di Bali seperti bagian timur atau utara. Bali Selatan sudah penuh fasilitas pariwisata,” katanya.
Takut Abrasi
Sebelumnya, penolakan muncul dari Desa Tanjung Benoa, Kelan, Sanur, Suwung, dan Sukawati. Penolakan itu dikoordinir para pemuda.
Di Desa Kelan, di sebelah Bandara Ngurah Rai, misal, muncul baliho di pinggir jalan. Tulisannya,” Desa Kelan Menolak Reklamasi. Melawan atau Tenggelam.”
Di Suwung, baliho serupa di pinggir Jalan By Pass Ngurah Rai. “Jangan Tenggelamkan Kami Bapak Presiden SBY. Bali Tolak Reklamasi Batalkan Perpres No. 51/2014.” Tak beda di Sukawati, Gianyar, berjarak 20 km dari Teluk Benoa.
Kadek Tila, pemuda pemasang baliho menuturkan, menolak reklamasi karena khawatir desa akan kena abrasi. “Sekarang sudah abrasi, apalagi kalau reklamasi jadi,” kata Tila, pemilik agen perjalanan.
Menurut Tila, desa-desa di sisi selatan Gianyar rentan terkena dampak reklamasi Teluk Benoa. Pantai-pantai selatan di kecamatan ini antara lain Pantai Ketewel, Purnama, dan Lebih, bisa terkena abrasi parah.
Hingga awal 1990-an, pantai di daerah ini masih menjorok ke lautan. Begitu ada reklamasi di Pulau Serangan milik PT Bali Turtle Island Development (BTID) milik Bambang Trihatmodjo pada 1994, daerah ini terkena abrasi. Bangunan-bangunan seperti kafe, wantilan, dan rumah warga kini hancur akibat abrasi.
“Jika reklamasi Teluk Benoa, habislah pantai di desa kami. Reklamasi tak hanya mengancam desa-desa di sekitar juga pantai-pantai lain di Bali.”
Penolakan-penolakan warga spontan, seperti di Kedonganan. Ada pula yang berkoordinasi dengan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali).
Menurut koordinator ForBali Wayan Gendo Suardana, hingga kini ada 13 komunitas Bali yang menyuarakan penolakan.
Komunitas-komunitas ini tersebar di sembilan desa di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. “Suara-suara perlawanan itu menunjukkan reklamasi Teluk Benoa memang masalah bagi warga Bali.”