,

Budaya Kelola Lahan dengan Pembakaran Sudah Ada di Sumsel. Bagaimana Caranya?

Budaya pengelolaan lahan dengan pembakaran terkendali sudah ada di Sumatera Selatan (Sumsel), jauh sebelum munculnya peraturan pemerintah tentang pelarangan penggunaan api untuk pembukaan lahan.

Syafrul Yunardy, Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama Palembang, dalam penelitiannya tentang Mitigasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera Selatan, menyebutkan dalam kitab Oendang-oendang Simboer Tjahaja yang telah ada abad ke-17, sudah di kenal sistem kekas. Sistem ini merupakan pembukaan lahan baru menggunakan api yang terkendali. Tujuannya, untuk menanam maupun meremajakan tanaman perkebunan dengan tanaman yang baru.

Simboer Tjahaja merupakan hukum adat tertulis di Kesultanan Palembang Darussalam yang diberlakukan hingga awal kemerdekaan. “Simboer Tjahaja cerminan kearifan lokal Sumatra Selatan masa lalu yang mengatur banyak hal, salah satunya tentang tata cara pembakaran lahan terkendali di dataran rendah mulai dari lokasi pembakaran, perizinan dan pelaporan, serta sanksi-sanksi, ”kata Syafrul.

Simboer Tjahaja  pasal 53 menyebutkan: “Jika orang membuka ladang atau kebun hendaklah sekurang-kurangnya 7 depa dari jalan besar, siapa saja melanggar dihukum dengan denda sampai 6 ringgit secara bagian dari ladang atau kebunnya yang sudah masuk ukuran depa tidak boleh 2 jukan”.

Demikian pula di pasal 54: “Barang siapa akan membakar ladang hendalah waktunya ia beritahu lebih dahulu pada proatingnya serta pukul canang sekaligus dusun, maka siapa melanggar dihukum denda sampai 12 ringgit serta harus mengganti harga tanduran yang mutung. Jika kekasnya sudah dibuat lebar 7 depa dan telah diterima orang yang punya kebun, maka itu kebun angus juga tidak lagi ia kena akan denda ganti kerugian”.

Pengaturan sanksi tertera pada pasal 55: “Jika membakar ladang lantas api melompat ke hutan lantaran kurang jaga, maka yang salah di denda sampai 12 ringgit”.

Nur Arifatul Ulfa, peneliti pada Badan Penelitian Kehutanan Palembang, menyayangkan akan Undang-undang Siboer Tjahaja yang sudah tidak diberlakukan lagi.

“Padahal, secara subtansi masih relevan untuk di kembangkan masa kini. Keseimbangan peradatan dan pengaruhnya sampai saat ini masih membekas pada kehidupan masyarakat tempat berlakunya,” katanya.

Kebijakan formal pelarangan pembakaran terdapat dalam  3 (tiga) Undang-undang dan 1 (satu) Peraturan Pemerintah, yakni UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 mengatur pelarangan membakar hutan; UU RI No 32 tahun 2009 tentang Kehutanan pasal 29 ayat 1; dan juga pada PP No 4 Tahun 2001 pasal 11.

Jika dilihat, ada celah untuk melakukan pembakaran terbatas yang terdapat pada UU No 32 tahun 2009. Kearifan lokal di sini dapat melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal dua hektar per kepala keluarga, untuk ditanami varietas lokal dan di kelilingi sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekeliling.

Celah melakuan pembakaran terkendali lainnya ada pada penjelasan 52 PP No 4 tahun 2001 yang meyatakan, kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang atau kebun dapat menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk itu, perlu dilakukan pencegahan melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah masing-masing seperti melalui peningkatan kesadaran masyarakat.

Menurut Syafrul, tata nilai dan aturan lokal perlu diakomodir seperti dalam peraturan desa. “Pengakuan terhadap budaya, hak, dan inisiatif lokal dalam penggunaan api akan membantu mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan”.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pembakaran lahan masih dipandang efektif oleh petani kecil. Pembukaan lahan dengan pembakaran dianggap menguntungkan seperti lebih mudah dan cepat, hemat tenaga dan biaya, juga menyuburkan tanah.

Diagram Fishbone penyebab konflik penggunaan api. Sumber: Syafrul Yunardi dan Nur Arifatul Ulfa.
Diagram Fishbone penyebab konflik penggunaan api. Sumber: Syafrul Yunardi dan Nur Arifatul Ulfa.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,