,

Soal Amdal Tambang Semen di Rembang, Ini Kata Pakar Hukum Lingkungan

Warga Rembang, Jawa Tengah, terutama para perempuan, sudah lebih sebulan aksi ‘menduduki’ lokasi yang akan dibangun pabrik PT Semen Indonesia. Mereka menolak tambang karst dan pabrik semen, salah satu karena khawatir sumber mata air hilang. Kehadiran perusahaan juga tanpa sosialisasi kepada warga sekitar. Belum lagi, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan keluar tanpa melibatkan masyarakat. Bahkan dokumen lingkungan ini menimbulkan pertanyaan, baik proses maupun pembuatnya.

Terkait masalah Amdal ini, Deni Bram, pakar Hukum Lingkungan Hidup, angkat bicara. Menurut dia, dampak sosial dan ekologis pembangunan pabrik semen di Rembang hendaknya menjadi perhatian serius dalam menetapkan persyaratan dokumen Amdal sebelum izin keluar.

“Amdal, merupakan instrumen ilmiah yang memiliki peran penting saat menggambarkan korelasi antara kaidah ilmiah dan kebijakan penguasa,” katanya, belum lama ini.

Dia mengatakan, sebagai dokumen ilmiah (scientific evidence) pada tataran hulu, Amdal sangat menentukan validitas dan keabsahan kebijakan hukum (legal evidence)  di hilir.

Untuk itu, guna mendorong dokumen lingkungan seperti Amdal memiliki validitas, perlu langkah-langkah atau terobosan progresif pro natura. Pertama, pembentukan pengadilan lingkungan mendesak.  Karena itu, diperlukan segera para ahli hukum yang memahami substansi konsep eco management secara holisitik.

Kedua, mengoptimalkan eksistensi pemerintah selaku pelaksana pemerintahan. Yakni, dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur lembaga yang memiliki otorisasi untuk penelitian ekosistem yang sedang proses hukum.  Bisa juga, katanya, menetapkan prasyarat tertentu sebagai tolak ukur lembaga penelitian yang mempunyai validitas dan mengedepankan kaidah–kaidah ilmiah obyektif.

Hakim, kata Deni,  dalam konteks ini akan berfungsi sebagai gatekeeper dalam mengawal keterkaitan ilmiah suatu metode ilmiah dengan sengketa yang diadili.

Ketiga, perlu optimalisasi dan proses perenungan mendalam terkait peran perguruan tinggi, sebagai salah satu pilar penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Perguruan tinggi, menyandang tugas Tri Dharma hendaknya bisa memberikan andil dan menjadi pioneer dalam penelitian–penelitian dengan validitas tinggi. “Hingga kualitas penelitian juga terjamin secara ilmiah.” Jangan sampai terjadi,  seperti disebutkan dalam karya Julian Benda,”Pengkianatan Kaum Cendekiawan.”

Sejak Senin (16/6/14) hingga hari ini perlawanan warga tak surut. Warga masih bertahan di tenda aksi. Pada pertengahan Mei 2014 itu, tak kurang 500-an warga desa aksi menolak tambang karst dan pembangunan pabrik SI)di Kawasan Gunung, Kendeng, Rembang Jawa Tengah. Mereka mengalami kekerasan dari aparat TNI/Polri. Bahkan, tujuh warga sempat diamankan.

Warga protes karena tidak mendapatkan sosialisasi ataupun informasi seputar tambang dan pembangunan pabrik itu. Penolakan sudah dilakukan sejak awal tetapi tak mendapatkan tanggapan.

Sebelum itu, pada 25 Mei 2014, kalangan tokoh agama terkemuka di Jateng juga menolak rencana pembangunan pabrik ini. Mereka antara lain, K.H. A. Mustofa Bisri, K.H. Yahya Staquf, K.H. Zaim Ahmad Ma’sum,  K.H. Syihabuddin Ahmad Ma’sum,  K.H. Imam Baehaqi dan K.H. Ubaidillah Ahmad.

Dikutip dari website Omahkendeng, menyebutkan, diadakan istighosah atau doa bersama di tapak pabrik Semen Indonesia, hutan Perhutani KPH Mantingan, Rembang. Dalam istighosah ini, warga delapan desa yakni, Suntri, Tegaldowo, Bitingan, Dowan, Timbrangan, Pasucen, Kajar, dan Tambakselo, sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang.

Istighosah ini dibarengi pertemuan di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang pada 25 Mei 2014 dihadiri berbagai organsisasi. Antara lain, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Pengurus NU Rembang, Lasem, Pondok Pesantren Ngadipurwo Blora, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam.

Pertemuan ini sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang dengan berbagai alasan, seperti temuan ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus. Lalu fosil-fosil sampai RTRW Jateng yang dilanggar.

Tambang ini dinilai melanggar prinsip kaidah fikih “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih.” Bahwa, kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen lebih besar daripada manfaat.

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,