Kisah Dua Ikan: Perebutan Sarden di Selat Bali (Bagian 2)

Lima puluh lima awak kapal bertelajang dada, mengalunkan lagu dalam bahasa Madura untuk menyelaraskan gerakan saat mereka menarik jaring pukat raksasa, satu tangan bergantian dengan tangan yang lain, ke dek kayu KM Sinar Indah yang sedang terayun-ayun di tengah Selat Bali.

Pagi ini mereka telah membongkar panenannya di pangkalan mereka di Muncar: tujuh ton spesies sarden lokal, lemuru (Sardinella lemuru), yang dihargai oleh para agen pabrik pengalengan dermaga sebanyak 42 juta rupiah.

Sementara para agen pabrik pengalengan membereskan urusan pembeliannya, para awak kapal tampak kewalahan dikerubuti oleh para tetangga dan kerabat yang saling menawar hasil tangkapan. Para ibu pedagang ikan menggertak para makelar sementara anak-anak berandalan menyambar lemuru dalam keranjang anyaman. Pada akhirnya, para awak harus mengamankan tangkapan mereka dengan barikade manusia untuk mencegah sarden menghilang, tak terhitung, ataupun mencegah munculnya kericuhan lanjutan.

Tapi itu dulu. Malam ini, alunan lagu terdengar sumbang ketika jaring pukat diangkat dalam keadaan kosong – tidak hanya terjadi pada Sinar Indah, tetapi juga pada sebagian besar kapal lain yang masih tersisa dari armada Muncar. Cakrawala terang benderang dengan lampu-lampu kapal lain, tampak begitu menyilaukan; dan penuh sesak sehingga kapten tidak lagi dapat melihat gerombolan sarden keperakan pada permukaan hitam lautan hanya lewat penglihatan, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Sebaliknya, mereka harus bergantung pada pesan SMS dan radio, yang kadang berujung pada kesia-siaan semalam suntuk.

Begitulah roda beruputar di hasil laut Muncar: pesta pora atau paceklik. Meski pada beberapa tahun terakhir, lebih sering jatuh pada masa paceklik. Tetapi iming-iming pesta pora cukup menggoda untuk membuat para nelayan tetap menjelajahi selat.  Usaha yang pada akhirnya akan mempercepat lingkaran setan hilangnya suatu spesies.

Populasi lemuru yang hancur memiliki efek melumpuhkan seluruh mata rantai ekosistem. Ikan sarden membentuk dasar rantai makanan yang panjang hingga predator yang lebih tinggi, hingga akhirnya manusia. Dua dari tiga orang di kota Muncar merupakan nelayan ikan lemuru atau bekerja di industri terkait.

Memindahkan ikan tangkapan. Para awak perahu memuat keranjang anyaman dengan sarden lemuru yang akan dikirim ke pabrik pengalengan. Foto: © Melati Kaye/2014

Suasana tidak selalu terlihat begitu genting di Selat Bali. Tidak lama berselang, lemuru adalah produk perikanan terbesar kedua di Indonesia yang diandalkan untuk menyediakan cukup sarden untuk mempertahankan empat aliran produk yang berbeda: produk ikan kalengan (sebagian besar untuk pasar Timur Tengah), pelet makan (untuk keramba akuakultur dan usaha perbesaran di pantai), pupuk organik (untuk pasar Jepang), dan umpan untuk kapal tuna.

“Mendapatkan 100 juta rupiah dalam satu malam itu biasa,” kenang Abidin SP, yang mengepalai Dinas Perikanan di Muncar. “Pada bulan Maret 2010, selama enam hari berturutan, 175 ton ikan dibuang per hari karena prosesor sudah mencapai kapasitas penuhnya!”

Hal ini merupakan bentuk siklus klasik roda kejayaan dan kemunduran. Pada saat sarden berlimpah, potensi ikan ini kemudian mendorong lonjakan investasi modal, di tingkat nelayan dan terutama prosesor. Kemudian saat populasi lemuru turun, arus modal pun bergerak meninggalkan nelayan dan pabrik yang kemudian saling berebut mencari upaya kembalinya modal investasi mereka.

Zainullah Baijuri, tetua orang Madura Muncang, adalah orang yang memulai perikanan laut pada tahun 1970-an di Muncang. Ia membeli satu set pasangan jaring pukat yang mampu mengangkat 40 ton. Dia akhirnya membeli empat kapal, sebelum akhirnya jatuh bangkrut. Sekarang, ujarnya, “Sepasang perahu bisa menampung 60 ton, tapi hasil laut sudah tidak lagi sebanyak dulu.”

Menurut Abidin dari Dinas Perikanan, seluruh armada saat ini menangkap kurang dari 30 ton per hari. Jumlah itu harus dibagi diantara 78 kapal yang tetap aktif (dari 190 armada saat puncaknya). Pada tingkat sekarang, pemasukan rata-rata kurang dari 24 juta rupiah per kapal, jumlah yang bahkan tidak dapat menanggung setengah dari biaya operasional satu perahu pukat per malam.

“Kita harus meninggalkan Selat dan beralih ke Samudra Hindia jika kita ingin mendapatkan ikan,” Baijuri mendesah.

Namun bagi pabrik pengalengan atau pelet, tidak ada pilihan selain untuk menambah sumber daya dan pindah. Pabrik-pabrik pengolahan tersebut memiliki usaha serius. Mereka memiliki gaji yang harus dibayar, utang untuk dilunasi, dan pasar luar negeri yang sudah mapan yang harus dilayani.

Mendorong perahu. Para pria menggunakan tiang bambu untuk mendorong tepi perahu lain agar menjauh dari jaring pukat. Rata-rata satu perahu memilki awak hingga 55 orang. Foto: © Melati Kaye/2014

“Kami adalah pemain internasional,” Edy Sukanto, general manajer untuk pabrik pengalengan Pasific Harvest bermegah diri. “Basis pelanggan kami bukan di Indonesia. Jadi, untuk tetap berada dalam percaturan perdagangan, kita perlu pasokan yang stabil.”

Jadi, pada semester kedua tahun 2013, menurut data dari Pelabuhan Muncar, Sukanto telah mengimpor 118.560 kilo sarden dari Pakistan dan Republik Ceko, dan 37.000 kilo makarel dari Cina – yang seluruhnya hanya mengisi setengah bahan baku pabrik. “Di mana saja ada ikan, kita cari dan impor,” tandasnya dengan muram.

Pabrik Ikan Muncar telah mengolah sarden dari sumber yang jauh seperti India, Yaman dan Peru. Meskipun jalur pasokan kewalahan, industrialis lokal melipatgandakan usaha pengolahan ikan, berdekatan dengan Pelabuhan Banyuwangi. Bahkan mereka berpikir untuk menambahkan suatu pelabuhan berskala internasional untuk mempercepat ekspor dari Muncar.

Setiap pemain dalam industri lemuru sejak lama telah belajar bagaimana untuk bertahan menanggapi siklus roda berputar. Populasi sarden berdaur secara intrinsik. Biasanya jumlah ikan maksimum datang satu setengah bulan setelah puncak angin musim tenggara Juni-September. Selama musim hujan, angin timur meniup air permukaan ke pesisir, menciptakan suatu ruang vakum hingga air dingin, air kaya nutrisi dari bawah naik ke atas permukaan. Hal ini menyebabkan fitoplankton tumbuh subur, yang pada gilirannya memberi makan zooplankton yang dimangsa sarden.

Hal ini terjadi sekali, mungkin dua kali pada setiap tahun yang normal. Tapi setiap 7-12 tahun atau lebih – sebentar-sebentar dan tak terduga – sistem tekanan atmosfer khatulistiwa yang disebut El-Niño Southern Oscillation, memperpanjang proses perputaran air laut ini, menyebabkan plankton tumbuh subur selama periode antara bulan November dan Januari, memicu ledakan populasi sarden secara acak.

“Semua ikan pelagis kecil hidup baik pada tahun El Niño,” kata Alan Koropitan, peneliti utama program kebijakan kelautan di Surya Research and Education Center di pinggir daerah Jakarta. “Bahayanya adalah dengan munculnya kelebihan investasi untuk meningkatkan skala usaha ke proporsi populasi saat terjadi El Niño. Ini akan mendorong pabrik dan nelayan untuk terlalu mengeksploitasi populasi sarden di tahun produksi yang sedikit.”

Koropitan lebih lanjut menjelaskan, bahkan ketika El Nino kembali datang, yang kemungkinan menjadi tidak terduga datang dengan intensitas tinggi akibat perubahan iklim, maka El Nino akan disertai dengan angin yang jauh lebih kencang dengan ancaman badai, yang menciptakan kondisi yang buruk untuk memancing. Jadi para kapten Muncar mungkin tidak dapat mengambil keuntungan penuh juga dari membaiknya populasi lemuru.

Awak Sinar Indah memandag jaring ketiga mereka yang kosong malam ini. Foto: © Melati Kaye/2014

Dalam lingkungan yang dinamis seperti ini, sangat mendesak bagi pemerintah untuk mengadopsi rezim pengelolaan perikanan berbasis ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan ekosistem secara holistik. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia memfinalkan Pendekatan berbasis ekosistem untuk Sistem Manajemen Perikanan, (Ecosystem-based Approach to Fishery Management System),  sejalan dengan komitmen negara untuk inisiatif Coral Triangle (Coral Triangle Initiative), suatu perjanjian internasional yang ditandatangani bersama dengan enam negara Samudera Pasifik lainnya. Meski, Kementerian Kelautan dan Perikanan masih perlu membereskan berbagai rincian sistem baru ini untuk tingkat perikanan regional, diantaranya untuk di Selat Bali.

Namun pengelolaan secara ilmiah mutlak memerlukan kelengkapan dan kesolidatan data untuk menilai skala kesehatan bisnis perikanan. Ingat kericuhan yang terjadi di dermaga saat Sinar Indah merapat bersama hasil tangkapannya? Tidak dapat diketahui persis berapa banyak ikan yang hilang dalam keadaan kacau seperti itu. Kalikan dengan lebih dari ratusan kapal yang mengalami hal serupa dari puluhan dekade musim memancing.

Kepala Dinas  Perikanan Muncar, Abidin, mengakui banyak tangkapan sarden yang tidak masuk dalam penghitungan resmi.

Eny Buchary, seorang doktor jebolan University of British Columbia, dalam disertasinya tahun 2010, mencoba mengestimasi suatu jumlah untuk menggantikan nilai ketidakpastian ini. Dia memperkirakan bahwa selama lebih dari 50 tahun (antara tahun 1950-2001) hanya sekitar 50-66 persen pendaratan lemuru di Muncar yang terhitung secara resmi.

Dari hasil amatan data perikanan selama dua dekade di Muncar, Buchary melakukan pengujian terhadap lima strategi panen yang memperhitungkan berbagai efek dampak kehadiran El Nino.  Dia menyimpulkan bahwa untuk menjaga keberlanjutan tangkapan sarden di Muncar, para nelayan lokal harus mengurangi setengah dari jumlah armada yang digunakan pada tahun 2001.  Untuk itu, perahu harus lebih kecil dari yang digunakan pada tahun 2001, mengurangi hari berlayar, serta menggunakan motor dengan PK yang lebih kecil.

Pada setiap akhir perjalanan melaut, masing-masing awak mendapat kantong plastik ikan untuk dibawa pulang. Pada malam yang kurang menguntungkan, kapal mungkin tidak memiliki ikan yang cukup untuk menjual ke pabrik pengalengan tetapi setiap awak akan memiliki ikan untuk dibawa pulang. Foto: © Melati Kaye/2014

Dengan kata lain, akan banyak nelayan setempat yang harus berubah profesi.  Kapten Mastur Sowi misalnya, bahkan “mengeluarkan” diri secara sukarela. Dia mulai mencoba memelihara lobster dan ikan mas di keramba lepas pantai.

“Namun kualitasnya belum cukup baik, sehingga belum bisa untuk ekspor,” ujarnya.

Jika keadaan tidak semakin membaik, dia harus bergabung dengan kebanyakan orang lain, pergi jauh dari rumah untuk mencari pekerjaan sebagai buruh migran. Banyak juga yang sudah menggadaikan perhiasan istri mereka untuk memberi makan keluarga.

* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow,  dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License.  Tulisan ini adalah bagian pertama dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay.  Tulisan lainnya dapat dilihat di sini:http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/

http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/

http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/

Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,