“Bise-bise lima atau 10 tahun lagi kalau jalan ke sini, kite cuma nemu sawit jak,” kata Tursih, warga Pontianak, awal Juli 2014. Saat itu, dia menemani saya ke Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Kekhawatiran Tursih beralasan. Kala mulai memasuki desa-desa di kecamatan itu, tanaman sawit tampak menghiasi hampir di setiap kebun warga. Ada satu dua pohon nyempil di antara pisang, singkong, maupun jagung. Ada yang tengah menyemai bibit-bibit di samping rumah. Bahkan, beberapa sudah mulai menanam sawit berhektar-hektar.
Saat ini, buah-buah dan tanaman produksi dari kecamatan ini cukup banyak, dari rambutan, pisang, nenas, jagung, sampai beras.
Kala saya memantau kebakaran gambut di Rasau Jaya, dan singgah di kebun seorang warga, Sulin, tampak beberapa pohon sawit ditanam berkumpul bersama tanaman lain. “Sawit sudah lima tahun, mulai berbuah. Ini hampir terbakar,” kata Sulin, menunjukkan satu dua pohon sawit yang gambut di sekelilingnya sudah terbakar.
Di kebun itu ada rambutan, nenas, tebu, singkong, jagung, pisang sampai karet. Sayangnya, pohon rambutan ludes terbakar, tersisa jagung dan karet.
Dalam beberapa tahun ini, di kecamatan ini, sawit menjadi salah satu tanaman di kebun warga. “Jujur saya ngeri dan tak mau membayangkan kala 10 atau 20 tahun lagi melalui jalan yang sama dan melihat semua telah menjadi sawit. Akan tambah miris lagi, jika lahan-lahan itu beralih menjadi milik perusahaan,” kata Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar.
Berpindah ke Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Untuk kecamatan ini, bisa dibilang ‘aman’ dari sawit. Warga masih mengandalkan hasil kebun dari tanaman-tanaman yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka kelola.
Seperti di Desa Punggur Besar dan sekitar, langsat menjadi buah andalan. Ada tanaman produksi lain seperti manggis, rambutan, pisang, durian, kopi, padi dan kelapa.
Kabupaten Kubu Raya, baru dimekarkan dari Kabupaten Pontianak, pada 2005. Ia mempunyai sembilan kecamatan. Kebun sawit milik korporasi besar memang sudah bercokol di beberapa kecamatan di kabupaten ini, seperti di Rasau Jaya dan Sei Ambawang.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pertanian, menyatakan, sebagian besar penduduk KKR bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan industri.
Data statistik 2006, pertanian di KKR antara lain padi luas panen 40.323 hektar dan produksi 132.419 ton, palawija produksi terdiri dari jagung 1.468 ton per hektar, kedelai 7,09 ton per hektar, singkong 9,96 ton per hektar, ubi jalar 5.055 ton per hektar, kacang tanah 6.667 ton per hektar dan kacang hijau 0.437 ton per hektar.
Dari hasil perkebunan, kelapa 29.964 ton dengan luas lahan 34.040 hektar, kelapa hiprida 3.358 ton seluas 7.590 hektar, karet 11.791 ton seluas 30.441 hektar, kopi 1.006 ton seluas 6.170 hektar, lada 32 ton seluas 290 hektar, kakao 80 ton seluas 534 hektar, pinang 634 ton (551 hektar), dan sawit (18.041 hektar).
Produksi peternakan antara lain sapi 185.600 kg, kerbau 3.030 kg, babi 33.640 kg, ayam buras 1.026,02 ton, ayam ras pedaging 2.039,36 ton, itik 15.81 ton.
Produksi perikanan terdiri atas ikan laut 10.753.8 ton, nilai produksi Rp77.052.359.000, ikan perairan umum 255.5 ton nilai produksi Rp3.283.681.800.
Berhati-hati jika petani ingin menanam sawit
Adam mengatakan, ruang yang diberikan pemerintah kepada investasi sawit maupun jenis lain dalam skala luas begitu massif. Terlebih ia diberikan di dalam wilayah kelola masyarakat yang jelas berimbas pada kian berkurangnya lahan dan alat produksi petani.
Belum lagi, mulai terlihat tren pembukaan lahan pertanian sawit oleh warga, seperti di Rasau Jaya maupun di wilayah lain. Fenomena ini penting dipertimbangkan petani yang selama ini terbiasa mengembangkan lahan pertanian untuk menghasilkan sumber pangan.
Hal-hal yang perlu dilihat dari tanaman sawit. Pertama, lahan pertanian yang ditanami sawit sulit dikembalikan pada keadaan semula untuk tanaman pangan lain. Sebab, struktur tanah dengan akar serabut sawit yang keras akan sulit terurai.
Kedua, sawit merupakan tanaman padat modal. Ini berarti hanya mungkin dikelola maksimal bila didukung biaya tidak sedikit terutama dalam meningkatkan produktivitas tanaman.
“Nah, bagi petani yang tidak memiliki modal cukup, lahan yang ditanam sawit berisiko gagal, sementara lahan tidak dapat dikelola untuk menanam tanaman pangan lain.”
Akibatnya, kata Adam, lahan berpotensi terlantar dan tidak menghasilkan apapun.
Ketiga, kala lahan sudah tak bisa ditanami, agar tidak terlantar dan produktif dengan menjual kepada pemodal atau perusahaan. Konsekuensinya, petani berpotensi kehilangan hak atas tanah yang selama ini dikelola. “Bila ini terjadi, bersiap-siaplah menjadi buruh di tanah sendiri.”
Dalam hal ini, petani penggarap lahan sesungguhnya sangat berkepentingan dengan alat maupun sumber produksi pertanian yang dimiliki. Ketersediaan lahan pertanian penting.
Untuk itu, katanya, memastikan tanah garapan tidak beralih ke pemodal harus menjadi pilihan sadar.
“Ini sekaligus jadi tantangan tersendiri agar petani tetap menjadi tuan atas usaha mereka sendiri. Tanpa tanah untuk berusaha, petani akan menemukan kesulitan.”