Juli hingga Agustus adalah puncak musim panen kopi di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Begitu pula bagi warga di Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada. Pekan ini, musim panen masih terasa. Sisa-sisa kopi biji merah tampak di pepohonan. Di depan rumah-rumah adat, warga menjemur kopi itu di atas para.
Berada di ketinggian antara 1.000 hingga 1.500 meter di atas permukaan laut, Bajawa salah satu pusat produksi kopi di Ngada, satu dari delapan kabupaten di daratan Flores.
Selain Bajawa, pusat produksi kopi lain di Ngada adalah Kecamatan Golewa. Dua kecamatan bertetangga ini memiliki karakter sama, berada di lereng Gunung Inerie. Keduanya masuk kawasan Cagar Alam Watu Ata. Petani lokal mempraktikkan pertanian berkelanjutan atau agroforestry di tepi hutan.
Dari kebun-kebun di itu, kopi khas ini dikirim ke berbagai negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa dengan nama komersial Arabika Flores Bajawa (AFB). Tiap musim panen, petani kopi di Ngada menghasilkan sekitar 300 ton kopi AFB ini.
Meskipun belum sepopuler kopi khas (specialty coffee) seperti kopi bali, kopi toraja, kopi gayo, dan lain-lain, AFB makin dikenal di pasaran. Komoditas ini mulai mendapat tempat tersendiri.
Petanipun masih menghadapi tantangan ketidakpastian status lahan. “Hingga saat ini, status lahan kami masih sebatas hak kelola, bukan hak milik,” kata Damianus Rege, petani kopi di Beiwali.
Ketidakjelasan status lahan ini buntut konflik lama antara petani dengan pemerintah lokal.
Menurut Damianus, turun temurun, warga lokal menguasai lahan di sekitar desa mereka dari nenek moyang. Kepemilikan lahan di sini bersifat komunal sebelum dikelola satu per satu oleh warga berdasarkan pembagian di antara mereka. Kepemilikan oleh suku-suku di kawasan hutan Watu Ata ini ditandai oleh batu-batu besar di tengah hutan.
Pada zaman kolonial, tepatnya 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan hutan seluas 5.400 hektar ini sebagai hutan tutupan. Namun, warga masih bisa mengelola lahan di sana.
Pada Desember 1983, status hutan ini berubah. Kala itu, Departemen Kehutanan menetapkan Kelompok Hutan Ngada Wolo Merah Riung (RTK 142) Pulau Flores sebagai hutan lindung. Di dalamnya termasuk hutan di kawasan Watu Ata.
Pada 5 Mei 1992, status kawasan ini berubah menjadi cagar alam sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.432/Kpts-II/1992. Perubahan status kawasan ini berdampak terhadap petani-petani di sekitar kawasan hutan. Mereka tak diperbolehkan lagi mengolah kebun yang menurut SK itu di kawasan cagar alam.
“Padahal, kebun kopi kami berada di sana,” ujar Damianus.
Tak hanya Dami, sekitar 15.000 jiwa yang hidup di pinggir kawasan seluas 4.298 hektar ini terganggu. Mereka diusir dari hutan meskipun sebagian besar memilih tetap bertahan di lahan mereka sebagai bagian dari hak ulayat.
Sejak itulah, konflik antara warga dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terjadi. Puncak konflik pada 1999 hingga 2000 ketika pondok-pondok milik warga dibakar petugas BKSDA. Meski tak sampai jatuh korban jiwa, bentrokan terjadi antara warga dan petugas BKSDA.
Dengan pendampingan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat (Lapmas) dan Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada, warga di sekitar kawasan membentuk Forum Masyarakat Watu Ata (Formata).
Melalui forum yang sekarang berubah menjadi Perhimpunan Masyarakat Watu Ata (Permata) ini, warga bernegoisasi dengan BKSDA, Dinas Kehutanan, ataupun pihak lain terkait pengelolaan kawasan Cagar Alam Watu Ata. Permata juga menjadi organisasi di mana warga melestarikan hutan di kawasan mereka.
“Prinsip petani di sekitar kawasan yang tergabung dalam Permata adalah hutan lestari, ekonomi terjaga,” kata Rikardus Nuga, koordinator Program Lapmas Bajawa.
Salah satu upaya organisasi ini, dengan membuat aturan adat menjaga hutan. Pada 2010, anggota Permata melaksanakan sumpah adat ri’i. Petani dari sembilan desa di kawasan Watu Ata mengikuti sumpah adat ini.
Upacara ini digelar di atas bukit dengan mengorbankan hewan persembahan berupa kerbau. Melalui upacara ini, warga mengikatkan diri secara adat untuk menjaga hutan melalui 10 kesepakatan. Sumpah dibacakan kepada Tuhan, leluhur, dan sesama manusia.
Kesepakatan dalam sumpah adat ini adalah, warga tidak akan membuka lahan di zona inti (kala mae, hutan alam dan mata air), membuka lahan baru, menguasai lahan tanpa pengolahan lahan (tada bheka), dan membakar hutan di kawasan Watu Ata.
Warga juga bersumpah tidak akan jual beli lahan dalam kawasan, menebang pohon dalam zona inti, menangkap dan memperjual belikan satwa yang dilindungi, melepas hewan berkeliaran dalam kawasan dan mengambil hasil dari kebun milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik kebun.
Tiap pelanggar sumpah dikenakan sanksi kaba mosa baka zua atau kerbau bertanduk panjang 45 cm, beras 400 kg, tua bhara pud’a zua atau 60 liter tuak putih, dan memberi makan masyarakat sembilan desa.
“Warga di kawasan percaya bahwa hukum adat harus lebih dipatuhi daripada hukum formal negara,” kata Rikardus.
Selain hukum adat, warga di kawasan Watu Ata juga terlibat sebagai pengamanan swakarsa untuk menjaga hutan. Salah satu, Greogirus Bawa, yang juga petani.
Tiap satu bulan sekali, para anggota pam swakarsa akan turun ke lapangan. Lima belas anggota pam swakarsa yang kini disebut mitra BKSDA itu rutin patroli bersilang, misal, dari Desa Beiwali ke Wawowae atau sebaliknya.
“Dengan begitu, kami bisa menjaga hutan kami sendiri,” kata Gregorius.
Menurut dia, keterlibatan warga dalam pengawasan hutan berdampak hutan tetap terjaga, tidak ada lagi konflik antara warga dengan pemerintah. Warga pun bisa mengolah kebun mereka yang masuk di kawasan.
Sumber-sumber air bisa terjaga, begitu pula dengan komoditas di lahan-lahan mereka. Di kebun mereka rata-rata luas 0,5 hektar, petani menanam tak hanya kopi juga komoditas lain seperti kemiri, vanili, dan cokelat. Ada pula sayur mayur melalui sistem tumpang sari.
Dengan hukum adat, petani menjaga hutan sekaligus sumber pendapatan mereka.