Banjir bandang menghantam Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Daerah di timur Sulawasi ini meradang. Sejak Minggu, 10 Agustus 2014, ribuan rumah milik masyarakat di tiga kecamatan; Toili, Toili Barat, dan Moilong harus rela menerima terjangan air bah.
Intensitas hujan yang cukup tinggai sejak Sabtu, 9 Agustus 2014, dianggap biangnya. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banggai menyebutkan, banjir di Kecamatan Toili terjadi di Desa Cendana Pura, Musa Kencana, Tolisu, Sentral Timur, Sentral Sari, Jaya Kencana, Tohiti Sari, Pindang Barukel, Cendana, dan Desa Bukit Jaya.
Di Kecamatan Toili Barat banjir menghantam Desa Dongin, Bukit Makarsi, Makata, Mantawa, Samiwangi, dan Pindang Sari. Sementara, di Kecamatan Moilong belum terdata. Banjir tersebut merendam rumah yang dihuni 3.594 kepala keluarga atau 14.375 jiwa. Di Kecamatan Toili Barat, 962 kepala keluarga atau 3.341 jiwa rumahnya terendam. Menurut warga setempat, ada seorang warga hanyut terbawa arus, yang hingga kini belum ditemukan.
“Sudah ada warga yang meninggal akibat banjir bandang ini. Namanya Abdul Wahid, ditemukan sekitar jam 12 siang,” kata Tito, salah seorang pegawai BPBD Kabupaten Banggai, kepada Mongabay Indonesia.
Untuk sementara, kerugian materil yang diderita akibat banjir bandang ini adalah dua jembatan dan bendungan sepanjang 15 meter di Kecamatan Toili rusak berat. Sebagian besar pagar sekolah dan tanggul yang dibangun juga rusak. Di Kecamatan Toili Barat, 4.530 hektar sawah warga rusak terendam air. Sementara di Kecamatan Moilong belum terdata.
Sawit dominasi Kabupaten Banggai
Tahun 2008, banjir besar juga menghantam puluhan desa di tujuh kecamatan di Kabupaten Banggai. Ketika itu, banjir setinggi 1,5 meter merusak fasilitas umum, rumah penduduk, lahan persawahan dan perkebunan coklat milik masyarakat. Banjir tersebut juga menghanyutkan 19 rumah warga yang berada di bibir muara sungai.
Banyak yang beranggapan bahwa banjir tersebut merupakan siklus tahunan. Namun, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sulteng Ahmad Pelor menyatakan bahwa banjir itu lebih disebabkan tingginya laju perusakan hutan yang dilakukan perusahaan sawit, yang kini mendominasi Kabupaten Banggai.
“Deforestasi baik secara legal dan ilegal menjadi pemicu utama banjir. Ini bukan peristiwa alamiah. Namun karena hujan turun dengan intensitas yang sangat tinggi dikesankan bahwa banjir ini adalah sikluas tahunan,” katanya.
Ahmad Pelor mengatakan, saat ini di Kecamatan Toili dan sekitarnya bercokol perusahaan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dengan luas yang tercatat resmi di pemerintah sekitar 6.000 hektar. Namun, ada banyak lahan skala kecil yang tidak tercatat resmi, yang masuk dalam kawasan hutan dan diklaim sebagai lahan plasma. Sayangnya, kebun plasma ini tidak ada petaninya.
Di Kecamatan Toili inilah aktivis perempuan Eva Bande ditangkap yang dianggap melanggar hukum karena memimpin perjuangan petani melawan perusahaan sawit PT. KLS pimpinan Murad Husain. Karena aktivitasnya itu, Eva Bande divonis empat tahun penjara. Sementara Murad Husain, Bos PT. KLS, yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada 2010, tidak ditahan pihak kepolisian.
“Aktivitas PT. KLS ini ikut berpengaruh terhadap proses pendangkalan sungai di Toili. Proses abrasi sungai terjadi secara masif. Perusahaan ini memiliki kebun sawit di Kabupaten Banggai seluas 20.000 hektar, di luar klaim-klaim kebun plasma yang tak ada petaninya,” ungkap Pelor.
Selain PT. KLS, di Kabupaten Banggai juga bercokol beberapa perusahaan sawit, antara lain PT. Sawindo Cemerlang dan PT. Wira Mas Permai.
Irwan Frans Kusuma, Direktur Pusat Studi Advokasi Rakyat (Pusar) Banggai, mengatakan bahwa perusahaan sawit di Banggai juga telah merusak kawasan konservasi. Dari tiga perusahaan sawit, dua menyerobot wilayah hutan konservasi, yakni PT. KLS yang masuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang. Lalu, PT. Wira Mas Permai menyerobot Cagar Alam Pati-pati.
“Dari dulu warga sudah mengajukan penolakan perusahaan yang memasuki kawasan konservasi. Jika kawasan hutan dan Cagar Alam Pati-pati dibuka, akan ada dampak buruk. Banjir memberikan bukti bahwa kekhawatiran itu benar-benar terjadi,” ungkap Irwan.
Ketika musim penghujan lewat dan beralih ke musim kemarau, kekeringan juga mengancam daerah yang memiliki luas 9.672,70 kilometer persegi ini. Sebab sumber air yang dialirkan dari daerah aliran sungai (DAS) Mayayap, akan kering dan sebagian satwa di kawasan itu akan menjadi hama bagi pertanian warga yang bersandar pada hutan di hilirnya.
“Kini, rutinitas banjir telah menjadi mimpi buruk Kabupaten Banggai, sebuah peristiwa yang sebelumnya jarang dirasakan masyarakatnya.”
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio