*Deni Bram, Pengajar Hukum Lingkungan, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis. |
Bencana kabut asap hadir kembali pada medio tahun ini. Dampak El-Nino kali ini ditandai titik api bertambah pada beberapa tempat baik di Sumatera dan Kalimantan. Dampak pun masif. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tak kurang Rp20 triliun “hadir” sebagai kerugian ekonomi muncul dari bencana ini.
Sayangnya, besaran kerugian tak mampu menggugah penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara bersamaan. Padahal, kabut asap ini sudah agenda tahunan rutin di kawasan ASEAN.
Ironis lagi, langkah preventif dan represif tetap jalan di tempat selama kurun lebih 10 tahun belakangan ini, di tengah berbagai target. Beberapa langkah strategis hendaknya dapat ditempuh Pemerintah Indonesia–dalam konteks penanggulangan kebakaran hutan sekaligus mengembalikan kepercayaan publik internasional– hendaknya mengoptimalkan beberapa langkah strategis utama.
Urgensi ratifikasi
Dalam konteks kekinian, langkah kongkrit dari suatu negara hadir sebagai suatu indikator komitmen penanggulangan suatu bencana, salah satu ditentukan langkah hukum. Pencemaran kabut asap yang makin masif setiap tahun, locus delicti berada di yurisdiksi teritorial Indonesia menjadi latar belakang utama kehadiran ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas). Perjanjian internasional ini mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap di regional Asia Tenggara pada Juni 2002. Lalu, came into force pada 25 November 2003.

Namun, hingga kini, setelah lebih satu dasawarsa seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi utuh, hanya tersisa Indonesia yang enggan. Ini menjadi kontradiktif saat Indonesia sebagai notabene subyek utama perjanjian itu dan kontributor dominan kabut asap justru menunjukkan keraguan. Langkah – langkah normatif cenderung bergerak ke arah sebaliknya. Putusan pengadilan malah memvonis bebas pelaku pembakar lahan, dan titik api meningkat menjadi indikator nyata. Ditambah lagi, legislasi memberikan alas untuk membakar lahan dan hutan.
Rasanya cukuplah sudah kajian dan upaya analisis dalam waktu lebih 10 tahun belakangan guna menunjukkan urgensi ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Satu yang jelas, proses ratifikasi akan menunjukkan, Indonesia mempunyai niat dan komitmen nyata menanggulangi segala bentuk kebakaran hutan dan lahan selama ini. Bahkan proses ratifikasi ini, suatu bentuk transformasi sistem hukum secara integralistik guna penurunan emisi. Ini langkah strategis yang dilakukan beberapa institusi.
Untuk itu, dengan ratifikasi diharapkan mempermudah rezim baru mengambil langkah ke depan. Jangan sampai rezim pemerintahan baru justru terbebani proses yang tak kunjung usai. Langkah ini dalam momentum sama, sekaligus bisa menjadi bukti nyata Indonesia dalam menurunkan emisi yang disumbangkan sektor kehutanan.

Penyelesaian sengketa
Salah satu risiko dalam mengambil langkah hukum terkait ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yakni mengenai kemungkinan Indonesia diminta pertanggungjawaban hukum terhadap dampak kepada negara – negara tetangga. Sesungguhnya, terlepas dari konteks non hukum hal ini justru bisa dihindari pada saat Pemerintah Indonesia mengambil langkah ratifikasi terhadap ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
Secara eksplisit dinyatakan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution bahwa, mekanisme penyelesaian sengketa merujuk pada pendekatan kerja sama dan upaya–upaya pembantuan antarnegara guna pengurangan titik api. Juga langkah antisipatif lain dalam mitigasi penyebab dan dampak kebakaran hutan. Bahkan, di bawah naungan lembaga khusus pada tingkatan ASEAN kerjasama penanggulangan secara teknis akan difasilitasi lembaga khusus yang mengedepankan tanggung jawab bersama dengan porsi berbeda (Common But Differentiated Responsibility)–yang dalam perjanjian ini secara bersamaan menggusur tanggung jawab negara secara masing–masing. Hendaknya ini menjadi solusi nyata dalam menunjukkan keseriusan langkah strategis dalam penyelamatan ekosistem nasional dan regional.
Haze Bill dan doktrin ekstra teritorial
Langkah yang berlarut – larut dan cenderung tidak mengalami kemajuan signifikan dalam 10 tahun terakhir, memicu upaya agak frontal dari salah satu negara yang rutin menjadi korban kabut asap Indonesia. Pada medio 2014, Pemerintah Singapura merancang Draft Haze Bill sebagai langkah hukum yang diharapkan menjangkau para pelaku pembakaran lahan dan hutan yang selama ini memberikan dampak kepada negara mereka. Menyadari secara penuh motif ekonomi melatarbelakangi pembakaran lahan dan hutan, serta pelaku korporasi yang menjadi entitas utama dalam kegiatan ini, maka pendekatan sanksi ekonomis dilakukan dalam rancangan terakhir peraturan ini. Satu hal patut menjadi catatan penting, aturan tingkat nasional Singapura ini menganut konsep ekstra teritorial yang membuka peluang diberlakukan kepada entitas hukum berada di luar yurisdiksi teritorial Singapura. Selama ia memberikan dampak kepada ekosistem Singapura. Hal ini menjadi valid saat Singapura telah mengidentifikasi bahwa pelaku pembakaran hutan dan lahan didominasi korporasi dari negeri Singa itu. Jika mereka menunggu langkah pemerintah Indonesia untuk penegakan hukum, akan terhambat pada legislasi nasional Indonesia yang cenderung lemah.
Sisi lain, hendaknya ini menjadi teguran tegas pada Pemerintah Indonesia agar bisa merespons nyata bahwa terdapat ketidakpercayaan masyarakat internasional, salah satu Singapura, atas keberpihakan dan komitmen Indonesia terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.

