Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur, saat ini kesulitan mencari lahan terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai hutan kota. Padahal, kewajiban mengembangkan hutan kota sebesar 10% dari luas wilayahnya ini sesuai Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.
Penelitian cepat “Evaluasi Luasan dan Sebaran Hutan Kota Samarinda” yang dilakukan oleh tim peneliti Balitbangda Kalimantan Timur bisa dijadikan patokan awal. Berdasarkan SK Walikota Samarinda Nomor 224 Tahun 1992 diketahui bahwa luas hutan kota Samarinda adalah 218,77 hektar. Sedangkan berdasarkan Keputusan Walikota Samarinda Nomor 178/HK-KS/2005 luas hutan kota Samarinda sekitar 690,23 hektar.
Untuk menguji penambahan luasan tersebut maka dilakukanlah penghitungan menggunakan software ArcGis 10.1 berdasarkan citra QuickBird. Hasil yang didapat adalah luasan hutan kota hingga tahun 2013 sebesar 586,43 hektar.
Dengan demikian, bila merunut luasan hutan kota berdasarkan Keputusan Walikota Samarinda yakni 690,23 hektar menjadi 586,43 hektar maka terjadi pengurangan luasan hutan kota sebesar 103,8 hektar.
Deddy Hadriyanto, Ketua Pusat Studi Perubahan Iklim Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi tambang batubara mengakibatkan hutan kota Samarinda tersisa 0,9% dari total wilayah kota yang luasnya 71.800 hektar.
Nusyirwan Ismail, Wakil Walikota Samarinda dalam acara ‘Rembuk Banjir Kota Samarinda’ di Polder Air Hitam, Senin 1 April 2014 menjelaskan, hutan kota sebagai pengendali keseimbangan tata air yang berada di Samarinda saat ini mulai berkurang. Bahkan, hanya 8,25% dari luas Kota Samarinda. “Hal ini disebabkan banyaknya hutan kota yang digusur menjadi permukiman, sehingga berdampak buruk bagi masyarakat luas,” katanya.
Yusrinda Prababeni, mahasiswa program S1 Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman dalam studinya tentang Implementasi Kebijakan Hutan Kota di Samarinda memberikan olahan datanya.
Masalah dan jalan keluar
Simpang siur wilayah hutan kota Samarinda terjadi karena sebagian besar area hutan kota berada dalam penguasaan masyarakat dan swasta. Di atas lahan yang dikenal sebagai area hutan kota telah berdiri gedung, lapangan olahraga, juga perkantoran.
Yusrinda Prababeni dalam studinya itu menemukan penunjukkan hutan kota tidak mengikuti prosedur yang diisyaratkan. Kasus Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) misalnya yang tidak melalui komunikasi terlebih dahulu untuk mendapat persetujuan dari pengelolanya. Ada juga hutan kota PT. Gani Mulya yang luasnya hanya 0,097 hektar. Ini tentunya tidak sesuai Pasal 8 bahwa luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit adalah 0,25 hektar.
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Samarinda telah mengusulkan pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Hutan Kota. Raperda diusulkan sebagai upaya menindaklanjuti kondisi Kota Samarinda yang sudah tidak memiliki hutan, seperti hutan konservasi dan hutan lindung.
Yang patut ditunggu adalah perubahan rencana lahan eks SMPN 1 dan SMAN 1 di Jalan Bhayangkara yang awalnya akan dijadikan taman kota, kini ditinjau ulang dijadikan hutan kota.
“Kita ubah konsepnya dan anggaran bisa dialihkan untuk kebutuhan lain. Hutan kota ini tentunya akan dinikmati warga, tanpa ada bangunan lain,” ucap Syahrie Ja’ang, Walikota Samarinda.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio